Sabtu, 11 Agustus 2012

Materi Undang-Undang Sultan Adam

Masalah Agama dan Peribadatan

Tiga pasal yang disebutkan adalah yang paling penting dan menonjol menyangkut masalah agama. Suatu kewajiban bagi setiap penduduk untuk berpegang pada itiqad ahlus sunnah wal jamaah. Pasal ini sebagai reaksi dari adanya berbagai aliran dari sufi yang mengajarkan berbagai ajaran yang sementara pihak dinilai bertentangan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Selanjutnya memuat kewajiban bagi Tetua kampung untuk membuat masjid/langgar dan ajakan untuk melaksanakan sembahyang berjamaah, sedang pada hari Jumat diperintahkan untuk sembahyang Jumat. Selain itu juga suatu perintah untuk menjaga melihat bulan pada tiap awal bulan Ramadhan dan akhir Ramadhan awal bulan Haji dan awal bulan Ramadhan.

Hukum Tata Pemerintahan

Tetua Kampung selalu mengadakan musyawarah untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dan perbantahan. Disini prinsip musyawarah sangat ditekankan. Selanjutnya menyebutkan beberapa jabatan dalam struktur pemerintahan zaman Adam dari Banjar seperti : Lalawangan, Lurah (Kepala Banua), Pambakal dan Mantri. Mantri merupakan pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa diantaranya ada yang mempunyai daerah kekuasaan sama dengan Lalawangan. Suatu tata cara pelaksanaan pemerintahan yang diwajibkan pada Lalawangan, Lurah dan Mantri selalu selalu mengadakan musyawarah dan mencari kemupakatan dalam setiap persoalan. Akhirnya pada bagian ini terdapat adanya pembagian wewenang antara pejabat-pejabat pemerintah dan tugas peradilan, bahkan harus menguatkan putusan pengadilan tersebut. Jadi ada semacam koordinasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.

Hukum Perkawinan

Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu : Mufti : hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan Penghulu : hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan. Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut Qadi, yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku dengan wajar. Perbedaan Qadhi dengan Penghulu adalah, bahwa Qadi, menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian berkembang menjadi pelaksana peradilan Islam. Pasal-pasal pada bagian ini menyangkut tata cara nikah, larangan nikah bagi yang tidak bermadzhab Syafei, mengenai pembatalan perkawinan, masalah orang yang barambangan, masalah suami yang menuduh isterinya berzina, dan kewajiban melapor kalau ada orang berzina.

Hukum Acara/Peradilan

Pasal-pasal pada bagian ini menjelaskan tentang larangan bagi seorang Mufti untuk memberi fatwa kepada seseorang yang sedang berperkara, begitu pula sebaliknya larangan bagi orang tersebut untuk meminta fatwa dari Mufti. Pasal ini menjamin kebebasan peradilan, dimana hakim tertinggipun tidak diperkenankan turut campur tangan dalam penyelesaian suatu perkara.
Juga larangan bagi pejabat pemerintah, seperti : Raja, Mantri, Pambakal ataupun Panakawan untuk mencampuri urusan orang yang berperkara. Suatu kewajiban hakim apabila telah selesai melakukan pemeriksaan perkara dan bersoal jawab dengan saksi-saksi, diperintahkan untuk mufakat terlebih dahulu dengan Khalifah dan Lurah (kepala Banua)) sebelum putusan dijatuhkan. Segala putusan yang dijatuhkan harus diserahkan pada Mangkubumi untuk memperoleh cap kerajaan.
  • Pasal 11 Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe, bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap di dalam papoetoesan itoe”.
  • Pasal 12 Siapa-siapa yang kalah bahoekoem maka anggan ia daripada kalahnya itoe, serahkan kajah ading papoetoesannya itoe jang mengoeroeskannya.
Para Bilal dan Kaum merupakan bagian dari aparat pelaksana hukum, karena kedua jabatan ini dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan keputusan pengadilan yang bertindak atas nama Sultan. Surat gugatan yang harus diserahkan dulu kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya. Kalau dalam tempo 15 hari dia tidak menjawabnya, maka hakim berhak memutuskan perkaranya.

Hukum Tanah

Pasal-pasal dalam bagian ini adalah : setiap transaksi tanah diharuskan untuk didaftar atau setidak-tidaknya diketahui oleh hakim dan ada suatu tanda pendaftaran tertulis yang dibuat oleh hakim. Setiap orang menjual sawah kebun sudah lebih dari 20 tahun, kemudian terjadi gugatan dengan alasan seperti bahwa sawah itu harta warisan yang belum dibagi, gugatan itu tidak berlaku. Disini digariskan adanya tenggang waktu kadaluwarsa dalam berbagai transaksi tanah yaitu selama 20 tahun, baik pemilik asal maupun pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang dijualnya. Tidak ada larangan bagi setiap golongan untuk menggarap tanah. Disini tidak dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum. Tanah bekas ladang yang ditinggalkan orang kira-kira dua musim atau lebih akan kembali jadi padang tidak ada pemiliknya, kalau di tanah tersebut tidak ada tanda-tanda hak milik berupa tanaman atau galangan. Biasanya tanah yang berasal dari tanah wawaran.

Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan terdapat dalam pasal 16, yang berbunyi : Mana-mana segala perkara yang dahulu dari zamanku tiada kubariakan dibabak lagi dan mana-mana segala perkara pada zamanku nyata salahnya boleh aja dibabak dibujurkan oleh Hakim

Tidak ada komentar: