Sabtu, 15 September 2012

Perkembangan Makna


                  Perkembangan makna meliputi segala hal  tentang perubahan makna, baik yang meluas, menyempit, atau bergeser. Perkembangan ini sejalan dengan perkembangan penuturnya sebagai pemakai bahasa. Pemakai bahasa yang mewujudkan bahasa dalam bentuk kata dan kalimat. Dalam hal ini, mereka menggunakan kata-kata dan kalimat, baik dengan menambah, mengurangi, atau mengubahnya.

1.   Perubahan Makna
            Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan makna, yaitu:
a.   faktor kebahasaan (linguistic causes)
b.   faktor kesejarahan (historical causes)
c.   faktor sosial (social causes)
d.   faktor psikologis (psychological causes)
e.   pengaruh bahasa asing
f.    kepentingan akan kata-kata baru
            Adapun perubahan makna tersebut dibedakan berdasarkan akibatnya, yaitu:

a.  Perubahan Makna dari Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia
Perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia dapat dicermati pada contoh kata seni. Kata seni ini memiliki kesepadanan dengan kata kunst yang berasal dari bahasa Belanda. Kata seni memiliki makna: (i) halus, (ii) air kencing, (iii) kecakapan membuat sesuatu yang indah (Poerwadarminta dalam Djajasudarma, 1993: 65). Bagi masyarakat Melayu, seni lebih banyak dihubungkan dengan air seni atau air kencing.

b.  Perubahan Makna Akibat Lingkungan
Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai pada lingkungan yang lain. Contoh tersebut dapat dilihat pada kalimat di bawah ini:
(i)   Buku ini dicetak oleh Balai Pustaka.
(ii)  Cetakan batu bata itu besar-besar.
(iii) Ali mencetak tiga gol dalam pertandingan sepak bola kemarin.
Kalimat pertama, makna cetak bergerak di lingkungan persuratkabaran, berbeda dengan kalimat kedua dan ketiga yang bergerak di bidang bagunan (arsitek) dan olahraga.

c.   Perubahan Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indera
Perubahan makna ini dapat juga disebut dengan sinestesia. Pertukaran ini berhubungan dengan alat indera manusia, misalnya pertukaran indera pendengaran dengan indera penglihatan, indera perasa dengan penglihatan.
Contoh pertukaran tersebut dapat dicermati melalui kalimat-kalimat di bawah ini.
(i)    Kata-katanya terlalu pedas.
(ii)  Gadis itu sangat manis sekali.
(iii) Kata-katanya sangat menyejukkan hati.
(iv) Wajahnya sangat sedap dipandang mata.

d.   Perubahan Makna Akibat Gabungan Kata
Gabungan kata dapat mengakibatkan perubahan pada makna. Contoh gabungan kata tersebut dapat dilihat di bawah ini:
(i)      surat perintah
(ii)     surat keterangan
(iii)    surat kaleng
   Surat yang dikirimkan orang tanpa menyebutkan alamat pengirim disebut surat kaleng, sama sekali tidak ada hubungan makna antara surat dan kaleng. Akan tetapi, makna asosiasi masih dapat terlihat pada gabungan kata surat keterangan dan surat perintah.

e.   Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa
Perubahan akibat tanggapan pemakai bahasa, cenderung mengarah ke arah menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kata yang mengarah pada hal yang menyenangkan disebut amelioratif, sedangkan kata yang mengarah pada yang tidak menyenangkan disebut peyoratif.
Contoh kata yang amelioratif adalah kata juara. Kata juara dulu bermakna “penyabung ayam”. Akan tetapi, kata juara pada masa sekarang memiliki makna yang positif (menyenangkan), yaitu pemenang, seperti pada juara renang, juara dunia, dan sebagainya.
Sedangkan contoh kata yang peyoratif adalah gerombolan. Dulu, kata gerombolan memiliki makna yang positif yaitu “orang yang berkelompok”. Akan tetapi, sejak munculnya pemberontakan di Indonesia, kata gerombolan memiliki makna negatif, tidak menyenangkan, bahkan menakutkan. Hal ini disebabkan, pada masa sekarang kata gerombolan dipadankan dengan pengacau, pemberontak, perampok, dan pencuri.

f.    Perubahan Makna Akibat Asosiasi
Asosiasi adalah hubungan antara makna asli dengan makna baru. Makna ini dapat dihubungkan dengan waktu atau peristiwa, tempat atau lokasi, warna, maupun tanda atau gambar tertentu.

2.   Proses yang Mengakibatkan  Perubahan Makna

a.   Hubungan Sintagmatik
Satuan leksikal dapat mengalami perubahan arti karena (i) kekeliruan pemenggalan morfem-morfem, misalnya Kata Jawa pramugari yang terjadi dari pra- dan bentuk dasar mugari ‘pembantu tuan rumah pada peralatan’. Pemenggalan yang salah untuk menghasilkan bentuk-bentuk lain muncul pada kata pramuniaga, pramuwisma, dan lainnya. Bentuk pramu- akhirnya dihubungkan dengan ‘pemberi jasa’. (ii) Persandingan yang lazim, yang disebut kolokasi. Misalnya bentuk nasib yang dapat bersanding dengan baik dan buruk. Akan tetapi, yang sering muncul adalah nasib buruk daripada nasib baik, sehingga di masyarakat maknanya menjadi berkonotasi buruk. Contohnya: Memang sudah nasibnya untuk hidup sendiri. (iii) Penghilangan salah satu unsur. Contohnya, bentuk acuh tak acuh yang berarti ‘tidak menghiraukan’ menjadi acuh dengan arti sama ‘tidak menghiraukan’.

b.   Rumpang di dalam Kosakata
Kosa kata bahasa Indonesia terkadang kekurangan bentuk untuk mengungkapkan konsep tertentu. Penutur bahasa dapat memilih satuan leksikal yang ada dan (i) menyempitkan maknanya. Misal pada kata pesawat ‘alat’, ‘mesin’, di kalangan penerbang menjadi sempit maknanya sehingga disamakan dengan pesawat terbang. (ii) meluaskan makna satuan leksikalnya. Contohnya, munculnya ayah kandung, selain terdapat ibu kandung dan saudara kandung meskipun ayah tidak pernah mengandung atau berada dalam satu kandung. Bentuk ini kemudian memiliki hubungan pertalian kekerabatan. (iii) memakai metafor atau kiasan. Misalnya kata catut yang maknanya sendiri adalah ‘alat pencabut paku’ kemudian disamakan dengan ‘calo’. (iv) acuan yang ada di luar bahasa. Contohnya bentuk perakitan dan merakit yang bermakna ‘menyatukan komponen-komponen’ di bidang automotif dipakai padanan assemble atau assembling.

c.   Perubahan Konotasi
Konotasi atau disebut juga tautan yang menyertai makna kognitif, sangat bergantung pada pembicaranya, pendengar, dan situasi yang melingkupinya. Berdasarkan itu ada yang menjurus pada yang positif dan adapula yang menjurus ke negatif. Kata yang menjurus ke arah yang positif misalnya ceramah dan kata yang menjurus ke arah yang negatif misalnya terlibat.
 
d.   Peralihan dari Pengacuan yang Konkrit Menjadi Abstrak
Peralihan dari acuan yang konkrit menjadi abstrak dapat dicermati pada contoh mencakup (menagkap dengan mulut, seperti buaya mengatupkan mulutnya apabila banyak lalat yang masuk) menjadi mencakup (termasuk di dalamnya).

e.   Sinestesia
Sinestesia adalah penggabungan dua macam tanggapan pancaindera terhadap satu hal yang sama. Misalnya pada gabungan kata muka masam, yang terjadi dari kombinasi antara indera penglihatan (muka) dan indera perasa (masam)

f.    Penerjemahan Harfiah
Pemungutan konsep baru yang diungkapkan di dalam bahasa lain terjadi juga lewat penerjemahan kata demi kata, sehingga bentuk terjemahan itu memperoleh arti baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Salah satu akibat proses perubahan makna yang terjadi adalah adanya satuan leksikal kuno dan satuan leksikal yang usang. Satuan leksikal kuno adalah satuan yang kehilangan acuannya karena acuannya tersebut berada di luar bahasa masa kini. Sedangkan satuan leksikal yang usang diakibatkan penurunan frekuensinya.

3.   Perluasan Makna
Makna dapat mengalami perluasan, misalnya pada kata saudara, bapak, dan ibu. Dulu digunakan untuk menyebut orang yang seketurunan (sedarah). Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu dihubungkan dengan orang tua laki-laki, sedangkan kata ibu selalu dihubungkan dengan orang tua perempuan. Akan tetapi, pada masa sekarang kata-kata tersebut telah mengalami perluasan makna. Kata bapak digunakan untuk menyebut laki-laki yang tua, meskipun tidak ada pertalian darah; kata ibu juga sama halnya dengan kata bapak yang mengalami perluasan untuk menyebut perempuan yang tua; kata saudara digunakan untuk menyebut orang yang sebaya dengan pembicara.

4.   Pembatasan Makna
Makna kata dapat mengalami pembatasan, atau makna yang dimiliki lebih terbatas dibandingkan dengan makna semula. Misalnya kata tukang yang memiliki makna luas ‘ahli’ atau ‘dapat mengerjakan sesuatu’. Sekarang makna tersebut mengalami pembatasan seperti pada (i) tukang kayu, (ii) tukang catut, dan (iii) tukang tambal ban.

5.   Pergeseran Makna
Pergeseran makna merupakan salah satu akibat dari perkembangan makna. Pergeseran ini dapat terjadi dengan cara menggati simbol, misalnya kata tahanan ‘tempat orang ditahan atau dipenjara setelah mendapat putusan dari hakim untuk menjalani hukuman’. Sekarang muncul lembaga kemasyarakatan yang maknanya mengalami pergeseran, yaitu bukan hanya tempat untuk menahan tetapi juga dijadikan tempat untuk mengubah tingkah laku terpidana agar kelak dapat diterima kembali oleh masyarakatnya.
Pergeseran makna selain melalui penggantian simbol, juga dapat dilakukan dengan mengubah bentuk imperatif pada bentuk segera laksanakan! Bergeser maknanya menjadi eufemisme, yaitu harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan. Hal ini dilakukan melalui pertimbangan psikologis lawan tutur untuk memperhalus dalam penggunaan kata-kata agar tidak terkesan kasar.

Pendidikan dan Kebudayaan


1.   Pendahuluan
Proses pendidikan dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan bentuknya, yaitu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam bentuk pendidikan formal secara tradisional ditekankan pada perkembangan kemampuan intelektual peserta didik.  Bentuk nonformal  lebih menekankan pada pembentukan kemampuan keterampilan seseorang. Sedangkan bentuk informal, lebih menekankan pada pembentukan emosi dan berbagai jenis kemampuan intelegensi yang sering terabaikan di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Akibatnya, peran kebudayaan dalam lembaga pendidikan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, hanya ditujukan pada intelektual semata dan alat produksi tenaga kerja. Padahal, gelombang globalisasi akibat kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dapat menjadi bahaya terhadap identitas budaya suatu bangsa.
Makalah ini akan membahas mengenai kebudayaan dalam pendidikan nasional dan keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan pada masa sekarang. 

2.   Kebudayaan dalam Pendidikan Nasional
Kebudayaan di dalam pendidikan nasional bukanlah hal yang baru. Bahkan, pendidikan nasional di dalam bentuknya merupakan kegiatan kebudayaan. Ketika pendidikan nasional belum terbentuk suatu sistem atau ketika pendidikan untuk bangsa Indonesia belum ada dan hanya pendidikan model kolonial pada masa penjajahan, pendidikan dalam arti yang luas tetap ada di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam kegiatan kebudayaan.
Dalam era reformasi ini diharapkan lahir manusia-manusia yang cerdas dan berbudaya yang akan menjadi pilar-pilar yang kukuh. Cerdas dalam hal ini bukan hanya menyangkut masalah kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosi, spritual, etika, dan estetika. Apabila hanya satu aspek saja dari pribadi manusia yang dikembangkan, hasilnya dapat kita lihat pada masa-masa sebelum reformasi. Hasil yang telah dicapai merupakan kegagalan dalam pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional telah menghasilkan manusia-manusia parsial dalam perkembangan kepribadiannya, manusia yang mudah dibangkitkan amarahnya, yang tidak toleran, dan kurang bertanggung-jawab terhadap kehidupan sesamanya. Kehidupan yang bercorak KKN menunjukkan kualitas manusia yang tidak berbudaya. Kerusuhan, gejala-gejala disintegrasi bangsa yang menunjukkan kurangnya komitmen terhadap kehidupan Indonesia yang bersatu. Manusia Indonesia seakan-akan kehilangan pegangan yang mengikat dalam kehidupan bersama membentuk suatu masyarakat Indonesia yang adil dan damai. Unsur pengikat itu adalah nilai-nilai kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

3.   Pendidikan dan Kebudayaan
Suatu pendidikan tidak terjadi dengan vakum, tetapi terlaksana di dalam suatu kehidupan berbudaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Kepribadian tiap individu terbentuk karena adanya nilai-nilai budaya tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, dan dididik. Tanpa kebudayaan, tidak mungkin lahir suatu kepribadian. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak terlepas dari proses pembudayaan. Dari nilai-nilai kebudayaan yang terwujud di dalam kehidupan keluarga, masyarakat lokal, masyarakat nasional, dan seterusnya ke dalam kehidupan masyarakat dunia, semuanya terwujud di dalam nilai-nilai yang hidup di dalam lingkungan kemanusiaan yang semakin meluas. Pendidikan bukan semata-mata hanya untuk mentransformasikan nilai-nilai universal, tetapi juga nilai-nilai partikular atau khusus yang hidup di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman pendidikan di dalam masyarakat yang multi-etnis. Tilaar (2000: 191) mengungkapkan mengenai pengalaman pendidikan di masyarakat multi-etnis yang menunjukkan bahwa pendidikan akan berhasil apabila bertitik-tolak dari nilai-nilai budaya asal yang secara bertahap memasuki nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang lebih luas.
Ahli antropologi seperti Geertz  menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terkungkung dalam jaringan-arti yang ditentukannya sendiri (dalam Tilaar, 2000: 191). Maksudnya, manusia tidak akan menjadi dewasa jika terpisah dari masyarakatnya yang memiliki kebudayaan sendiri. Karena, manusia terkungkung di dalam kebudayaannya. Namun, manusia bukanlah semata-mata hasil kungkungan dari nilai-nilai kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri merupakan jaringan-arti yang merupakan hasil tenunan manusianya sendiri. Kreativitas, inovasi, dan akulturasi di dalam transmisi kebudayaan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang aktif. Kemampuan kreativitas dan aktivitas manusia adalah hasil dari proses pendidikan. Ini berarti, jika proses pendidikan tidak melahirkan manusia-manusia yang kreatif dan kritis, jaringan-arti yang ditenunnya semakin lama semakin kaku, kadaluwarsa, dan akhirnya mati. Dengan kata lain, kebudayaan tidak terlepas dari proses pendidikan, sebagaimana proses pendidikan itu sendiri yang juga tidak terlepas dari jaringan kebudayaan.
Kekeliruan selama ini dalam proses pendidikan nasional adalah kecenderungan memisahkan proses pendidikan dari nilai-nilai kebudayaan. Hal ini terjadi karena nilai-nilai kebudayaan telah direduksikan sebagai nilai-nilai intelektual. Sehingga, pendidikan yang menitik-beratkan pada intelektualisme berakibat bukan hanya pada terancamnya kebudayaan, tetapi juga pada pendidikan itu sendiri.  Belum lagi jika kita berbicara mengenai kebhinekaan budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai yang sarat akan nilai-nilai moral, etis, dan nilai-nilai lainnya. Kebudayaan lokal mulai dilupakan dan kebudayaan nasional mungkin tersingkirkan, sisanya hanya nilai-nilai budaya yang dapat dikomersilkan.

4.  Simpulan
 Pada masa sekarang peranan kebudayaan dalam suatu lembaga pendidikan untuk menghasilkan manusia seutuhnya hanya ditujukan pada intelektual semata. Padahal, manusia-manusia yang cerdas dan berbudaya diharapkan dapat menjadi pilar-pilar yang kokoh. Dalam hal ini, kecerdasan tidak hanya menyangkut masalah kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosi, spritual, etika, dan estetika.
Kepribadian tiap individu terbentuk karena adanya nilai-nilai budaya tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, dan dididik. Tanpa kebudayaan, tidak mungkin lahir suatu kepribadian. Manusia adalah makhluk yang aktif. Kemampuan kreativitas dan aktivitas manusia adalah hasil dari proses pendidikan. Hal ini berarti kebudayaan tidak terlepas dari proses pendidikan.

Landasan Historis


PENDAHULUAN

Pendidikan, baik dalam teori maupun praktik mempunyai sejarah kehidupan dan perkembangan. Angkatan yang telah lalu berusaha agar angkatan berikutnya bertambah maju atau lebih baik dari apa yang telah dicapai oleh generasi yang mewariskannya; atau sekurang-kurangnya berusaha mempertahankan nilai-nilai yang telah dicapainya (Suparlan, 1984: 14). Dalam sejarah pendidikan akan dapat dilihat pula nilai-nilai yang sudah tidak dapat digunakan dalam arti sudah usang dan harus ditinggalkan; ada pula nilai-nilai yang tepat bertahan, yang dapat digunakan dan dilaksanakan untuk masa sekarang. Nilai-nilai abadi ini harus tetap diakui adanya. Maka tepatlah ungkapan yang menyatakan “Kita belajar dari sejarah”.
Sejarah pendidikan dari berbagai bangsa telah mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan selalu mengalami perubahan dan pembaharuan. Pendidikan pada masa ini merupakan perkembangan pendidikan yang terjadi sebelumnya dalam bentuk perwujudan potensi-potensi yang dimiliki berdasarkan ukuran-ukurannya. Suparna (dalam FIP-IKIP Malang, 1988: 190) mengemukakan mengenai ukuran perkembangan yang dapat berupa norma, tujuan yang dicita-citakan, kegunaan secara praktis di masyarakat, nilainya yang mampu mengembangkan harkat manusia seutuhnya dan mutu kehidupannya, atau norma lainnya yang dapat diterima oleh masyarakat dan bangsanya.
Makalah ini akan membahas mengenai landasan historis pendidikan yang menjadi dasar terbentuknya pendidikan nasional merdeka.








LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
DI INDONESIA

Landasan historis pendidikan merupakan asas yang terbentuk dalam sejarah pendidikan yang berliku-liku dan tersusun secara mendalam. Landasan historis penyelenggaraan pendidikan di Indonesia didasarkan pada 3 tonggak, yaitu:
(1) pendidikan tradisional
Pendidikan tradisional merupakan tonggak pertama yang menjadi landasan historis penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia.
(2) pendidikan kolonial Barat
Pendidikan kolonial Barat merupakan penyelenggaraan pendidikan di nusantara oleh pemerintah kolonial Barat, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda.
(3) pendidikan militer Jepang
Pendidikan kolonial Jepang merupakan penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah militer Jepang saat Perang Dunia II.

A. Pendidikan Tradisional
1. Pendidikan Hindu-Budha
Hinduisme dan Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5, tumbuh dan berkembang secara harmonis. Hinduisme dan Budhisme adalah agama yang berbeda, tetapi di Indonesia tampak adanya kecenderungan sinkretisme.
Ajaran agama Hindu membagi keseluruhan hidup manusia dalam empat masa yang disebut Catur Asrama.
a. Brahmacharya asrama: tingkat hidup berguru;
b. Grihasthasrama: tingkat hidup berumah tangga;
c. Vanaprastha asrama: tingkat hidup mengasingkan diri; dan
d. Samnyasa asrama: tingkat hidup berkelana.
Pendidikan Hindu dan Budha dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupanan beragama. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup yang diajarkan oleh agama yaitu mencapai moksa dan kesejahteraan umat manusia, seperti yang tercantum dalam kitab Weda: “Moksartham jagadhitaya ca iti dharmah”. Agama Hindu mengajarkan agar penganutnya berbuat kebaikan.
Ajaran Hinduisme dan Budhisme dilaksanakan di perguruan-perguruan yang lebih dikenal dengan nama peguron. Peguron pada masa itu terbagi menjadi dua, yaitu:
a. perguron kraton
            Puri atau kraton dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan. Pendidikan dilakukan oleh Bapak terhadap anaknya, atau seorang raja yang menunjuk pendeta yang ahli dalam pendidikan untuk mendidik anaknya.
b. peguron biasa
            Peguron ini didirikan di luar istana dan dipimpin oleh seorang yang berilmu. Perguruan ini mengajarkan mengenai ilmu-ilmu agama. Yang diajar biasanya anak-anak pilihan dari keluarga bangsawan atau kaum brahmana.  Perguron ini biasanya ada di daerah atau desa khusus untuk para pendeta.
            Peguron cenderung didirikan untuk kaum brahmana, kerajaan, dan bengsawan. Sedangkan pendidikan untuk rakyat biasa dilaksanakan dalam keluarga masing-masing dengan cara meneladani orang tua mereka dalam bidang adat istiadat dan pekerjaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pekerjaan yang dilakukan seseorang bersifat turun-temurun.

2. Pendidikan Islam Tradisional
            Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di nusantara. Islam mulai masuk ke Indonesia akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar nusantara pada abad ke-16. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai di Aceh, sedangkan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah kerajaan Demak.
            Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah swt., sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw dalam bentuk Alquran, serta perkataan, tingkah laku, dan perbuatan nabi sendiri (sunnah) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
            Islam mengajarkan keimanan, ketakwaan,dan akhlak. Di dalam Islam ada yang dimaksud dengan arkan al-iman, usul ad-din, atau Rukun Iman yang terdiri dari enam perkara yaitu: (1) percaya kepada Allah, (2) percaya kepada malaikat, (3) percaya kepada kitab, (4) percaya kepada rasul, (5) percaya kepada hari akhir (kiamat), dan (6) percaya kepada takdir (Qada dan Qadar). Selain itu, hal terpenting di dalam Islam adalah menegakkan tiang agama, atau yang disebut dengan rukun Islam. Rukun Islam terdiri dari lima macam kewajiban, yaitu: (1) syahadat, (2) sholat, (3) puasa, (4) zakat, dan (5) puasa.
            Orang Islam diwajibkan mempunyai akhlak yang terpuji, atau berbudi pekerti, atau berperilaku mulia seperti yang diteladankan oleh Nabi Muhammad saw. selama hidupnya. Diriwayatkan bahwa Nabi mempunyai sifat sebagai berikut:
(1)     kesucian pikiran dan kebersihan badan,
(2)     hidup sederhana,
(3)     cinta dan bakti kepada Tuhan,
(4)     tidak menyetujui penghukuman terhadap diri sendiri dan menebus dosa,
(5)     bersikap baik dan adil terhadap diri sendiri,
(6)     sangat sabar dalam kesukaran dan kesusahan,
(7)     menguasai diri,
(8)     mandiri dalam menetapkan keadilan dan perlakuan adil,
(9)     mempunyai perhatian terhadap orang-orang miskin,
(10)   menjaga kepentingan si miskin,
(11)   memperlakukan budak dengan baik dan kasih sayang,
(12)   menjamin perempuan memperoleh kedudukan terhormat dan perlakuan yang wajar dan pantas,
(13)   memerintahkan setiap orang membuat wasiat untuk menyelesaikan urusannya setelah ia meninggal,
(14)   memperlakukan tetangga dengan ramah dan penuh pengertian,
(15)   lebih menekankan pada pahala berbakti dan menghormati kedua orang tua serta memperlakukan dengan baik dan kasih sayang,
(16)   memilih pergaulan dengan orang-orang baik, jika ada sahabat yang memiliki kelemahan akan ditegur dengan ramah secara empat mata,
(17)   berhati-hati membawa diri agar tidak menimbulkan salah paham,
(18)   tidak mengemukakan kesalahan dan kelemahan orang lain,
(19)   tidak mencampuri, mengecam, dan mencela urusan orang lain yang tidak ada kaitan dengan diri sendiri,
(20)   memperlakukan binatang dengan baik,
(21)   memberi teladan atau contoh-contoh,
(22)   berani dalam menghadapi bahaya,
(23)   tenggang rasa terhadap orang yang kurang sopan, dan
(24)   penghargaan terhadap abdi-abdi perikemanusiaan.
            Pendidikan Islam di nusantara tidak dilaksanakan secara terpusat. Hal ini biasanya dilakukan oleh para ulama Islam dalam rangka penyebaran agama dan pembinaan umat Islam. Penyebaran dan pembinaan yang terkoordinasi dilaksanakan oleh para wali di Jawa, terutama Wali Songo.

3. Pendidikan Katolik dan Protestan
a. Kedatangan Bangsa Portugis (Pendidikan Katolik)
            Bangsa Portugis selama abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat, dengan cara menempuh jalan laut menuju dunia Timur dan menguasai bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat melalui laut. Rajanya menyatakan dirinya sebagai: “Yang Dipertuan bagi pelayaran serta perdagangan dan bagi daerah takluk Etiopia, Tanah Arab, Parsi, dan India.”
            Albuquerque bermaksud mendirikan suatu negeri jajahan yang besar. Kekuasaannya didasarkan pada kekuatan angkatan laut dan sejumlah benteng yang tersebar letaknya. Benteng-benteng tersebut akan melindungi perdagangan di daratan. Bandar dan pulau yang menjadi kunci kekuasaan di seluruh daerah Timur harus berada di tangan orang Portugis. Untuk mencapai tujuan tersebut, Albuquerque melakukan penaklukan-penaklukan sejumlah daerah seperti Goa, Malaka, Aden, Ormuz, dan Ternate.
            Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud untuk mencari kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama Katolik. Oleh karena itu, setiap operasi perdagangannya, mereka menyertakan paderi-paderi missionaris yang bertugas menyebarkan agama Katolik. Paderi yang sangat terkenal bernama Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
            Orde Jesuit (Jesus) memiliki tujuan yaitu Ad Mojerem Die Glorian “Segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari tuhan.” Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu (1) memberi ceramah, (2) memberi pelajaran, dan (3) pengakuan.
            Tahun 1536 pengusaha Portugis yang bernama Antonio Galvano mendirikan sekolah Missionaris di Ternate. Sekolah ini didirikan untuk anak-anak pemuka pribumi. Akan tetapi, sekolah Missionaris ini kurang berhasil. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang kurang baik antara kesultanan Ternate dengan bangsa Portugis.
b. Kedatangan Bangsa Belanda (Pendidikan Protestan)
Tahun 1596 Belanda datang ke Indonesia di bawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Mereka datang ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah. Oleh karena banyaknya pedagang Belanda yang datang ke Indonesia, dibentuklah kongsi dagang yang disebut VOC agar tidak terjadi persaingan di antara mereka. VOC memiliki hak-hak istimewa yang menyebabkannya berkembang cepat dan melumpuhkan pedagang-pedagang Portugis.
Pada masa itu telah didirikan sekolah-sekolah Zending. Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam Tradisional di nusantara dan mendukung diselenggarakannya sekolah yang bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen.
Usaha untuk memperluas pengaruhnya, VOC menggunakan taktiknya dalam menguasai nusantara melalui politik pecah belah (devide at empera) dan perang. Usaha ini pada umumnya berhasil karena Indonesia pada saat itu mudah sekali diadu domba. Saat itu merupakan kejayaan bagi pemerintahan Belanda di Indonesia. Namun, akhirnya VOC dibubarkan karena ditemukan bukti terjadinya korupsi yang menyebabkan kritisnya uang kas negara. Sejak saat itu VOC digantikan oleh Bataafsche Republiek.

B. Pendidikan Kolonial Barat
1. Pemerintahan Kolonial Belanda
            Pada tahun 1807 Bataafsche Republiek dihapus oleh kaisar Napoleon Bonaparte dan diganti menjadi koninkrijk Holland (kerajaan Belanda) yang dipimpin Louis Napoleon Bonaparte. Louis Napoleon Bonaparte mengirim Daendles sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
            Pemerintahan yang dipimpin oleh Daendles digantikan oleh Jenderal Jensens. Saat itu tentara Inggris menyerang dan Belanda menyerah. Akibatnya pemerintahan digantikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Salah satu tindakan yang dilakukannya adalah meletakkan batu pertama dalam membangun pengetahuan di Indonesia. Penyelidikannya dibantu orang-orang Indonesia yang pada akhirnya mampu menyokong perkumpulan kebudayaan dan pengetahuan seperti Bataviaasch Genootschap. Akan tetapi, keberadaan Inggris tidak bertahan lama di Indonesia. Belanda kembali memegang kekuasaan. 
Di negara Belanda kaum Liberal memperoleh kemenangan di parlemen. Hal ini menyebabkan beberapa perubahan, seperti adanya penghapusan tanam paksa, diterimanya UU komtabilitas, diterimanya UU Agraria. Akan tetapi, pelaksanaannya di Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan bangsa Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan beberapa pemberontakan di daerah-daerah seperti perang Diponegoro (1825-1830), perang Paderi (1821-1830), perang Aceh (1837-1904), perang Batak (1878-1907), dan perang Bali (1914-1849).

2. Kecenderungan Penyelenggaraan Pendidikan
Kecenderungan penyelenggaraan pendidikan masa kolonial Belanda terlihat bahwa pendidikan Islam dibiarkan berkembang. Sistem pendidikannya ada yang tetap menggunakan sistem lama yaitu pengajian Alquran, tetapi ada juga yang mengalami pembaharuan seperti bentuk pesantren modern (pondok pesantren Tebuireng dan Gontor). Selain itu, Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah agama.
Penyelenggaraan pendidikan untuk Bumiputera didasarkan pada aliran liberalisme yang menginginkan adanya sifat netral dalam agama, sehingga pendidikan agama tidak diberikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan ini juga terdapat politik diskriminasi yang membedakan antara pribumi dengan Eropa. Umumnya, pembukaan sekolah-sekolah dan perluasannya lebih banyak didorong oleh kebutuhan praktis yang berkaitan dengan pekerjaan dan pemenuhan tenaga kerja (pegawai negeri).
Sistem persekolahan sebelum abad ke-19 dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a. sekolah dasar dan lanjutan untuk golongan penduduk Eropa,
b. sekolah dasar negeri dan sekolah raja untuk golongan penduduk Bumiputera, dan
c. sekolah kejuruan yang dapat diikuti oleh golongan Eropa dan Bumiputera.
            Pendidikan setelah abad ke-19 didasarkan pada landasan liberalisme kapitalistik, perluasan pendidikan Bumiputera yang diselaraskan dengan kepentingan penanaman modal terutama para kapitalis Belanda. Tujuan pendidikan pada masa ini sama dengan tujuan sebelumnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan praktis yang berkaitan dengan pekerjaan dan pemenuhan tenaga kerja (pegawai negeri menengah dan rendah). Sistem persekolahan dibagi menjadi 2, yaitu:
a.   tiga jenjang pendidikan: pendidikan rendah, pendidikan lanjutan, dan pendidikan tinggi.
b.   pendidikan rendah: sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera.

C. Pendidikan Militer Jepang
Jepang datang ke Indonesia dengan membawa semboyan “Kemakmuran Bersama, Asia untuk Asia.” Mulanya Jepang disambut dengan gembira oleh bangsa Indonesia karena dianggap penyelamat. Hal ini dapat dilihat dari kesediaan bangsa Indonesia membantu Jepang dalam memenangkan perang Asia Timur Raya.
Hal-hal yang dilakukan Jepang selama pendudukannya di Indonesia adalah (1) membentuk gerakan Tiga A (Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pemimpin Asia), (2) pengembangan bahasa Jepang dan bahasa Indonesia, serta (3) pergerakan tenaga rakyat dan sumber bukan manusia secara paksa.

1. Penyelenggaraan pendidikan pada masa Jepang.
a.   Pendidikan dilaksanakan atas dasar idiil Hakko-Ichi-U. Pendidikan adalah alat untuk mencapai Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Secara praktis, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga terampil dan prajurit perang.
b.   Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan, sedangkan bahasa Jepang dijadikan bahasa kedua. Keberadaan bahasa Belanda dianggap terlarang.
c.   Tidak adanya perbedaan dalam pelayanan pendidikan.

2. Jenis Persekolahan pada masa Jepang.
a.   Sekolah Rendah (sekolah rakyat) selama 6 tahun.
b.   Sekolah Pelajaran dan Sekolah Pelajaran Tinggi.
c.   Sekolah Tinggi Pamong Praja dan Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan.

3. Pembinaan Guru
a.   Indoktrinasi mental idealogis mengenai Hakko-Ichi-U.
b.   Latihan kemiliteran dan semangat Jepang.
c.   Pendidikan sejarah dan bahasa Jepang beserta adat istiadatnya.
d.   Pendidikan ilmu bumi yang ditinjau dari segi geopolitik.
e.   Olahraga, lagu-lagu, dan nyanyian Jepang.
4. Pembinaan Siswa
a.   Setiap pagi menyanyikan lagu kebangsaan Jepang.
b.   Setiap pagi mengibarkan bendera Jepang dan menghormat pada kaisar Jepang.
c.   Mengucap sumpah setia kepada cita-cita Indonesia.
d.   Senam untuk memelihara semangat Jepang.
e.   Latihan fisik dan militer.
f.    Kerja bakti membersihkan lingkungan.
g.   Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, bahasa Jepang sebagai bahasa wajib, dan bahasa daerah untuk Sekolah Rakyat 1 dan 2.

Perintis Sistem Pendidikan di Indonesia
a. Pergerakan Politik
Budi Utomo
Budi Utomo didirikan 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Ia menganjurkan pentingnya perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan perkumpulan ini yaitu untuk mencapai kemajuan yang selaras bagi negeri dan bangsa, terutama memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan.

Sarekat Islam
Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi pada akhir 1911 yang mulanya bernama sarekat dagang Islam. Tujuan dari Sarekat Islam adalah memajukan semangat dagang bangsa Indonesia, memajukan kecerdasan rakyat, dan hidup menurut perintah agama Islam, menghilangkan paham-paham yang keliru tentang agama Islam.

De Indische Partij
Organisasi ini didirikan oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker pada tanggal 6 September 1912. tujuannya adalah Indie merdeka; dasarnya: Nationaal Indisch; semboyan: Indie untuk Indie, berusaha membangkitkan rasa cinta tanah air dari semua Indie, berusaha mewujudkan kerja sama yang erat untuk kemajuan tanah air dan menyiapkan kemerdekaan.

Partai Indonesia Merdeka
Didirikan di Bandung, 4 Juli 1927 yang digerakkan oleh Algemene Studie-club Bandung dipimpin oleh Sukarno. Partai ini bercita-cita Indonesia merdeka dengan melakukan aksi non-kooperatif, dan terbuka untuk semua golongan. Partai ini memiliki program politik, ekonomi, dan sosial. Program sosialnya berupa: memajukan pengajaran yang bersifat kebangsaan, memperbaiki kedudukan kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan perpindahan ke lain pulau Indonesia, mendirikan dan menyokong perkumpulan-perkumpulan sekerja, memajukan kesehatan rakyat, dan membasmi penghisapan madat serta peminum alkohol.

b. Pergerakan Keagamaan
Muhammadiyah
Didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Akhmad Dahlan. Salah satu cita-citanya adalah melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek, supaya agama Islam dapat menyelaraskan diri dengan perubahan zaman, tetap bersifat muda, dan menghindarkan diri dari kelemahan dan keburukan. Muhammadiyang merupakan organisasi keagamaan yang berasaskan islam, bertujuan untuk memajukan pengajaran ilmu agama, dan hidup menurut peraturan agama Islam. Cara yang ditempuh antara lain (1) mendirikan, memelihara, dan membantu sekolah-sekolah berdasarkna Islam, (2) membahas pasal-pasal ilmu agama Islam, (3) mendirikan dan memelihara mesjid dan langgar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan berjasa adalah (1) Kwekschool Muhammadiyah, Yogya; (2) Mu’allimat Muhammadiyah, Solo, Yogya, dan Jakarta; (3) Zu’ama/za’mat, Yogya; (4) Kulliyah Muballighin/Muballighat, Padang Panjang; (5) Tablighschool, Yogya; dan (6) HIK; Muhammadiyah, Yogya.

c. Pergerakan Wanita
R.A. Kartini
Ia merupakan pelopor pergerakan wanita yang pertama. Ia berhasil membuka Sekolah Wanita yang pertama di Indonesia. Gagasan tentang pendidikan antara lain menyatakan: “berilah pendidikan kepada bangsa kita. Berilah pendidikan hati dan pikiran kepada wanita, nanti mereka akan menjadi peserta dalam menunaikan tugas suci, peradaban rakyat kita yang berjuta-juta ini. Berikanlah Ibu-Ibu yang tegas dan bijaksana, maka kemajuan bangsa hanya soal waktu saja.” Secara resmi sekolah yang dicita-citakannya berdiri. Mula-mula siswanya hanya 9 orang dengan materi pelajaran berupa menjahit, menyulam, memasak, dan bahasa Jawa. Sekolah Kartini kemudian didirikan di beberapa daerah seperti Semarang (1912), Jakarta (1913), Malang (1916), Madiun dan Bogor (1914), Cirebon (1916), Rembang (1918), Pekalongan (1917), Indramayu (1918), dan Surabaya (1918).

R. Dewi sartika
Beliau merupakan tokoh wanita dalam dunia pendidikan. Ia membangun sekolah Kautamaan Isteri dengan bantuan dari Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara dan Ibu Uwid. Sekolah ini memiliki 2 kelas dengan jumlah murid mula-mula 20 orang. Yang diajarkan pada sekolah ini sama dengan sekolah-sekolah umum hanya ditambah dengan beberapa keterampilan seperti memasak, mencuci, menyeterika, dan membatik.

d. Perguruan Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara
Nama sebenarnya adalah R.M. Suwardi Suryadiningrat. Pada 3 Juli 1922 mendirikan Perguruan taman Siswa di Jogyakarta. Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional, dan badan pembangunan masyarakat serta kebudayaan. Ia mengartikan pendidikan sebagai proses pembudayaan kodrat alam setiap individu yang memiliki kemampuan-kemampuan bawaan untuk dapat mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan lahir batin, sehingga memperoleh keselamatan dalam hidup lahiriah dan kebahagiaan dalam hidup batiniah. Cita-cita pendidikan Taman Siswa adalah membangun orang yang berpikir merdeka, ialah manusia yang merdeka lahir dan batin. Jenjang dan jenis pendidikan Taman siswa terbagi menjadi (1) Taman Indria, (2) Taman Anak, (3) Taman Muda, (4) Taman Dewasa, (5) Taman Madya, (6) Taman Sarjana, (7) Taman Guru, dan (8) Taman Karya.

Muhammad Syafei
Muhammad Syafei lahir di sumatera Barat pada tanggal 21 Januari 1896. Ia pernah mengajar di sekolah kartini di Jakarta, dan memasukkan pelajaran pekerjaan tangan sebagai mata pelajaran fakultatif atau pilihan. Muhammad Syafei mendirikan sekolah yang bernama Indnesische nederland School (INS) Kayutanam, Sumetera Barat. Ia mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme, cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam. Fungsi pendidikan menurutnya adalah membantu manusia keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin antar bangsa. Manusia dan bangsa yang dapat bertahan ialah manusia dan bangsa yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat atau zamannya. Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk secara terus-menerus kesempurnaan lahir batin anak agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang selalu mengalami perubahan atau kemajuan. Kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum untuk pendidikan sekolah dasar. Mata pelajaran yang dibahas secara khusus misalnya bahasa Ibu, menggambar, membersihkan sekolah, berkebun, bermain-main, standen, pertandingan, pelatihan keindahan, dan pendidikan sosial.   

Perkembangan Pendidikan di Kalimantan Selatan
1.  Madrasah Persatuan Perguruan Islam
Pada abad ke-20 di Kalsel tumbuh dan berkembang madrasah-madrasah dengan sistem klasikal. Madrasah yang berkembang tidak memiliki hubungan antaran yang satu dengan yang lainnya, baik dari segi administratif maupun pengelolaannya. Meski sama-sama sekolah agama, tetapi tidak memiliki keseragaman bentuk dan kurikulum. Oleh karena itu, H. As’ad, H. Mukhtar, dan H. Mansur membentuk Persatuan Perguruan Islam yang bertujuan untuk mengkoordinasikan madrasah-madrasah Islam dan menyeragamkan bentuk serta isi kurikulum yang ada. Pusat Persatuan Perguruan Islam bertempat di Barabai sebagai pelopor, di antaranya Pantai Hambawang, Jatuh, Birayang, Kandangan, Amuntai, Banjarmasin, dan lain-lain. Tingkatan pendidikannya terbagi menjadi tingkat Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Yang dipelajari adalah ilmu agama dan ilmu pendidikan umum dengan cara mengajar sistem guru vak (guru pemegang pelajaran) guru diberi wewenang untuk memegang mata pelajaran yang disenanginya.


2. Madrasah Sarekat Islam
Sarekat Islam berdiri di Banjarmasin tahun 1914 dan mendapat pengakuan hukum. Tokohnya adalah H.M. Arif, seorang pedagang asal Marabahan. Sarekat Islam mendirikan sekolah lima tahun yang diberi nama Hadhihil Al Madrastul wathoniah dengan memberi pengajaran ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Pengajarnya antara lain H.M. Said, Said Idrus, Syekh Mohammad bin Amir, H. Makhmud, M. Ideham, M. Pasi, H. Anang Akhmad, H. Abd. Syukur, dan H. Hamsyah.

3. Sekolah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Banjarmasin tahun 1930 dengan cabang-cabangnya di Kal-sel hingga ke pesisir timur Sumatera. Kegiatan bidang pendidikan yang terkenal adalah madrasyah Musyawaratuttalibin yang tertinggi setingkat dengan tsanawiyah. Tokohnya adalah H. Mahyudin. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Untuk mata pelajaran umum dipakai kurikulum yang mengacu pada pesantren Gontor dengan sistem guru vak.
4. Taman Siswa
Di Kalsel Taman Siswa mendapat dorongan dari H.M. Arif, tokoh Sarekat Islam. Cikal berdirinya Taman Siswa bermula dari Particutiere Hollands Inlandse School (PHIS) atau HIS swasta pada tahun 1929 yang didirikan pemuda Marabahan. Mula-mula dipelopori dan diajar oleh Marjuna. Tanggal 1 Januari 1931 atas persetujuan bersama ditetapkan bahwa PHIS dijadikan Taman Siswa cabang Marabahan. Taman Siswa menyelenggarakan pendidikan setingkat Taman Muda/pendidikan kelas 4-6 untuk anak usia 10-13 tahun, tapi orang dewasa juga dapat mengikuti pendidikan yang dikelola Taman Siswa pada sore hari.

5. Perguruan Rakyat Parindra
Cabang Partai Indonesia Raya berdiri tahun 1935 yang dipimpin oleh Merah Djohansyah, pembentuk Perguruan Rakyat Parindra di kandangan, Banjarmasin, barabai, Birayang, dan Amuntai. Akhir 1939 sekolah ini melebur menjadi IHS (Inheemse Hollandse School). Setelah peleburan tersebut, Perguruan Rakyat Parindra menghilang dan kembali ke sekolah sejenis Inlandse school. Jika dulu untuk masuk sekolah Perguruan Rakyat Parindra harus tamat Inlandse school/sederajat, kemudian sekolah ini setingkat dengan SD. Sekolah-sekolah Parindra setingkat Volkschool tersebut juga terdapat di Banjarmasin, Barabai, Birayang, dan Amuntai. Sedangkan sekolah Perguruan Rakyat yang setingkat dengan MULO hanya di kandangan, kedudukan Komisaris Daerah Parindra Kalsel.