Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua partisipan atau lebih.
Percakapan dalam hal ini lebih dari sekedar pertukaran informasi.Dalam hal ini, mereka akan berbagi
prinsip-prinsip umum yang memudahkan mereka untuk saling menginterpretasikan tuturan.
Di dalam berkomunikasi
seorang penutur mengkomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan harapan agar
petutur itu dapat memahami apa yang dikomunikasikannya. Tidaklah mungkin akan
terjadi komunikasi antara penutur dan petutur apabila antara keduanya tidak
terjadi komunikasi. Oleh karena itu, seorang penutur harus selalu berusaha agar
pembicaraannya itu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas,
serta terfokus pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu. Dengan kata
lain, antara penutur dan petutur terdapat prinsip kerja sama yang harus mereka
lakukan agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Kerja sama dapat diartikan sebagai keterlibatan partisipan dalam membentuk suatu
percakapan lengkap dengan unsur-unsur yang diperlukan. Fungsi kerja sama adalah membentuk
peristiwa tutur (Syamsuddin, et al.,
1998: 94). Grice (dalam Arifin dan Rani, 2000:1149) mengemukakan mengenai prinsip kerja sama: Make your contribution such as is required
at the stage at which it accours, by the accepted purpose or direction of the
talk exchange in wich you are engaged. “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima
atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.”
Pada umumnya kerja sama dalam percakapan ditopang oleh unsur-unsurnya.
Unsur-unsur penopang kerja
sama dalam percakapan disebut sebagai maksim. Maksim merupakan tuntunan dalam bertutur. Grice (dalam
Syamsuddin, et. al., 1998:195)
membagi prinsip kerja
sama dalam suatu percakapan menjadi empat. Maksim tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Maksim Kuantitas
Maksim Kuantitas: “Berikanlah jumlah informasi yang tepat”. Pemberian
jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya dapat memberi
keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula memberikan keterangan lebih
daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi yang diberikan kepada orang lain
dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya saja. Jangan lebih dan jangan
kurang. Maksim kuantitas ini terdiri dari dua submaksim, yaitu a) berikan
sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan dan b) sumbangan informasi Anda
jangan melebihi yang diperlukan.
Contoh:
(a)
Guru
: Apakah kamu sudah menyelesaikan PR
Matematika?
Siswa
:
Sudah Pak
(b)
Guru : Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni?
Siswa :
Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah yang Saya gunakan berbeda dengan Toni
karena Saya menggunakan buku terbitan Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat
lengkap dalam membahas soal seperti yang Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah
punya buku itu?
Jika
dibandingkan antara dialog (a) dan
dialog (b) terlihat perbedaan. Dialog
(a) antara guru dan siswa terdapat
kerja sama yang baik. Pada dialog siswa telah memberikan kontribusi yang secara
kuantitas memadai dan mencukupi. Berbeda halnya dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat
adanya kerja sama yang baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang
berlebihan yang tidak diperlukan guru.
Contoh lain dapat ditemukan pula pada percakapan seperti yang diungkapkan
Keenan (dalam Ismari, 1995: 4) sebagai berikut.
A: ‘Where is your mother?’
(Di mana ibumu?)
B: ‘She is either in the house or the market.’
(Ia mungkin di rumah atau
di pasar.)
Kutipan percakapan dilihat dari
segi tuturan B menunjukkan bahwa B tidak secara pasti mengetahui keberadaan
ibunya, tetapi hanya menyatakan dalam bentuk pilihan tempat. Apabila B ternyata
mengetahui secara pasti lokasi tempat ibunya berada dari dua pilihan itu,
berdasarkan maksim, penyediaan informasi itu gagal.
b. Maksim Kualitas
Maksim Kualitas: “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”. Maksim
ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan kepada orang
lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini salah
jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan
menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis
(kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk
dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau
keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Maksim kualitas ini terdiri
atas dua submaksim, yaitu a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak
benar dan b) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang
meyakinkan.
Contoh:
(a) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny
: Dia tidak di kelas XII IPS A, tapi di kelas XII C IPA.
(b) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny
: Ia di kelas XII C IPE. Cape dech!
(c) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny : Di kelas XII IPA C.
Dialog (a), Denny memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Hal ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama
untuk mengetahui mengapa Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya
dan dianggapnya salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit
mengetahui bahwa jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah
membandingkan dirinya dengan Lili. Pada
dialog (b), jawaban Denny dianggap
melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan
itu terdapat pada kelas XII C IPE, cape
dech. Pada dialog (c), jawaban
Denny telah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.
c. Maksim Hubungan
Maksim Hubungan: “Usahakan
perkataan Anda ada relevansinya”. Melalui maksim hubungan ini kita dalam
peristiwa tutur dituntut untuk selalu menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan
kata lain, dalam percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang
dibicarakan dan perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap
fokus persoalan akan membantu dalam menginterpretasi serta mereaksi
tuturan-tuturan yang dilakukan lawan bicara. Contoh:
(a) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Di rak meja.
(b) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat
istirahat tadi.
(c) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Saya dipanggil Ibu Ranti!
Pada dialog (a), informasi yang disampaikan Dani ada
relevansinya dengan pertanyaan Udin. Sama halnya pada dialog (b), informasi yang disampaikan Dani
menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui jawaban yang tepat atas
pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu Udin mendapatkan jawaban yang
benar. Karena, jawaban Dani mengandung implikasi kemungkinan Yuni lah yang
meminjam buku Biologi Udin yang terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di
mana buku Biologinya sekarang. Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu jawaban yang
menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak membantu Udin untuk
mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat dikatakan relevan bila
jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa Dani tidak
dapat menjawab pertanyaan Udin.
d. Maksim Cara
Maksim Cara: “Usahakan perkataan Anda
mudah dimengerti”. Dengan maksim ini yang dipentingkan adalah cara
mengungkapkan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara,
dalam mengungkapkan sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini
maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan
yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar
berbicara dengan teratur.
Contoh:
(a) Ucok : Siapa teman Anda, orang Korea itu?
Ujang
: K-I-M E-O-K S-O-O
Ucok : (bengong)
(b) Ucok : Itu dia, guru baru datang.
Ujang
: Dia guru baru?
Ucok : Bukan!
(c) Orang
tua murid : Atas perhatian,
kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih.
Guru : Sama-sama.
(d) Tini : Bagaimana keadaan
rumah yang baru Anda beli?
Tono : Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga
saya. Pagarnya dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira-kira 6 x 5 m²,
berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian depan
terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang keluarga, ruang makan,
kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tempat mencuci pakaian, dan alat-alat
dapur.
Pada dialog (a),
jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena dilakukan dengan mengeja nama
seseorang melalui kata demi kata. Nama orang itu KIM
EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi pengucapannya dieja sehingga tidak
jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b) kalimat yang diucapkan Ucok
menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih dari satu. Sementara itu, pada dialog (c)
pernyataan yang disampaikan oleh orang tua murid terlalu berlebihan. Berbeda
dengan dialog (d) Tono memberikan informasi yang jelas bagi Tini.
Keempat maksim itu,
diyakini Grice mampu menuntun orang untuk berkomunikasi secara maksimal,
efesien, efektif, rasional, dan kooperatif jika ucapan itu benar-benar memiliki
nilai kebenaran (Marcellino, 1993:63). Hal ini dimungkinkan apabila ucapan itu
selaras dengan kejadian yang bergandengan dengan waktu dan tempat dalam suatu
konteks dan situasi tertentu, dan sesuai dengan aturan konstitutif yang tepat.
Ucapan tersebut harus mengandung suatu nilai yang jujur (Searle dalam
Marcellino, 1993: 63)
Kondisi ideal dalam pelaksanaan prinsip tuturan tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan (tidak
terpenuhinya prinsip
kerja sama). Ini disebabkan adanya keadaan tertentu yang secara sengaja
dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi tuntutan prinsip secara ideal.
Grice (Roekhan, 2002: 190) menyebutkan keadaan itu sebagai berikut.
(1) keadaan
yang menuntut penutur melanggar (to
violate) ketentuan penggunaan maksim tutur yang normal,
(2) keadaan yang menuntut penutur mengalihkan (to break) maksim tutur,
(3) keadaan yang menuntut penutur mengabaikan (to opt out) maksim tutur, dan
(4) keadaan yang menuntut penutur mendayagunakan (to floute) maksim tutur.
Oleh karena itu,
Roekhan (2002:190) mengelompokkan penggunaan maksim tutur ke dalam dua
kategori, yaitu (1) penggunaan maksim tutur yang sesuai dengan teori Grice, dan
(2) penggunaan maksim tutur yang tidak sesuai dengan teori Grice.
2.6.1 Kegagalan Penggunaan
Maksim Kerja Sama
Kegagalan penggunaan maksim kerja sama ditandai oleh terganggunya
komunikasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan
tidak dapat diterima secara baik akibat adanya gangguan yang berat, bahkan
dapat berakibat pula pada terancamnya hubungan antara penutur dan mitra tutur. Roekhan (2002:190) membedakan kegagalan
penggunaan maksim kerja sama menjadi pelanggaran (to violate), pengabaian (to
opt out), dan pengalihan (to break).
Pelanggaran terhadap maksim
kerja sama dapat terjadi apabila penggunaannya tidak memenuhi ketentuan (Roekhan, 2002:191).
Ini dapat berdampak pada tergangunya proses komunikasi yang sedang berlangsung.
Adanya pelanggaran terhadap maksim kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan
yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Roekhan
(2002:191) menyebutkan keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang
atau tidak menguasai permasalahan yang dibahas atau disampaikan, dan 2) ketika
penutur kurang atau tidak memahami konteks komunikasi tutur yang sedang
terjadi. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dicontohkan pada keadaan seorang
guru yang kurang menguasai materi pelajaran. Akibatnya, guru tersebut
dihadapkan pada dua pilihan yang berat, yaitu mengakui ketidakmampuannya dengan
terus terang atau berusaha untuk menutupinya. Apabila guru mengakui
ketidakmampuannya, berarti ia harus siap dipermalukan bahkan dicemooh di depan
kelas oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru berusaha menutupi ketidakmampuannya,
berarti ia akan menggunakan tuturan yang berputar-putar sehingga sulit dipahami
oleh siswa.
Pengabaian maksim tutur dapat
dikatakan sebagai penyimpangan yang dilakukan secara sengaja. Ini dilakukan
karena penutur tidak menghendaki terjadinya komunikasi saat itu sehingga ia
tidak melakukan kerja sama yang baik dengan mitra tuturnya (Roekhan, 2002:
195). Akibatnya komunikasi terganggu, bahkan dapat mengalami kegagalan. Roekhan
(2002: 196) menyebutkan hal yang menyebabkan penutur mengabaikan maksim
tuturnya, yaitu 1) ketika penutur ingin berbohong kepada mitra tutur, dan 2)
ketika penutur ingin merahasiakan informasi yang dimilikinya. Dengan demikian,
penutur akan berusaha menggunakan tuturan yang taksa atau menyampaikan
informasi yang bohong. Pengabaian maksim tutur ini contohnya dapat terjadi pada seorang
anak perempuan yang bermaksud menemui teman laki-lakinya, namun tidak ingin
diketahui oleh ibunya sehingga saat ditanya, si anak akan menjawab sebagai
berikut: “Saya mau ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok” atau “Ani
berulang tahun hari ini jadi saya akan ke rumahnya” atau “Sore ini ada les
tambahan dari sekolah.”
Pengalihan maksim kerja sama
terjadi apabila penutur dihadapkan pada dua maksim tutur yang bertentangan
(Roekhan, 2002: 200). Apabila satu maksim digunakan secara baik, maksim lainnya
akan diabaikan. Demikian pula sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, penutur
terpaksa untuk memenuhi salah satu maksim tutur saja dan mengabaikan maksim
tutur yang lain. Contohnya,
percakapan antara polisi penyelidik dengan seorang tersangka. Dalam komunikasi
seperti itu, polisi dihadapkan pada tuntutan penggunaan maksim kuantitas,
maksim hubungan, dan maksim cara. Apabila polisi bermaksud memenuhi maksim
kuantitas dan maksim hubungan, berarti polisi harus melanggar maksim cara.
Sebaliknya, apabila polisi memenuhi maksim cara, berarti polisi telah melanggar
maksim kuantitas dan maksim hubungan.
Jika polisi memilih
untuk memenuhi tuntutan maksim hubungan, maka ia harus menanyakan hal-hal yang
informasi awalanya telah dimiliki oleh tersangka. Akan tetapi, jika hal itu
dilakukannya, ia tidak pernah memperoleh informasi-informasi penting yang
diharapkannya. Sama halnya kalau polisi memenuhi tuntutan maksim kuantitas, ia
hanya akan menanyakan hal-hal yang telah pasti dan jelas saja. Informasi yang
masih bersifat dugaan tidak ditanyakan kepada tersangka karena hal itu
melanggar ketentuan maksim kuantitas.
Berdasarkan uraian itu,
wajar apabila polisi penyelidik memilih merusak maksim hubungan dan kuantitas,
dan hanya memenuhi tuntunan maksim cara saja. Hal ini dilakukan agar upayanya
untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya dapat
tercapai.
2.6.2 Pendayagunaan prinsip Kerja Sama
Pendayagunaan, pengintensifan, atau pengoptimalan prinsip kerja sama merupakan penerapan prinsip tutur yang khas, yang dilakukan
secara sadar oleh penutur dengan maksud-maksud tertentu (Roekhan, 2002: 202).
Hal ini diharapkan dapat menghasilkan makna implikatur tertentu yang dapat
ditangkap oleh mitra tutur melalui inferensi. Dengan kata lain, penutur dapat
menyimpulkan makna tambahan yang diperolehnya.
Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua partisipan atau lebih.
Percakapan dalam hal ini lebih dari sekedar pertukaran informasi. Dalam hal ini, mereka akan berbagi
prinsip-prinsip umum yang memudahkan mereka untuk saling menginterpretasikan tuturan.
Di dalam berkomunikasi
seorang penutur mengkomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan harapan agar
petutur itu dapat memahami apa yang dikomunikasikannya. Tidaklah mungkin akan
terjadi komunikasi antara penutur dan petutur apabila antara keduanya tidak
terjadi komunikasi. Oleh karena itu, seorang penutur harus selalu berusaha agar
pembicaraannya itu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas,
serta terfokus pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu. Dengan kata
lain, antara penutur dan petutur terdapat prinsip kerja sama yang harus mereka
lakukan agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Kerja sama dapat diartikan sebagai keterlibatan partisipan dalam membentuk suatu
percakapan lengkap dengan unsur-unsur yang diperlukan. Fungsi kerja sama adalah membentuk
peristiwa tutur (Syamsuddin, et al.,
1998: 94). Grice (dalam Arifin dan Rani, 2000:1149) mengemukakan mengenai prinsip kerja sama: Make your contribution such as is required
at the stage at which it accours, by the accepted purpose or direction of the
talk exchange in wich you are engaged. “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima
atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.”
Pada umumnya kerja sama dalam percakapan ditopang oleh unsur-unsurnya.
Unsur-unsur penopang kerja
sama dalam percakapan disebut sebagai maksim. Maksim merupakan tuntunan dalam bertutur. Grice (dalam
Syamsuddin, et. al., 1998:195)
membagi prinsip kerja
sama dalam suatu percakapan menjadi empat. Maksim tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Maksim Kuantitas
Maksim Kuantitas: “Berikanlah jumlah informasi yang tepat”. Pemberian
jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya dapat memberi
keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula memberikan keterangan lebih
daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi yang diberikan kepada orang lain
dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya saja. Jangan lebih dan jangan
kurang. Maksim kuantitas ini terdiri dari dua submaksim, yaitu a) berikan
sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan dan b) sumbangan informasi Anda
jangan melebihi yang diperlukan.
Contoh:
(a)
Guru
: Apakah kamu sudah menyelesaikan PR
Matematika?
Siswa
:
Sudah Pak
(b)
Guru : Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni?
Siswa :
Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah yang Saya gunakan berbeda dengan Toni
karena Saya menggunakan buku terbitan Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat
lengkap dalam membahas soal seperti yang Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah
punya buku itu?
Jika
dibandingkan antara dialog (a) dan
dialog (b) terlihat perbedaan. Dialog
(a) antara guru dan siswa terdapat
kerja sama yang baik. Pada dialog siswa telah memberikan kontribusi yang secara
kuantitas memadai dan mencukupi. Berbeda halnya dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat
adanya kerja sama yang baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang
berlebihan yang tidak diperlukan guru.
Contoh lain dapat ditemukan pula pada percakapan seperti yang diungkapkan
Keenan (dalam Ismari, 1995: 4) sebagai berikut.
A: ‘Where is your mother?’
(Di mana ibumu?)
B: ‘She is either in the house or the market.’
(Ia mungkin di rumah atau
di pasar.)
Kutipan percakapan dilihat dari
segi tuturan B menunjukkan bahwa B tidak secara pasti mengetahui keberadaan
ibunya, tetapi hanya menyatakan dalam bentuk pilihan tempat. Apabila B ternyata
mengetahui secara pasti lokasi tempat ibunya berada dari dua pilihan itu,
berdasarkan maksim, penyediaan informasi itu gagal.
b. Maksim Kualitas
Maksim Kualitas: “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”. Maksim
ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan kepada orang
lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini salah
jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan
menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis
(kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk
dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau
keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Maksim kualitas ini terdiri
atas dua submaksim, yaitu a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak
benar dan b) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang
meyakinkan.
Contoh:
(a) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny
: Dia tidak di kelas XII IPS A, tapi di kelas XII C IPA.
(b) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny
: Ia di kelas XII C IPE. Cape dech!
(c) Adit : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny : Di kelas XII IPA C.
Dialog (a), Denny memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Hal ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama
untuk mengetahui mengapa Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya
dan dianggapnya salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit
mengetahui bahwa jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah
membandingkan dirinya dengan Lili. Pada
dialog (b), jawaban Denny dianggap
melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan
itu terdapat pada kelas XII C IPE, cape
dech. Pada dialog (c), jawaban
Denny telah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.
c. Maksim Hubungan
Maksim Hubungan: “Usahakan
perkataan Anda ada relevansinya”. Melalui maksim hubungan ini kita dalam
peristiwa tutur dituntut untuk selalu menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan
kata lain, dalam percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang
dibicarakan dan perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap
fokus persoalan akan membantu dalam menginterpretasi serta mereaksi
tuturan-tuturan yang dilakukan lawan bicara. Contoh:
(a) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Di rak meja.
(b) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat
istirahat tadi.
(c) Udin : Di mana buku Biologiku?
Dani : Saya dipanggil Ibu Ranti!
Pada dialog (a), informasi yang disampaikan Dani ada
relevansinya dengan pertanyaan Udin. Sama halnya pada dialog (b), informasi yang disampaikan Dani
menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui jawaban yang tepat atas
pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu Udin mendapatkan jawaban yang
benar. Karena, jawaban Dani mengandung implikasi kemungkinan Yuni lah yang
meminjam buku Biologi Udin yang terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di
mana buku Biologinya sekarang. Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu jawaban yang
menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak membantu Udin untuk
mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat dikatakan relevan bila
jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa Dani tidak
dapat menjawab pertanyaan Udin.
d. Maksim Cara
Maksim Cara: “Usahakan perkataan Anda
mudah dimengerti”. Dengan maksim ini yang dipentingkan adalah cara
mengungkapkan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara,
dalam mengungkapkan sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini
maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan
yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar
berbicara dengan teratur.
Contoh:
(a) Ucok : Siapa teman Anda, orang Korea itu?
Ujang
: K-I-M E-O-K S-O-O
Ucok : (bengong)
(b) Ucok : Itu dia, guru baru datang.
Ujang
: Dia guru baru?
Ucok : Bukan!
(c) Orang
tua murid : Atas perhatian,
kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih.
Guru : Sama-sama.
(d) Tini : Bagaimana keadaan
rumah yang baru Anda beli?
Tono : Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga
saya. Pagarnya dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira-kira 6 x 5 m²,
berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian depan
terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang keluarga, ruang makan,
kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tempat mencuci pakaian, dan alat-alat
dapur.
Pada dialog (a),
jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena dilakukan dengan mengeja nama
seseorang melalui kata demi kata. Nama orang itu KIM
EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi pengucapannya dieja sehingga tidak
jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b) kalimat yang diucapkan Ucok
menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih dari satu. Sementara itu, pada dialog (c)
pernyataan yang disampaikan oleh orang tua murid terlalu berlebihan. Berbeda
dengan dialog (d) Tono memberikan informasi yang jelas bagi Tini.
Keempat maksim itu,
diyakini Grice mampu menuntun orang untuk berkomunikasi secara maksimal,
efesien, efektif, rasional, dan kooperatif jika ucapan itu benar-benar memiliki
nilai kebenaran (Marcellino, 1993:63). Hal ini dimungkinkan apabila ucapan itu
selaras dengan kejadian yang bergandengan dengan waktu dan tempat dalam suatu
konteks dan situasi tertentu, dan sesuai dengan aturan konstitutif yang tepat.
Ucapan tersebut harus mengandung suatu nilai yang jujur (Searle dalam
Marcellino, 1993: 63)
Kondisi ideal dalam pelaksanaan prinsip tuturan tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan (tidak
terpenuhinya prinsip
kerja sama). Ini disebabkan adanya keadaan tertentu yang secara sengaja
dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi tuntutan prinsip secara ideal.
Grice (Roekhan, 2002: 190) menyebutkan keadaan itu sebagai berikut.
(1) keadaan
yang menuntut penutur melanggar (to
violate) ketentuan penggunaan maksim tutur yang normal,
(2) keadaan yang menuntut penutur mengalihkan (to break) maksim tutur,
(3) keadaan yang menuntut penutur mengabaikan (to opt out) maksim tutur, dan
(4) keadaan yang menuntut penutur mendayagunakan (to floute) maksim tutur.
Oleh karena itu,
Roekhan (2002:190) mengelompokkan penggunaan maksim tutur ke dalam dua
kategori, yaitu (1) penggunaan maksim tutur yang sesuai dengan teori Grice, dan
(2) penggunaan maksim tutur yang tidak sesuai dengan teori Grice.
2.6.1 Kegagalan Penggunaan
Maksim Kerja Sama
Kegagalan penggunaan maksim kerja sama ditandai oleh terganggunya
komunikasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan
tidak dapat diterima secara baik akibat adanya gangguan yang berat, bahkan
dapat berakibat pula pada terancamnya hubungan antara penutur dan mitra tutur. Roekhan (2002:190) membedakan kegagalan
penggunaan maksim kerja sama menjadi pelanggaran (to violate), pengabaian (to
opt out), dan pengalihan (to break).
Pelanggaran terhadap maksim
kerja sama dapat terjadi apabila penggunaannya tidak memenuhi ketentuan (Roekhan, 2002:191).
Ini dapat berdampak pada tergangunya proses komunikasi yang sedang berlangsung.
Adanya pelanggaran terhadap maksim kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan
yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Roekhan
(2002:191) menyebutkan keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang
atau tidak menguasai permasalahan yang dibahas atau disampaikan, dan 2) ketika
penutur kurang atau tidak memahami konteks komunikasi tutur yang sedang
terjadi. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dicontohkan pada keadaan seorang
guru yang kurang menguasai materi pelajaran. Akibatnya, guru tersebut
dihadapkan pada dua pilihan yang berat, yaitu mengakui ketidakmampuannya dengan
terus terang atau berusaha untuk menutupinya. Apabila guru mengakui
ketidakmampuannya, berarti ia harus siap dipermalukan bahkan dicemooh di depan
kelas oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru berusaha menutupi ketidakmampuannya,
berarti ia akan menggunakan tuturan yang berputar-putar sehingga sulit dipahami
oleh siswa.
Pengabaian maksim tutur dapat
dikatakan sebagai penyimpangan yang dilakukan secara sengaja. Ini dilakukan
karena penutur tidak menghendaki terjadinya komunikasi saat itu sehingga ia
tidak melakukan kerja sama yang baik dengan mitra tuturnya (Roekhan, 2002:
195). Akibatnya komunikasi terganggu, bahkan dapat mengalami kegagalan. Roekhan
(2002: 196) menyebutkan hal yang menyebabkan penutur mengabaikan maksim
tuturnya, yaitu 1) ketika penutur ingin berbohong kepada mitra tutur, dan 2)
ketika penutur ingin merahasiakan informasi yang dimilikinya. Dengan demikian,
penutur akan berusaha menggunakan tuturan yang taksa atau menyampaikan
informasi yang bohong. Pengabaian maksim tutur ini contohnya dapat terjadi pada seorang
anak perempuan yang bermaksud menemui teman laki-lakinya, namun tidak ingin
diketahui oleh ibunya sehingga saat ditanya, si anak akan menjawab sebagai
berikut: “Saya mau ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok” atau “Ani
berulang tahun hari ini jadi saya akan ke rumahnya” atau “Sore ini ada les
tambahan dari sekolah.”
Pengalihan maksim kerja sama
terjadi apabila penutur dihadapkan pada dua maksim tutur yang bertentangan
(Roekhan, 2002: 200). Apabila satu maksim digunakan secara baik, maksim lainnya
akan diabaikan. Demikian pula sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, penutur
terpaksa untuk memenuhi salah satu maksim tutur saja dan mengabaikan maksim
tutur yang lain. Contohnya,
percakapan antara polisi penyelidik dengan seorang tersangka. Dalam komunikasi
seperti itu, polisi dihadapkan pada tuntutan penggunaan maksim kuantitas,
maksim hubungan, dan maksim cara. Apabila polisi bermaksud memenuhi maksim
kuantitas dan maksim hubungan, berarti polisi harus melanggar maksim cara.
Sebaliknya, apabila polisi memenuhi maksim cara, berarti polisi telah melanggar
maksim kuantitas dan maksim hubungan.
Jika polisi memilih
untuk memenuhi tuntutan maksim hubungan, maka ia harus menanyakan hal-hal yang
informasi awalanya telah dimiliki oleh tersangka. Akan tetapi, jika hal itu
dilakukannya, ia tidak pernah memperoleh informasi-informasi penting yang
diharapkannya. Sama halnya kalau polisi memenuhi tuntutan maksim kuantitas, ia
hanya akan menanyakan hal-hal yang telah pasti dan jelas saja. Informasi yang
masih bersifat dugaan tidak ditanyakan kepada tersangka karena hal itu
melanggar ketentuan maksim kuantitas.
Berdasarkan uraian itu,
wajar apabila polisi penyelidik memilih merusak maksim hubungan dan kuantitas,
dan hanya memenuhi tuntunan maksim cara saja. Hal ini dilakukan agar upayanya
untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya dapat
tercapai.
2.6.2 Pendayagunaan prinsip Kerja Sama
Pendayagunaan, pengintensifan, atau pengoptimalan prinsip kerja sama merupakan penerapan prinsip tutur yang khas, yang dilakukan
secara sadar oleh penutur dengan maksud-maksud tertentu (Roekhan, 2002: 202).
Hal ini diharapkan dapat menghasilkan makna implikatur tertentu yang dapat
ditangkap oleh mitra tutur melalui inferensi. Dengan kata lain, penutur dapat
menyimpulkan makna tambahan yang diperolehnya.
1 komentar:
maaf kak boleh tau daftar pustakanya?
Posting Komentar