Manusia
sebagai makhluk sosial memiliki fungsi dalam membentuk interaksi
antar-persona. Interaksi ini menuntut adanya hubungan timbal-balik yang
biasanya tampak pada percakapan sehari-hari. Hal ini dilakukan sebagai
upaya dalam pemeliharaan hubungan sosial di masyarakat. Oleh karena itu,
kegiatan bicara menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mendukung
fungsi sosial dari manusia itu sendiri.
Kegiatan
bicara merupakan sebuah bentuk wacana lisan yang di dalamnya terdapat
tindak tutur. Dengan kata lain, kegiatan bicara adalah wujud nyata dari
pelaksanaan tindak tutur. Wacana atau discourse
merupakan satuan bahasa yang paling besar dalam komunikasi, baik lisan
maupun tulisan. Dalam wacana tulis, proses komunikasi antara penutur dan
petutur (mitra tutur) tidak terjadi secara langsung. Berbeda halnya
dengan wacana lisan yang melibatkan penutur dan petutur secara langsung.
Dalam wacana lisan, tuturan sangat dipengaruhi oleh konteks. Oleh
karena itu, wacana lisan lebih bersifat temporer yang fana, artinya
setelah diucapkan langsung hilang sehingga penafsirannya harus
melibatkan konteks ketika tuturan itu diujarkan. (Arifin dan Rani, 2000:
4).
Dalam
kehidupan sehari-hari tindak tutur dapat ditampilkan secara bervariasi.
Dengan kata lain, sebuah wacana tidak hanya dibentuk oleh satu tindak
tutur saja, melainkan dapat divariasikan dengan tindak tutur yang lainnya. Tindak
tutur dapat dinyatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa
yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat
psikologis, dan keberlangsungannya bergantung pada kemampuan penutur
dalam menghasilkan suatu kalimat sesuai dengan kondisinya.
Tindak
tutur dalam sebuah wacana merupakan penentu makna dari wacana itu
sendiri. Akan tetapi, makna sebuah wacana tidak ditentukan oleh
satu-satunya tindak tutur. Austin (dalam Arifin dan Rani, 2000: 138) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi tiga macam yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Akan tetapi, tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin ini masih
terlalu abstrak dan belum memberikan taksonomi yang jelas (Jumadi, 2005:
43). Oleh karena itu, Searle mengembangkan ide-ide Austin agar teori
tindak tutur menjadi lebih konkret. Pada awalnya Searle membagi tindak
tutur menjadi empat jenis yaitu tindak bertutur (utterance acts), tindak proposisional (propositional acts), tindak ilokusi (illocutionary acts), dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Namun dalam perkembangannya, Searle lebih memusatkan teori tindak tutur pada tindak ilokusi. Ia membagi teori tindak tutur menjadi lima jenis yang meliputi representatif/asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pengklasifikasian tindak tutur ini didasarkan pada fungsi pada masing-masing tindak tutur itu sendiri.
Pada
ragam bahasa informal tindak tutur dapat pula digunakan secara
bervariasi sesuai dengan pertimbangan pada komponennya. Komponen itu
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hymes (Chaer dan Agustina, 1995: 62)
meliputi setting and scene (situasi yang bagaimana), participants (siapa berbicara dengan siapa), ends (dengan tujuan apa), act sequences (bentuk dan isi ujaran yang bagaimana), key (nada, cara, dan semangat yang seperti apa), instrumentalities (mengacu pada jalur apa), norm of interaction and interpretation (aturan apa yang digunakan), dan genres
(ragam bahasa yang mana). Pertimbangan-pertimbangan ini dapat menjadi
pijakan dalam pemilihan tindak tutur yang tepat sehingga komunikatif dan
efektif saat digunakan terutama dalam interaksi belajar-mengajar di
ruang perkuliahan.
Penelitian mengenai tindak tutur ini sebenarnya sudah banyak dilakukan. Penelitian itu diantaranya Memahami Al-Quran dengan Pendekatan Pragmatik Tindak Tutur
(Ainin, 2002: 218-232) yang menemukan adanya ‘keterbatasan’ dalam
memahami wacana, khususnya ayat-ayat Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh
pengabaian terhadap tindak lokusi. Penelitian lainnya adalah Tindak Bahasa Guru SMU Negeri 1 Sampang dalam Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia
(Yasin, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perpindahan dari
satu tindak bahasa ke tindak bahasa yang lain sehingga interaksi
belajar-mengajar menjadi lebih komunikatif.
Berdasarkan
uraian sebelumnya, tulisan ini akan mengemukakan bahasan mengenai 1)
wacana, 2) tindak tutur, dan 3) penerapan tindak tutur dalam ragam
informal.
B. Metode Penelitian
Penelitian
ini termasuk jenis analisis wacana. Stubbs (dalam Arifin dan Rani,
2000:8) mengungkapkan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang
meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik
dalam bentuk tulis maupun lisan.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan penggunaan tindak tutur
dalam ragam informal yang melibatkan komunikasi interaktif yang terjadi
di dalam rumah tangga. Adapun untuk mencapai tujuan itu metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif adalah metode yang berusaha menggambarkan sesuatu yang
terjadi dan mengaitkannya dengan variabel-variabel yang telah
ditentukan.
Penelitian
ini dideskripsikan melalui pendekatan kualitatif yang sesuai dengan
hakikat penelitian kualitatif. Permasalahan yang masih belum jelas,
holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna menyebabkan perlunya
menggunakan pendekatan kualitatif. Ini dilakukan karena data pada
situasi sosial tidak mungkin dijaring melalui pendekatan penelitian
kuantitatif dengan instrumen seperti kuesioner.
C. Perspektif Teori
1. Wacana
Wacana merupakan padanan dari discourse. Pada mulanya wacana dalam bahasa Indonesia hanya mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia kata wacana
digunakan sebagai kata umum. Akan tetapi, istilah wacana ini ternyata
mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Arifin dan Rani
(2000: 3) menyatakan wacana sebagai satuan paling besar yang digunakan
dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya berturut-turut adalah
kalimat, frasa, kata, dan bunyi.
Cook
(dalam Arifin dan Rani, 2000: 4) menyatakan wacana sebagai penggunaan
bahasa dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana sebagai
penggunaan bahasa lisan dinyatakan dalam bentuk tuturan. Tuturan
merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan. Tuturan ini sangat
dipengaruhi oleh konteks ketika tuturan tersebut diucapkan. Sedangkan
wacana sebagai penggunaan bahasa tulis diwujudkan dalam teks yang
berisikan rangkaian proposisi sebagai hasil ungkapan dari ide atau
gagasan. Proses komunikasi pada
wacana tulis tidak terjadi secara langsung atau berhadapan. Penutur
(penulis) menuangkan ide atau gagasannya dalam kode-kode kebahasaan
dalam bentuk kalimat-kalimat. Rangkaian kalimat itu nantinya akan
ditafsirkan mitra tutur (pembaca).
Wacana
merupakan teks yang pada dasarnya merupakan satuan dari makna. Oleh
karena itu, teks harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan yaitu
sebagai produk dan hasil. Teks sebagai produk merupakan keluaran (output),
sesuatu yang dapat diremak atau dipelajari karena mempunyai susunan
tertentu dan dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistemik.
Sedangkan teks sebagai proses dinyatakan dalam arti bahwa teks tersebut
memiliki proses pemilihan makna yang terus-menerus, suatu perubahan
melalui jaringan makna, dengan setiap perangkat lebih lanjut.
2. Tindak Tutur
Tindak
tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa
yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat
psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur
dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Richards (dalam Suyono, 1990: 5) yang
berpendapat mengenai tindak tutur sebagai the things we actually do when we speak atau the minimal unit of speaking which can be said to have function.
Pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh Arifin dan Rani (2000:136)
yang menganggap tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu
kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari
komunikasi bahasa. Chaer dan Agustina (1995:64) lebih mengkhususkan
tindak tutur sebagai gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif. Searle (dalam Syamsuddin, et. al.,1998:97) mengemukakan bahwa tindak tutur representatif
merupakan tindak yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan apa dan
bagaimana sesuatu itu terjadi dengan apa adanya. Misalnya pemberian
pernyataan, saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Berbeda halnya
dengan tindak tutur komisif yaitu tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong penutur melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan. Sedangkan tindak tutur direktif dianggap sebagai tindak tutur yang mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Selain
tidak tutur representatif, komisif, dan direktif juga terdapat tindak
ekspresif yaitu tindak tutur yang berkaitan dengan perasaan dan sikap.
Tindak tutur ini berupa tindakan meminta maaf, humor, memuji, basa-basi,
berterima kasih, dan sebagainya. Tindak ekspresif memiliki fungsi untuk
mengekspresikan sikap psikologis pembicara terhadap pendengar
sehubungan dengan keadaan tertentu. Tindak tutur yang terakhir yang
dikelompokan Searle adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif
adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas
yang sebenarnya. Tindak tutur ini dapat dilihat pada tindak menghukum,
menetapkan, memecat, dan memberi nama.
Lima fungsi umum dari tindak tutur yang dikemukakan Searle dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel: Lima Fungsi Umum Tindak Tutur
Tindak Tutur
|
Arah Kesesuaian
|
S=penutur
X=situasi
|
Representatif
Komisif
Direktif
Ekspresif
Deklaratif
|
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat dunia sesuai dengan kata-kata
membuat kata-kata sesuai dengan dunia
kata-kata mengubah dunia
|
S percaya X
S memaksudkan X
S ingin X
S merasa X
S menyebabkan X
|
3. Penerapan Tindak Tutur dalam Ragam Informal
Tindak
tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu.
Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak
tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang diujarkan itu,
tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara
tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh karena itu, mungkin sekali
dalam setiap tindak tutur penutur menuturkan kalimat yang unik karena
adanya usaha untuk menyesuaikan dengan konteksnya. Tindak tutur dapat
dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki
fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan
suatu kalimat dengan kondisi tertentu.
Tindak
tutur pada ragam informal biasanya penggunaan bahasanya lebih santai,
akrab, adanya campuran dengan bahasa daerah yang lebih dominan dalam
komunikasi, dan penggunaan bahasa saat interaksi itu tidak terlalu
menuntut kesantunan bahasa yang berlebihan apalagi jika penutur dan
petutur berada dalam satu tingkatan yang sama, baik usia, tingkat dalam
keluarga, tingkat ekonomi, maupun tingkat jabatan. Selain itu,
pelanggaran terhadap kesantunan bahasa yang digunakan bukan berarti
pelanggaran terhadap norma sosial yang berlaku. Hal ini lebih
dilatar-belakangi oleh tingkat keakraban dalam interaksi yang sedang
berlangsung.
Contohnya:
(1) Kakak : Ada pensil kada?
(ada pensil tidak?)
Adik : Ada ai di warung.
(ada di warung).
Kakak : Kejauhan, adingku ai.
(terlalu jauh, adikku).
Adik : Sini nah ulun tendang, pasti sampai tu.
(Mari, aku tendang, pasti sampai)
Sepintas
percakapan (1) di atas tidak memiliki kesantunan dalam bahasa karena
seorang adik terkesan tidak sopan dengan kakaknya. Seharusnya, seorang
adik saat ditanya oleh kakaknya diharapkan dapat menjawab sesuai dengan
pertanyaan. Namun, dalam wacana di atas adik tidak melakukan hal yang
seharusnya dilakukan dalam santun berbahasa. Akan tetapi, hal ini tidak
ditandai oleh kakak sebagai suatu yang tidak pantas diucapkan adiknya
sebab kedekatan antara kakak dan adik telah menghilangkan perbedaan
tingkatan di keluarga. Selain itu, percakapan ini dimaksudkan untuk
lebih mengakrabkan hubungan dengan komunikasi yang santai.
Searle membagi tindak tutur berdasarkan fungsi pragmatis bahasa yang meliputi tindak tutur representatif atau asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif.
a. Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif
merupakan salah satu tindak untuk menyampaikan proposisi yang benar
dengan apa adanya untuk memperoleh respons sebagai balasan terhadap apa
yang diinginkan penutur. Yang termasuk dalam tindak ini adalah tindak
memberi informasi, memberi izin, permintaan ketegasan maksud tuturan,
saran, memberi izin, keluhan, dan lainnya.
Penggunaan
tindak tutur representatif diilustrasikan oleh penutur yang meyakini
kebenaran terhadap apa yang diyakininya. Dengan kata lain, tindak
representatif dalam ragam informal menyebabkan penutur membuat
kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).
Contoh dialog interaktif ragam informal yang termasuk tindak tutur representatif yaitu:
(2) Linda : Slam, di mana ikam menyimpan file-ku malam tadi?
(Slam, di mana kamu menyimpan file-ku malam tadi?)
Aslam : Buka pang di History. Soalnya malam tadi langsung aku save-kan. Nama file-nya Punya AA PLN. Kalo kadida jua, berelaan ai.
(Coba buka History. Karena, malam tadi langsung disimpan. Nama file-nya Punya AA PLN. Jika tidak ada relakan saja.)
Linda : Bujur-bujur nah. Hari ini handak mahadap ke bos!
(Yang benar. Hari ini mau menemui bos!)
Aslam : Dasar bujur kakaku ai. Buka dulu History, ada kada file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah sih ading pian nih badusta, palingan sesekali za.
(Memang benar kakakku. Buka dulu Hostory, ada tidak file yang namanya Punya AA PLN? Mana pernah adikmu ini berbohong, hanya sesekali saja.)
Linda : Biar sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adingku ai. Badusta itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah dapat. Lain kali kalo handak manyimpanakan, namanya yang keren pang. Makasih banyak ya.
(Meski sesekali, tapi kalau dikumpulkan jadi berkali-kali adikku. Berbohong itu dosa, banyak ruginya. Eh, file-nya sudah ketemu. Lain kali kalau mau menyimpankan, namanya yang keren ya. Terima kasih banyak.)
Aslam : Inggih, terima kasih jua nasihatnya lah, tapi jangan kada ingat kaina tagihannya masukan ja ke rekening ulun.
(Ya, terima kasih juga nasihatny, tapi jangan lupa, nanti tagihannya dimasukkan saja ke rekening saya.)
Dialog
(2) merupakan contoh tindak tutur representatif dalam bentuk pemberian
informasi, permintaan ketegasan maksud, dan saran. Informasi diberikan
karena Linda menanyakan sesuatu yang menyebabkan Aslam menjawab
pertanyaan itu dengan memberikan informasi yang jelas yaitu dengan
meminta Linda untuk membuka program History kemudian mencari file yang bernama Punya AA PLN.
Informasi ini awalnya diragukan oleh Linda sehingga Linda meminta
ketegasan “Bujur-bujur nah” yang kemudian direspon Aslam dengan
menegaskan informasinya “Dasar bujur kakaku ai” dan mengulang informasi
sebelumnya kepada Linda. Pada dialog itu Linda juga memberikan saran
kepada Aslam untuk tidak berbohong meski itu hanya sekali karena
berbohong itu merupakan dosa dan dapat merugikan. Dalam tuturan ini baik
Linda maupun Aslam sama-sama memberikan tuturan sesuai dengan kebenaran
yang diyakininya.
Adapun contoh tindak tutur representatif yang lainnya yaitu dalam bentuk pemberian izin dapat diilustrasikan dalam dialog (3).
(3) Febry : Ni, wadai siapa di kulkas? Ulun minta lah?
(Nek, kue siapa di lemari es? Saya minta ya?)
Nenek : Ambil ha sabuting! Padahi wan acil kam, wadai tu di kulkas, ambil kaina habis!
(Ambil saja satu! Beritahu tante kamu, ada kue di lemari es, ambil saja nanti habis.)
Dialog
(3) menggambarkan tindak tutur representatif yang terdapat dalam bentuk
pemberian izin “Ambil ha sabuting”. Izin diberikan nenek untuk
mengambil kuenya karena Febry (cucu) menanyakan kepunyaan kue yang ada
di lemari es dan ia menginginkan kue tersebut. Sebenarnya pertanyaan
yang diajukan oleh Febry tidak memperoleh jawaban secara langsung dari
nenek karena Febry menanyakan pemilik kue dan minta izin untuk
memakannya. Akan tetapi, jawaban yang berisikan pemberian izin dari
nenek “Ambil ha sabuting” telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
Febry karena maksud dari pertanyaan Febry itu sebenarnya adalah
permintaan izin. Dengan diberinya izin, Febry menjadi tahu bahwa pemilik
kue itu adalah nenek. Dan yang bisa memberikan izin hanya nenek. Dalam
hal ini, nenek telah memberikan proposisi yang benar yaitu membuat
kata-katanya sesuai dengan dunia (keyakinan).
b. Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong penutur
melakukan sesuatu sesuai dengan komitmennya yang telah ditetapkannya
dalam melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Yang
termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan.
Contoh tindak tutur yang menyatakan janji.
(4) Aya : Teganya, kalau aku diculik kiapa? Iih ha, tapi janji lah jangan padahi awan Nisa-nya!
(Teganya, kalau aku diculik, bagaimana? Baiklah, tapi janji ya jangan beritahu Nisa)
Aslam : Iih aku janji nah. Janji dua jari, peace.
(Iya, aku janji. Janji dua jari, peace)
Aya : Kadonya, HP Nokia.
Dialog (4) berisikan tindak tutur komisif dalam bentuk berjanji.
Dalam hal ini, Aya mendorong Aslam untuk melakukan apa yang
diinginkannya yaitu berjanji. Dan Aslam pun akhirnya mengikuti apa yang
diinginkan aya yaitu berjanji tidak akan memberitahukan Nisa isi kado
buatnya, “Iih, aku janji nah”. Janji yang ditetapkan Aslam itu akan
membuatnya berkomitmen terhadap apa yang dilakukannya pada masa yang
akan datang.
c. Tindak Tutur Direktif
Tindak
tutur direktif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan maksud
penutur dalam bentuk perintah atau permintaan untuk menghasilkan efek
melalui suatu tindakan pada mitra tuturnya. Wujud tindak tutur direktif
ini dapat berupa perintah, suruhan, permintaan (permohonan), saran.
(5) Aslam : Aya, padahi kada? Kalau kada mau madahi, kada kuantarkan lagi kuliah nah?
(Aya, beritahu tidak? Kalau tidak memberitahu, tidak akan kuantarkan lagi kuliah?)
Aya : Napa, kada dipadahi kaka Linda kah?
(Ada apa, tidak diberitahu kakak Linda ya?)
Dialog
(5) mengilustrasikan adanya tindak tutur dalam wujud perintah. Perintah
dilakukan oleh Aslam pada Aya untuk memberitahukan sesuatu yang ingin
diketahuinya. Pada dialog ini Aslam berusaha membuat Aya memberitahukan
hal yang ingin diketahuinya itu, “Aya, padahi kada”.
Selain
tindak tutur direktif dalam bentuk perintah, juga terdapat tindak tutur
direktif dalam bentuk permintaan. Tindak tutur ini dapat diilustrasikan
pada dialog (6).
(6) Ayah : Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
(Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
Aslam : Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
(Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)
Pada
dialog (6) Ayah menggunakan tindak tutur direktif dalam bentuk
permintaan. Ayah meminta Aslam untuk mengetikan surat, “Slam, ketikakan
pang surat abah ini!”. Tindak tutur direktif dalam bentuk permintaan ini
mendorong Aslam melakukan apa yang diminta oleh Ayah, meski tidak
langsung memenuhi permintaan tersebut, “Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi
TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah
datang dari kampus”.
Tindak tutur direktif dalam bentuk saran juga dapat diilustrasikan dalam dialog (7) berikut ini.
(7) Aya : Mengambil hadiah di bank esok ja gin, selajuran mengurus SKCK di Poltabes. Pas pambulikannya talewati lho?
(Mengambil hadiah di bank esok saja ya, sekalian mengurus SKCK di Poltabes. Pulangnya kan melewati?)
Aslam : Lihati ai dulu lah, jadwal konserku padat banar nah. Hehehe. Jam berapa tulaknya?
(Lihat dulu ya, jadwal konserku padat sekali. Hehehe. Jam berapa berangkatnya?)
Pada
dialog (7) Aya memberikan saran pada Aslam untuk menghemat waktu dalam
melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu mengambil hadiah di bank dan
mengurus SKCK di Poltabes. Saran ini kemudian diterima oleh Aslam dengan
pertanyaan, “Jam berapa tulaknya?”.
Tindak
tutur direktif ragam informal dalam dialog yang terjadi di rumah tangga
memperlihatkan bentuk-bentuk seperti perintah, permintaan, dan saran.
Ketiga bentuk dari tindak tutur direktif ini digunakan oleh penutur
dalam usahanya untuk membuat dunia sesuai dengan kata-katanya.
d. Tindak Tutur Ekspresif
Tindak
tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berkaitan dengan ekspresi
sikap psikologis penutur terhadap petutur sehubungan dengan keadaan
tertentu. Tindak tutur ini dapat berupa tindak untuk meminta maaf,
humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan lainnya sebagai
pernyataan rasa senang, sedih, marah, dan benci.
Contoh tindak ekspresif dalam bentuk permintaan maaf dapat diilustrasikan pada dialog (8)
(8) Ayah : Nak, ketikakan pang surat abah ini! Terserah kam ja, kapankah kalau kada hauran.
(Nak, tikan surat Ayah ini! Terserah, kapan saja jika kamu tidak sibuk).
Aslam : Maaf Bah lah, ulun lagi manggawi TA (tugas akhir) isuk ada dosennya. Kecuali isuk ja kawa ai pas sudah datang dari kampus.
(Maaf Yah, saya lagi mengerjakan TA, besok ada dosennya. Kecuali besok bisa saja setelah dari kampus)
Dialog
(8) mengilustrasikan tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan
maaf yang dituturkan oleh Aslam sebagai respons terhadap permintaan
Ayah. Pada situasi ini, Aslam membuat kata-kata yang dituturkannya
sesuai dengan dunia (perasaan) yaitu ketidakmampuannya untuk membantu
Ayah mengetikan surat saat itu juga kecuali di hari yang lain.
Selain
tindak tutur ekspresif dalam bentuk permintaan maaf, juga terdapat
dalam bentuk memuji dan humor melalui ekspresi senang. Ekspresi ini
membuat interaksi dalam komunikasi semakin akrab. Tindak ekspresi ini
diilustrasikan dalam dialog (9)
(9) Ayah : Manggawi apa nak?
(Mengerjakan apa Nak?)
Aslam : Ma-edit foto pian awan mama. Bagus lah Bah?
(Mengedit foto Ayah dengan Ibu. Bagus ya, Yah?)
Ayah : Uma ai bagusnya! Diapai foto abah wan mama ikam jadi kawa masuk ke komputer?
(Wah, bagusnya! Diapakan foto Ayah dengan Ibu kamu jadi bisa masuk ke komputer?)
Linda : Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Bah ai. Makanya pian mancari-cari kunci bule kada sing dapatan lho?
(Fotonya dimasukkan ke dalam komputer pakai kunci bule, Yah. Oleh karena itu, Ayah mencari-cari kunci bule tidak bertemu kan?)
Aslam : Dasar jua nih, wan abah kaitu lah? Dustainya Bah ai. Ulun me-scan di rental.
(Dasar, dengan ayah seperti itu ya? Bohong Yah. Saya me-scan di rental.
Ayah : Munyak jua buhan kam badua nih. Lihati tu nah Aya ranai-ranai ja kada abut.
(Dasar kalian berdua ini. Coba lihat Aya santai-santai saja, tidak ribut)
Aslam : Mulai tadi takurihing ja. Walkman tu pang di talinga tarus, mudahan ja kada talilit. Uy urangnya Assalammualaikum?
(Sedari tadi tersenyum saja. Walkman itulah yang di telinga terus, mudahan tidak terlilit. Hei orang, Assalamualaikum?)
Aya : Waalaikumsalam, lalui ja cil ai.
(Waalaikumsalam, lewati saja Bi).
Tindak tutur ekspresif dalam
bentuk pujian dari Ayah (penutur) kepada Aslam (petutur) terlihat dari
ilustrasi dialog (9). Pujian tersebut diilustrasikan dalam tuturan, Uma
ai bagusnya!” melalui ekspresi senang dari penutur kepada petutur.
Selain itu, dalam interaksi komunikasi itu juga disisipkan lelucon
(humor) yang menyebabkan suasana menjadi bertambah akrab dan
menyenangkan. Ekspresi yang dilakukan dalam tuturan merupakan ekspresi
dari perasaan penuturnya saat itu. Dengan kata lain, penutur membuat
kata-kata sesuai dengan dunia (perasaan).
e. Tindak Tutur Deklaratif
Tindak
tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi
dengan realitas yang sebenarnya. Penggunaan tindak tutur deklaratif ini
dilakukan oleh penutur untuk mengubah dunia melalui kata-katanya. Tindak
tutur deklaratif dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan,
memecat, dan memberi nama. Akan tetapi, dalam dialog interaktif ragam
informal yang dilakukan dalam situasi santai di rumah tangga tidak
ditemui adanya tindak tutur deklaratif.
D. Simpulan
Tindak
tutur dapat dikatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa
yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat
psikologis, dan keberlangsungannya tergantung pada kemampuan penutur
dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Pada wacana
interaktif ragam informal yang berlangsung di rumah tangga dalam keadaan
santai terdapat tindak tutur seperti tindak tutur representatif atau
asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur direktif, dan tindak tutur
ekspresif. Akan tetapi tindak tutur deklaratif tidak ditemukan di dalam
interaksi komunikasi ragam santai ini. Ini disebabkan situasi yang
santai tidak mendukung dilakukannya tindak tutur deklaratif saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar