A.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan
tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa
(kalbu). Potensi akal dapat menghasilkan ilmu nomotetikal, atau hukum-hukum
sebab-akibat. Hal ini dapat digunakan untuk memikirkan, merenungkan, dan
merumuskan berbagai konsep, pemikiran, dan langkah-langkah praktis untuk
kemajuan manusia. Sedangkan potensi kalbu dapat menghasilkan ilmu rasa, atau
ilmu normatif yang digunakan untuk mengarahkan manusia pada sesuatu yang baik.
Dua alat ini akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski
masih dengan cara yang sederhana. Keduanya merupakan hal yang penting dan harus
digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya
selama ini, penggunaan dua alat ini tidak seimbang. Pada umumnya rasio dianggap
sebagai hal penting sedangkan rasa hanya dianggap sebagai sesuatu yang dapat
menghambat keberadaan dari rasio. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat
Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang
menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri
ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal
adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.
Hal inilah yang menjadi dasar
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu perkembangan rasio dan
rasa dalam kaitannya dengan ilmu.
B.
Hubungan Ilmu, Rasio, dan Rasa
Salah satu ciri atau sifat manusia
adalah keingintahuannya terhadap apa yang ditanggapi oleh panca indera, terutama
indera penglihatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
telah diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio
adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak
masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Soewardi (1999: 275) mengemukakan
ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: ...sebab
akibat ini juga disebut kausalitas.
Kausalitas adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia.
Kausalitas disebut pula sunnatullah,
ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya. Sunnatullah
merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan kausalitas dapat
terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap pasti ada api, jika
air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar jika dikenai api.
Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan tetapi, bagaimana cara
mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang tidak selalu memiliki
hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang dibakar dengan api, tetapi
tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat dibakar. Di sini dapat
terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini disebabkan oleh kemampuan
manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik kecil, sedangkan jagat raya
sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap rahasia jagat raya dengan
keterbatasan pada diri manusia.
Gambar 1. Keterbatasan Alam
Pemikiran Manusia terhadap Jagat Raya
kemampuan
jagat raya
manusia
Dalam perkembangannya rasio selalu
mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sain. Pengetahuan sain merupakan
suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat dikatakan rasional apabila
dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang didasarkan pada rasio. Corak
berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis seperti ini di dalam filsafat
dikenal sebagai rasionalisme. Aliran
yang memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena
itu, rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji
pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu
potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi,
sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari
akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan ilmu yang didominasi oleh
rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang memisahkan diri dari
rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya
mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak
boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur
(confused), simpulan yang ditarik
akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.
Pemisahan dari rasa menyebabkan
manusia semakin lama semakin besar menaruh kepercayaan terhadap kemampuan rasio
(potensi akal). Akibatnya, kepercayaan yang bersifat dogmatis, tata-susila yang
bersifat tradisi, dan segala sesuatu yang tidak masuk dalam pemikiran,
keyakinan, maupun anggapan manusia ditiadakan. Hanya pengetahuan yang diperoleh
melalui potensi akal saja yang dianggap memenuhi syarat dan menjadi tuntutan
oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya digunakan untuk
mengukuhkan keberadaan dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Cara kerja sain adalah kerja mencari
hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi
dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005:
4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi ini yang dianggap benar apabila
sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional.
Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki
kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam ilmu Barat. Sain dianggap sebagai
hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain terlepas dari rasa karena sain
tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak
sopan, indak atau jelek. Sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Manusia yang diberi potensi akal
(rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan membantunya untuk mengetahui
dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya
harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena
itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.
Rasa adalah tangkapan dari stimulus
yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga menimbulkan
penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari respon yang melahirkan
makna. Suryabrata (1995: 66) mengemukakan pengertian perasaan sebagai gejala
psikis yang bersifat subjektif dan pada umumnya berkaitan dengan gejala-gejala
mengenal, dan dialami dalam kausalitas senang atau tidak senang dalam berbagai
taraf. Perasaan akan menimbulkan pengetahuan tentang idealisme, kemanusiaan
(kasih sayang), estetika (keindahan), etika, dan moralitas. Dengan kata lain,
rasa menimbulkan nilai-nilai yang akan berlaku di tengah-tengah kehidupan
manusia.
Rasa dapat digolongkan menjadi tiga
tingkatan yaitu biasa, hati nurani, dan rasa yang disucikan. Rasa pada
peringkat biasa banyak membantu dalam tugas sehari-hari seperti pada pemain
musik, pengemudi, koki (tukang masak), Ibu rumah tangga, dan sebagainya.
Peringkat hati nurani digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum (hakim).
Penetapan suatu vonis harus ditunjang oleh data-data harus ditunjang oleh hati
nurani dalam menetapkan salah dan benarnya seseorang. Sedangkan perangkat
ketiga adalah rasa yang disucikan seperti pada para sufi atau tasawuf amali
dalam mendekatkan diri pada Tuhan.
Bigot (dalam Suryabrata 1995: 66-69)
memberikan ikhtisar mengenai macam-macam perasaan.
|
|
||||
|
||||
a. Perasaan-perasaan jasmaniah (rendah):
(1) perasaan
indriah adalah perasaan yang berhubungan dengan rangsangan terhadap panca
indera seperti manis, asin, pahit, panas, dan sebagainya.
(2) perasaan vital adalah perasaan yang
berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya seperti sehat, lemah, segar,
letih, dan sebagainya.
b. Perasaan-perasaan luhur (rohaniah):
(1) perasaan intelektual adalah perasaan yang
berkaitan dengan kemampuan intelek dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi. Misalnya, perasaan senang karena hasil ujiannya memperoleh nilai yang
baik.
(2) perasaan kesusilaan adalah perasaan tentang
baik-buruk. Misalnya, rasa puas setelah melakukan kebaikan pada orang lain.
(3) perasaan keindahan adalah perasaan yang
menyertai atau timbul karena adanya pemaknaan terhadap sesuatu yang indah
maupun tidak indah.
(4) perasaan sosial adalah perasaan yang mengikat
individu dengan sesamanya, perasaan untuk hidup bermasyarakat, tolong-menolong,
dan sebagainya.
(5) perasaan harga diri adalah perasaan yang
berkaitan dengan diri seseorang. Misalnya, merasa direndahkan karena dicela
maupun merasa bangga karena mendapat pujian.
(6) perasaan keagamaan adalah perasaan yang
berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan Yang
Maha Kuasa. Misalnya, rasa kagum akan kebesaran ciptaan Tuhan, rasa syukur, dan
lain sebagainya.
Sain pada hakikatnya adalah untuk
kebaikan dan membantu kehidupan manusia agar menjadi lebih baik dan mencapai
kebahagiaan. Dalam kaitannya dengan rasio, rasa juga ikut berperan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dikenal istilah sain bebas nilai dan sain terikat nilai. Sain bebas nilai
tidak memasukkan rasa di dalam penerapannya misalnya pada perkembangan sain
dalam ilmu di Barat. Berbeda halnya dengan sain terikat nilai yang memasukkan
rasa dalam penerapan ilmu pengetahuan, sehingga sain berkembang dalam satu
wadah yang dibatasi oleh nila-nilai yang telah ada di masyarakat, tempat sain
berkembang dan diterapkan. Adat Timur banyak yang memegang sain terikat nilai.
Akan tetapi, hal ini bukan menjadi penghambat dalam perkembangan sain sepanjang
masa. Ilmu di Timur tidak mengikat perkembangan sain, melainkan mengikat
penerapannya. Dengan begitu, perkembangan sain tetap disesuaikan dengan
nilai-nilai yang tetap ada di masyarakat. Paling tidak, dengan adanya
nilai-nilai tersebut, keberadaan sain tidak menjadi sesuatu yang menyebabkan
keresahan dan kerusakan di masyarakat.
C.
Penutup
Manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan
tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa
(kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak
sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Rasa adalah
tangkapan dari stimulus yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga
menimbulkan penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari respon yang
melahirkan makna. Keduanya harus seimbang baik dalam penerapan maupun
perkembangannya. Kaitannya dengan sain, rasio dan rasa ikut berperan. Dalam hal
ini dikenal istilah sain bebas nilai
dan sain terikat nilai. Perkembangan
ilmu di Barat lebih dominan pada rasio dan menolak rasa. Mereka mengenal sain
bebas nilai. Berbeda halnya dengan masyarakat yang masih mengenal nilai-nilai
di dalam kehidupannya. Mereka cenderung pada sain terikat nilai. Akan tetapi,
hal ini hal ini bukan berarti menghambat perkembangan dari sain itu sendiri, melainkan
mengikatnya dalam penerapan di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar