A. Pendahuluan
Indonesia memiliki area yang cukup memungkinkan untuk
berkembangnya penelitian di segala bidang, khususnya bidang linguistik. Linguistik
adalah ilmu yang mempelajari bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai
objek kajiannya. Dalam hal ini, linguistik memiliki peran dalam melestarikan
budaya lisan maupun tulisan (bahasa) yang sudah lama ada dan berkembang di
Indonesia.
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini
diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi
mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda.
Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan
penyebaran agama Nasrani. Akan tetapi, pada masa tersebut penelitian bahasa
hanya pada tahap deskripsi sederhana mengenai sistem fonologi, morfologi,
sintaksis, serta pencatatan butir-butir leksikal yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda dan Eropa lainnya.
B. Perkembangan Linguistik di Indonesia
Istilah linguistik
dapat dipahami sebagai
keilmuan yang membicarakan bahasa, baik pendekatan maupun tujuannya. Karya
Raja Ali Haji (1856) dapat
digolongkan sebagai karya linguistik ilmiah karena prestasi kebahasaan pada
zamannya meskipun hanya
berupa karya
pedagogis. Dalam perkembangannya
di Indonesia bidang yang paling banyak diminati adalah gramatik, khususnya
sintaksis. Hal itu disebabkan karena kajian linguistik Indonesia tumbuh dari
perhatian pada pemakaian bahasa khususnya tata bahasa (gramatika pedagogis).
Kalau linguistik Eropa lahir dari filsafat, linguistik India dan Arab lahir
dari Agama, linguistik Indonesia lahir dari pengajaran bahasa.
Hal yang perlu mendapat perhatian untuk melihat
perkembangan linguistik di Indonesia adalah karya yang dihasilkan oleh tokoh
dan pemikirannya sebagai berikut:
Tokoh dan
Karya Pemicu Kebangkitan Linguistik Indonesia
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Judul
|
1
|
Joannes
Roman
|
1653
|
Grond ofte
Kort Berich van de Malaysche Tale, Vervat in Twee Deelen: Het eerste
handelende van de Letters ende Haren aenhangh, Het Andere, van de deelen
eener Redene
|
2
|
George
Henrik Werndly
|
1736
|
Maleische
Spraakkuntst
|
3
|
William
Marsden
|
1812
|
A Grammar
of the Malayan Language
|
4
|
John
Crawfurd
|
1852
|
A Grammar
and Dictionary of the Malay Language
|
5
|
Raja Ali
Haji
|
1857 dan 1859
|
Bustanul
Katibin
Kitab
Pengetahuan Bahasa
|
6
|
J.J. de
Hollander
|
1882
|
Handleiding
bij de Boefening der Maleische Taal en Letterkunde
|
7
|
Gerth van
Wijk
|
1889
|
Spraakleer
der Maleische Taal
|
8
|
Koewatin
Sasrasoeganda
|
1910
|
Kitab jang
Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe
|
9
|
Ch. Van
Ophujsen
|
1915
|
Maleische
Spraakkunst
|
10
|
R.
O. Winsted
|
1914
|
Malay
Grammar
|
11
|
Zainal
‘Abidin bin Ahmad (Za’ba)
|
1940
|
Pelita
Bahasa Melayu
|
12
|
Soetan
Moehammad Zain
|
1943
|
Djalan
Bahasa Indonesia
|
13
|
S. Takdir
Alisjahbana
|
1953
|
Tata
Bahasa Baru Bahasa Indonesia
|
14
|
Madong
Lubis
|
1954
|
Paramasastra
Lanjut
|
15
|
I. R.
Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder
|
1955
|
Tata
Bahasa Indonesia
|
16
|
C. A. Mess
|
1957
|
Tatabahasa
Indonesia
|
17
|
Slametmuljana
|
1957
|
Kaidah
Bahasa Indonesia
|
18
|
Teeuw
|
1961
|
Critical
Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia
|
19
|
E. M. F.
Payne
|
1964
|
Basic
Syntactic Structures in Standar Malay
|
20
|
Ramlan
|
1964
1985
|
Tipe-tipe
Konstruksi Frase dalam Bahasa Indonesia
Tata
Bahasa Indonesia, Penggolongan Kata
|
21
|
Anton M.
Moeliono
|
1967
|
Suatu
Reorientasi dalam Tata Bahasa Indonesia
|
22
|
Gorys
Keraf
|
1969
|
Tatabahasa
Indonesia
|
23
|
S.
Wojowasito
|
1978
|
Ilmu
Kalimat Strukturil
|
24
|
Samsuri
|
1985
|
Tata
Kalimat Bahasa Indonesia
|
Keduapuluh empat linguis tersebut
membentangkan gagasan dengan silang pendapat yang sangat menarik. Perbedaan
filosofi kajian mereka terekam dalam pembahasan mengenai kelas kata yang mereka
lakukan. Keduapuluh empat linguis tersebut membagi kelas kata bahasa Indonesia
secara bervariasi. Jumlah kelas kata yang paling sedikit dilakukan oleh Samsuri
(1985) yang hanya membagi kelas kata bahasa Indonesia atas dua kelas saja dan
jumlah kelas kata yang paling banyak dilakukan oleh Ramlan (1985) yang membagi
kelas kata bahasa Indonesia atas 12 kelas kata.
Kridalaksana (1986) secara memadai
menyajikan bahasan mengenai silang pendapat kelas kata bahasa Indonesia yang
pernah dituliskan oleh keduapuluh empat linguis.
Ada beberapa filosofi berpikir yang berkembang pada perkembangan awal
kajian linguistik Indonesia. Kridalaksana (1986: 9 – 26) membaginya ke dalam
empat kategori, yaitu pandangan yang mengacu ke:
(1) tatabahasa pedagogis,
(2) tatabahasa teknis,
(3) tatabahasa modern, dan
(4) tatabahasa pedagogis yang berorientasi linguistis.
Empat kategori ini dapat dirinci
menjadi dua garis besar saja, yaitu tatabahasa pedagogis yang berorientasi ke
tatabahasa tradisional dan tata bahasa teknis yang menjadikan struktural
sebagai pijakan analisis.
Tatabahasa pedagogis merupakan kajian linguistik yang bertujuan mempelajari
suatu bahasa untuk keperluan penguasaan bahasa tersebut agar dapat digunakan
dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan
penutur asli maupun dengan penutur asing. Tata bahasa pedagogis merupakan
pelengkap dari pengajaran bahasa. Pada perkembangan awal, kajian
linguistik secara pedagogik dilakukan oleh kaum penjajah untuk memperkukuh
kekuasaannya dan oleh kaum misionaris nasrani dan muslim untuk menyebarkan
agamanya.
Ada dua kelompok tatabahasa
pedagogis, kelompok pertama mereka
yang menelaah bahasa ini secara nonformal untuk tujuan mempelajari bahasa
Melayu dengan maksud ingin berintegrasi dengan masyarakat nusantara. Kelompok kedua, mereka yang mulai
menyusun tatabahasa dengan maksud diajarkan secara formal kepada orang lain.
Kedua kelompok ini umumnya dipelopori oleh linguis Belanda. Kajian
linguistiknya didasarkan pada telaah yang telah dilakukan terhadap bahasa
Belanda. Kajian ini mengacu kepada tatabahasa
tradisional sesuai pandangan Aristoteles terutama dalam hal kelas kata.
Mereka mengaji bahasa berdasarkan makna
yang bersifat normatif dan tidak terlalu peduli terhadap bentuk. Hal ini
terlihat jelas dalam kelas kata yang mereka buat.
Kridalaksana (1986: 10 – 18)
menyebutkan sejumlah nama yang tergolong ke dalam penelaah tatabahasa pedagogis
ini antara lain:
1)
Joannes Roman (1653),
2)
George Henrik Werndly (1736),
3)
William Marsden (1812),
4)
John Crawfurd (1852),
5)
Raja Ali Haji (1857 dan 1859),
6)
J.J. de Hollander (1882),
7)
Gerth van Wijk (1889),
8)
Koewatin Sasrasoeganda (1910),
9)
Ch. Van Ophujsen (1915),
10)
R. O. Winsted (1914),
11)
Soetan Moehammad Zain (1943),
12)
Sutan Takdir Alisjahbana (1953),
13)
Madong Lubis (1954),
14)
I.R. Poedjawijatna dan P. J. Zoetmulder (1955), dan
15)
C. A. Mess (1957).
Sejak dari Joanes Roman (1653)
sampai dengan John Crawfurd (1852) telaah tatabahasa pedagogis dilakukan dengan
tujuan ingin menguasai bahasa Melayu dan menggunakannya secara langsung ke
penutur bahasa Melayu di Nusantara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil
telaah ini dipelajari secara nonformal oleh komunitas Belanda yang bertugas di
Indonesia. Mulai pada masa Raja Ali Haji (1857) hingga masa C. A. Mess (1957)
tatabahasa pedagogis ini dipelajari secara formal baik melaui bangku sekolah
maupun dalam kursus-kursus bahasa.
Di antara linguis tatabahasa
pedagogis ini Kridalaksana (1986:14) menyebutkan bahwa Koewatin Sasrasoganda
(1910) adalah linguis pribumi pertama yang menulis tatabahasa Melayu
dalam bahasa Melayu dengan tradisi Yunani-Latin-Belanda. Kridalaksana
menggelarinya sebagai Bapak Tata Bahasa
Tradisional.
Kategori kedua adalah tata
bahasa teknis. Tata bahasa ini berusaha untuk memahami bahasa dengan
memanfaatkan teori dan metode linguistik. Linguis sudah mulai menggunakan kriteria
yang jelas dalam penelaahan bahasa. Linguis yang digolongkan ke dalam kategori
ini adalah Slametmuljana (1957), Anton M. Moeliono (1967), S. Wojowasito
(1978). M. Ramlan (1985), dan Samsuri (1985).
Slamemuljana (1957) menelaah bahasa
Indonesia dengan menggunakan analisis fungsionalistis, yaitu analisis yang
menekankan kepada fungsi gramatika dalam telaah kalimat. Slametmuljana mulai
mengenalkan gatra, seperti gatra sebutan untuk subjek, gatra pangkal untuk
predikat. Telaah ini menekankan kepada fungsi kalimat. Kepulangan Anton M.
Moeliono dari Amerika Serikat memicu perkembangan besar linguistik Indonesia.
Chaer (2007:378) menyatakan bahwa Anton M. Moeliono dan T. W. Kamil yang baru
saja pulang dari Amerika Serikat, keduanya adalah orang yang pertama kali
mengenalkan konsep fonem, morfem, frasa dan klausa dalam pendidikan formal
linguistik di Indonesia. Sebelumnya yang dikenal hanya kata dan kalimat.
Kehadiran M. Ramlan (1985) dengan
tatabahasa struktural dan Samsuri (1985) dengan tatabahasa generatif membangkitkan
linguistik Indonesia menjadi sebuah kajian yang menarik perhatian. Konsep
struktural Ferdinan de Saussure disusul oleh strukturalisme Bloomfield
dan teori transformasi Chomsky mulai bergema di berbagai perguruan tinggi.
Kajian Keraf dan Kajian Verhaar terhadap bahasa Indonesia melengkapi
kebangkitan telaah linguistik Indonesia.
Berikut kemajuan yang dicapai sepanjang sejarah
linguistik Indonesia dalam beberapa bidang kajiannya antara lain:
1. Bidang fonologi
a. masuknya konsep fonem
(tahun 70-an),
b. masuknya wawasan
tentang unsur suprasegmental oleh Amran Halim, Intonasi
(1969), dan Hans Lapoliwa (1981) dengan fonologi
generatifnya.
c. Usaha memahami lafal
bahasa Indonesia oleh Joko Kencono (1983).
2. Bidang morfologi
a. masuknya konsep morfem
(tahun 60-an)
b. pemakaian Model IA
c. penggunaan Model IP
3. Bidang Sintaksis
a. pengenalan konsep
hierarki gramatikal dalam linguistik Indonesia.
b. Pengenalan konsep frasa
menggunakan teori Hockett (aliran Neo
Bloomfieldian)
oleh Ramlan (1964)
c. Pengenalan teori
tagmemik oleh Kridalaksana (70-an)
d. Sudaryanto (1979)
mempertajam konsep klausa.
4. Bidang leksikografi
Muncul seorang pelopor leksikografi modern
Indonesia, yaitu W.J.S.Poerwadarminta.
Kamusnya
yang terkenal adalah Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1952). Selain itu,
ia juga menaruh perhatian pada bahasa Jawa dan Jawa Kuno.
Perkembangan linguistik
semakin meriah pada tahun 2000 hingga sekarang ini dengan munculnya beragam
bidang dan pendekatan kajian linguistik yang dilakukan di pelbagai universitas
di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari sering munculnya tulisan-tulisan (jurnal, makalah,
artikel, tesis, atau disertasi) yang menggali tentang bahasa, khususnya pragmatik
bahasa Indonesia.
C. Simpulan
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini
diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi
mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda.
Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan
penyebaran agama Nasrani.
Periode perkembangan linguistik di Indonesia meliputi:
1. …sampai 1940
Sampai akhir abad 19
buku-buku tata bahasa banyak mendapat pengaruh tata bahasa tradisional model
Yunani dan Latin.
2. Tahun 40-an sampai 60-an
Pada periode ini
karya-karya kebahasaan dapat dibagi atas tata bahasa pedagogis dan tata bahasa
teoretis. Penelitian yang bersifat ilmiah dan teoretis belum berkembang pesat
pada periode ini,
namun beberapa buku berusaha mengungkap sisi lain bahasa Indonesia secara
ilmiah.
3. Tahun 60-an sampai 70-an
Periode ini menandai
dimulainya kajian-kajian empiris tentang bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa
lain.
4. Tahun 70-an sampai 80-an
Antara tahun tersebut
teori linguistik Indonesia ditandai dengan penerapan teori aliran Leiden, dan teori TG. Hal
baru yang diperkenalkan dalam sistem bahasa Indonesia adalah wacana sebagai
satuan terbesar dalam hierarki gramatikal.
5. Tahun 80-an sampai 90-an
Pada periode ini
perkembangan teori linguistik menjadi
sintesis atas teori-teori yang ada. Penelitian dalam bidang pragmatik mulai
mendapat tempat cukup penting dalam penelitian linguistik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar