Jumat, 03 Agustus 2012

Perkembangan Linguistik di Indonesia


A. Pendahuluan
Indonesia memiliki area yang cukup memungkinkan untuk berkembangnya penelitian di segala bidang, khususnya bidang linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini, linguistik memiliki peran dalam melestarikan budaya lisan maupun tulisan (bahasa) yang sudah lama ada dan berkembang di Indonesia.
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda. Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan penyebaran agama Nasrani. Akan tetapi, pada masa tersebut penelitian bahasa hanya pada tahap deskripsi sederhana mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, serta pencatatan butir-butir leksikal yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Eropa lainnya.

B. Perkembangan Linguistik di Indonesia
Istilah linguistik dapat dipahami sebagai keilmuan yang membicarakan bahasa, baik pendekatan maupun tujuannya. Karya Raja Ali Haji (1856) dapat digolongkan sebagai karya linguistik ilmiah karena prestasi kebahasaan pada zamannya meskipun hanya berupa karya pedagogis. Dalam perkembangannya di Indonesia bidang yang paling banyak diminati adalah gramatik, khususnya sintaksis. Hal itu disebabkan karena kajian linguistik Indonesia tumbuh dari perhatian pada pemakaian bahasa khususnya tata bahasa (gramatika pedagogis). Kalau linguistik Eropa lahir dari filsafat, linguistik India dan Arab lahir dari Agama, linguistik Indonesia lahir dari pengajaran bahasa.
Hal yang perlu mendapat perhatian untuk melihat perkembangan linguistik di Indonesia adalah karya yang dihasilkan oleh tokoh dan pemikirannya sebagai berikut:
Tokoh dan Karya Pemicu Kebangkitan Linguistik Indonesia

No.
Nama
Tahun
Judul
1
Joannes Roman
1653
Grond ofte Kort Berich van de Malaysche Tale, Vervat in Twee Deelen: Het eerste handelende van de Letters ende Haren aenhangh, Het Andere, van de deelen eener Redene
2
George Henrik Werndly
1736
Maleische Spraakkuntst
3
William Marsden
1812
A Grammar of the Malayan Language
4
John Crawfurd
1852
A Grammar and Dictionary of the Malay Language
5
Raja Ali Haji
1857 dan 1859
Bustanul Katibin

Kitab Pengetahuan Bahasa
6
J.J. de Hollander
1882
Handleiding bij de Boefening der Maleische Taal en Letterkunde
7
Gerth van Wijk
1889
Spraakleer der Maleische Taal
8
Koewatin Sasrasoeganda
1910
Kitab jang Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe
9
Ch. Van Ophujsen
1915
Maleische Spraakkunst
10
R. O.  Winsted
1914
Malay Grammar
11
Zainal ‘Abidin bin Ahmad (Za’ba)
1940
Pelita Bahasa Melayu
12
Soetan Moehammad Zain
1943
Djalan Bahasa Indonesia
13
S. Takdir Alisjahbana
1953
Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia
14
Madong Lubis
1954
Paramasastra Lanjut
15
I. R. Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder
1955
Tata Bahasa Indonesia
16
C. A. Mess
1957
Tatabahasa Indonesia
17
Slametmuljana
1957
Kaidah Bahasa Indonesia
18
Teeuw
1961
Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia
19
E. M. F. Payne
1964
Basic Syntactic Structures in Standar Malay
20
Ramlan
1964

1985
Tipe-tipe Konstruksi Frase dalam Bahasa Indonesia
Tata Bahasa Indonesia, Penggolongan Kata
21
Anton M. Moeliono
1967
Suatu Reorientasi dalam Tata Bahasa Indonesia
22
Gorys Keraf
1969
Tatabahasa Indonesia
23
S. Wojowasito
1978
Ilmu Kalimat Strukturil
24
Samsuri
1985
Tata Kalimat Bahasa Indonesia
            Keduapuluh empat linguis tersebut membentangkan gagasan dengan silang pendapat yang sangat menarik. Perbedaan filosofi kajian mereka terekam dalam pembahasan mengenai kelas kata yang mereka lakukan. Keduapuluh empat linguis tersebut membagi kelas kata bahasa Indonesia secara bervariasi. Jumlah kelas kata yang paling sedikit dilakukan oleh Samsuri (1985) yang hanya membagi kelas kata bahasa Indonesia atas dua kelas saja dan jumlah kelas kata yang paling banyak dilakukan oleh Ramlan (1985) yang membagi kelas kata bahasa Indonesia atas 12 kelas kata.
Kridalaksana (1986) secara memadai menyajikan bahasan mengenai silang pendapat kelas kata bahasa Indonesia yang pernah dituliskan oleh keduapuluh empat linguis.
            Ada  beberapa filosofi berpikir yang berkembang pada perkembangan awal kajian linguistik Indonesia. Kridalaksana (1986: 9 – 26) membaginya ke dalam empat kategori, yaitu pandangan yang mengacu ke:
(1) tatabahasa pedagogis,
(2) tatabahasa teknis,
(3) tatabahasa modern, dan
(4) tatabahasa pedagogis yang berorientasi linguistis.

Empat kategori ini dapat dirinci menjadi dua garis besar saja, yaitu tatabahasa pedagogis yang berorientasi ke tatabahasa tradisional dan tata bahasa teknis yang menjadikan struktural sebagai pijakan analisis.
            Tatabahasa pedagogis merupakan kajian linguistik yang bertujuan mempelajari suatu bahasa untuk keperluan penguasaan bahasa tersebut agar dapat digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan penutur asli maupun dengan penutur asing. Tata bahasa pedagogis merupakan pelengkap dari pengajaran bahasa. Pada perkembangan awal, kajian linguistik secara pedagogik dilakukan oleh kaum penjajah untuk memperkukuh kekuasaannya dan oleh kaum misionaris nasrani dan muslim untuk menyebarkan agamanya.
Ada dua kelompok tatabahasa pedagogis, kelompok pertama mereka yang menelaah bahasa ini secara nonformal untuk tujuan mempelajari bahasa Melayu dengan maksud ingin berintegrasi dengan masyarakat nusantara. Kelompok kedua,  mereka yang mulai menyusun tatabahasa dengan maksud diajarkan secara formal kepada orang lain. Kedua kelompok ini umumnya dipelopori oleh linguis Belanda. Kajian linguistiknya didasarkan pada telaah yang telah dilakukan terhadap bahasa Belanda. Kajian ini mengacu kepada tatabahasa tradisional sesuai pandangan Aristoteles terutama dalam hal kelas kata. Mereka mengaji bahasa berdasarkan makna yang bersifat normatif dan tidak terlalu peduli terhadap bentuk. Hal ini terlihat jelas dalam kelas kata yang mereka buat.
Kridalaksana (1986: 10 – 18) menyebutkan sejumlah nama yang tergolong ke dalam penelaah tatabahasa pedagogis ini antara lain:
1)      Joannes Roman (1653),
2)      George Henrik Werndly (1736),
3)      William Marsden (1812),
4)      John Crawfurd (1852),
5)      Raja Ali Haji (1857 dan 1859),
6)      J.J. de Hollander (1882),
7)      Gerth van Wijk (1889),
8)      Koewatin Sasrasoeganda (1910),
9)      Ch. Van Ophujsen (1915),
10)  R. O.  Winsted (1914),
11)  Soetan Moehammad Zain (1943),
12)  Sutan Takdir Alisjahbana (1953),
13)  Madong Lubis (1954),
14)  I.R. Poedjawijatna dan P. J. Zoetmulder (1955), dan
15)  C. A. Mess (1957).

Sejak dari Joanes Roman (1653) sampai dengan John Crawfurd (1852) telaah tatabahasa pedagogis dilakukan dengan tujuan ingin menguasai bahasa Melayu dan menggunakannya secara langsung ke penutur bahasa Melayu di Nusantara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil telaah ini dipelajari secara nonformal oleh komunitas Belanda yang bertugas di Indonesia. Mulai pada masa Raja Ali Haji (1857) hingga masa C. A. Mess (1957) tatabahasa pedagogis ini dipelajari secara formal baik melaui bangku sekolah maupun dalam kursus-kursus bahasa.
Di antara linguis tatabahasa pedagogis ini Kridalaksana (1986:14) menyebutkan bahwa Koewatin Sasrasoganda (1910) adalah  linguis pribumi pertama yang menulis tatabahasa Melayu dalam bahasa Melayu dengan tradisi Yunani-Latin-Belanda. Kridalaksana menggelarinya sebagai Bapak Tata Bahasa Tradisional.
 Kategori kedua adalah tata bahasa teknis. Tata bahasa ini berusaha untuk memahami bahasa dengan memanfaatkan teori dan metode linguistik. Linguis sudah mulai menggunakan kriteria yang jelas dalam penelaahan bahasa. Linguis yang digolongkan ke dalam kategori ini adalah Slametmuljana (1957), Anton M. Moeliono (1967), S. Wojowasito (1978). M. Ramlan (1985), dan Samsuri (1985).
Slamemuljana (1957) menelaah bahasa Indonesia dengan menggunakan analisis fungsionalistis, yaitu analisis yang menekankan kepada fungsi gramatika dalam telaah kalimat. Slametmuljana mulai mengenalkan gatra, seperti gatra sebutan untuk subjek, gatra pangkal untuk predikat. Telaah ini menekankan kepada fungsi kalimat. Kepulangan Anton M. Moeliono dari Amerika Serikat memicu perkembangan besar linguistik Indonesia. Chaer (2007:378) menyatakan bahwa Anton M. Moeliono dan T. W. Kamil yang baru saja pulang dari Amerika Serikat, keduanya adalah orang yang pertama kali mengenalkan konsep fonem, morfem, frasa dan klausa dalam pendidikan formal linguistik di Indonesia. Sebelumnya yang dikenal hanya kata dan kalimat.
Kehadiran M. Ramlan (1985) dengan tatabahasa struktural dan Samsuri (1985) dengan tatabahasa generatif membangkitkan linguistik Indonesia menjadi sebuah kajian yang menarik perhatian. Konsep struktural Ferdinan de Saussure disusul  oleh strukturalisme Bloomfield dan teori transformasi Chomsky mulai bergema di berbagai perguruan tinggi. Kajian Keraf dan Kajian Verhaar terhadap bahasa Indonesia melengkapi kebangkitan telaah linguistik Indonesia.

Berikut kemajuan yang dicapai sepanjang sejarah linguistik Indonesia dalam beberapa bidang kajiannya antara lain:
1. Bidang fonologi
a.    masuknya konsep fonem (tahun 70-an),
b.    masuknya wawasan tentang unsur suprasegmental oleh Amran Halim, Intonasi (1969), dan Hans Lapoliwa (1981) dengan fonologi generatifnya.
c.    Usaha memahami lafal bahasa Indonesia oleh Joko Kencono (1983).
2. Bidang morfologi
a.    masuknya konsep morfem (tahun 60-an)
b.    pemakaian Model IA
c.    penggunaan Model IP

3. Bidang Sintaksis
a.    pengenalan konsep hierarki gramatikal dalam linguistik Indonesia.
b.    Pengenalan konsep frasa menggunakan teori Hockett (aliran Neo Bloomfieldian) oleh Ramlan (1964)
c.    Pengenalan teori tagmemik oleh Kridalaksana (70-an)
d.    Sudaryanto (1979) mempertajam konsep klausa.
4. Bidang leksikografi
Muncul seorang pelopor leksikografi modern Indonesia, yaitu W.J.S.Poerwadarminta. Kamusnya yang terkenal adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Selain itu, ia juga menaruh perhatian pada bahasa Jawa dan Jawa Kuno.

Perkembangan linguistik semakin meriah pada tahun 2000 hingga sekarang ini dengan munculnya beragam bidang dan pendekatan kajian linguistik yang dilakukan di pelbagai universitas di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari sering munculnya tulisan-tulisan (jurnal, makalah, artikel, tesis, atau disertasi) yang menggali tentang bahasa, khususnya pragmatik bahasa Indonesia.

C. Simpulan
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda. Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan penyebaran agama Nasrani.
Periode perkembangan linguistik di Indonesia meliputi:
1. …sampai 1940
Sampai akhir abad 19 buku-buku tata bahasa banyak mendapat pengaruh tata bahasa tradisional model Yunani dan Latin.
2. Tahun 40-an sampai 60-an
Pada periode ini karya-karya kebahasaan dapat dibagi atas tata bahasa pedagogis dan tata bahasa teoretis. Penelitian yang bersifat ilmiah dan teoretis belum berkembang pesat pada periode ini, namun beberapa buku berusaha mengungkap sisi lain bahasa Indonesia secara ilmiah.
3. Tahun 60-an sampai 70-an
Periode ini menandai dimulainya kajian-kajian empiris tentang bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa lain.
4. Tahun 70-an sampai 80-an
Antara tahun tersebut teori linguistik Indonesia ditandai dengan penerapan teori aliran Leiden, dan teori TG. Hal baru yang diperkenalkan dalam sistem bahasa Indonesia adalah wacana sebagai satuan terbesar dalam hierarki gramatikal.
5. Tahun 80-an sampai 90-an
Pada periode ini perkembangan teori linguistik menjadi sintesis atas teori-teori yang ada. Penelitian dalam bidang pragmatik mulai mendapat tempat cukup penting dalam penelitian linguistik Indonesia.


Tidak ada komentar: