Rabu, 01 Agustus 2012

RASIO DAN RASA


A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Potensi akal dapat menghasilkan ilmu nomotetikal, atau hukum-hukum sebab-akibat. Hal ini dapat digunakan untuk memikirkan, merenungkan, dan merumuskan berbagai konsep, pemikiran, dan langkah-langkah praktis untuk kemajuan manusia. Sedangkan potensi kalbu dapat menghasilkan ilmu rasa, atau ilmu normatif yang digunakan untuk mengarahkan manusia pada sesuatu yang baik. Dua alat ini akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya merupakan hal yang penting dan harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya selama ini, penggunaan dua alat ini tidak seimbang. Pada umumnya rasio dianggap sebagai hal penting sedangkan rasa hanya dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat keberadaan dari rasio. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu perkembangan rasio dan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.



B. Hubungan Ilmu, Rasio, dan Rasa
Salah satu ciri atau sifat manusia adalah keingintahuannya terhadap apa yang ditanggapi oleh panca indera, terutama indera penglihatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Soewardi (1999: 275) mengemukakan ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat: ...sebab akibat ini juga disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan kausalitas dapat terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap pasti ada api, jika air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar jika dikenai api. Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan tetapi, bagaimana cara mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang tidak selalu memiliki hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang dibakar dengan api, tetapi tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat dibakar. Di sini dapat terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini disebabkan oleh kemampuan manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik kecil, sedangkan jagat raya sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap rahasia jagat raya dengan keterbatasan pada diri manusia.

Gambar 1. Keterbatasan Alam Pemikiran Manusia terhadap Jagat Raya


 


kemampuan                                                                   jagat raya
manusia



Dalam perkembangannya rasio selalu mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sain. Pengetahuan sain merupakan suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat dikatakan rasional apabila dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang didasarkan pada rasio. Corak berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis seperti ini di dalam filsafat dikenal sebagai rasionalisme. Aliran yang memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena itu, rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi, sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan ilmu yang didominasi oleh rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang memisahkan diri dari rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275).
Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.

Pemisahan dari rasa menyebabkan manusia semakin lama semakin besar menaruh kepercayaan terhadap kemampuan rasio (potensi akal). Akibatnya, kepercayaan yang bersifat dogmatis, tata-susila yang bersifat tradisi, dan segala sesuatu yang tidak masuk dalam pemikiran, keyakinan, maupun anggapan manusia ditiadakan. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui potensi akal saja yang dianggap memenuhi syarat dan menjadi tuntutan oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya digunakan untuk mengukuhkan keberadaan dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005: 4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi ini yang dianggap benar apabila sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional.
Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam ilmu Barat. Sain dianggap sebagai hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain terlepas dari rasa karena sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan, indak atau jelek. Sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Manusia yang diberi potensi akal (rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.
Rasa adalah tangkapan dari stimulus yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga menimbulkan penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari respon yang melahirkan makna. Suryabrata (1995: 66) mengemukakan pengertian perasaan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif dan pada umumnya berkaitan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kausalitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan akan menimbulkan pengetahuan tentang idealisme, kemanusiaan (kasih sayang), estetika (keindahan), etika, dan moralitas. Dengan kata lain, rasa menimbulkan nilai-nilai yang akan berlaku di tengah-tengah kehidupan manusia.
Rasa dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu biasa, hati nurani, dan rasa yang disucikan. Rasa pada peringkat biasa banyak membantu dalam tugas sehari-hari seperti pada pemain musik, pengemudi, koki (tukang masak), Ibu rumah tangga, dan sebagainya. Peringkat hati nurani digunakan misalnya oleh ahli-ahli hukum (hakim). Penetapan suatu vonis harus ditunjang oleh data-data harus ditunjang oleh hati nurani dalam menetapkan salah dan benarnya seseorang. Sedangkan perangkat ketiga adalah rasa yang disucikan seperti pada para sufi atau tasawuf amali dalam mendekatkan diri pada Tuhan.
Bigot (dalam Suryabrata 1995: 66-69) memberikan ikhtisar mengenai macam-macam perasaan.
















 
Tabel 1. Macam-Macam Perasaan








1. perasaan indriah
2. perasaan vital
 





1. perasaan intelektual
2. perasaan kesusilaan
3. perasaan keindahan
4. perasaan sosial
5. perasaan harga diri
6. perasaan keagamaan
 

 









a.   Perasaan-perasaan jasmaniah (rendah):
(1) perasaan indriah adalah perasaan yang berhubungan dengan rangsangan terhadap panca indera seperti manis, asin, pahit, panas, dan sebagainya.
(2)  perasaan vital adalah perasaan yang berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya seperti sehat, lemah, segar, letih, dan sebagainya.
b.   Perasaan-perasaan luhur (rohaniah):
(1)  perasaan intelektual adalah perasaan yang berkaitan dengan kemampuan intelek dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Misalnya, perasaan senang karena hasil ujiannya memperoleh nilai yang baik.
(2)  perasaan kesusilaan adalah perasaan tentang baik-buruk. Misalnya, rasa puas setelah melakukan kebaikan pada orang lain.
(3)  perasaan keindahan adalah perasaan yang menyertai atau timbul karena adanya pemaknaan terhadap sesuatu yang indah maupun tidak indah.
(4)  perasaan sosial adalah perasaan yang mengikat individu dengan sesamanya, perasaan untuk hidup bermasyarakat, tolong-menolong, dan sebagainya.
(5)  perasaan harga diri adalah perasaan yang berkaitan dengan diri seseorang. Misalnya, merasa direndahkan karena dicela maupun merasa bangga karena mendapat pujian.
(6)  perasaan keagamaan adalah perasaan yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya, rasa kagum akan kebesaran ciptaan Tuhan, rasa syukur, dan lain sebagainya.

Sain pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan membantu kehidupan manusia agar menjadi lebih baik dan mencapai kebahagiaan. Dalam kaitannya dengan rasio, rasa juga ikut berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dikenal istilah sain bebas nilai dan sain terikat nilai. Sain bebas nilai tidak memasukkan rasa di dalam penerapannya misalnya pada perkembangan sain dalam ilmu di Barat. Berbeda halnya dengan sain terikat nilai yang memasukkan rasa dalam penerapan ilmu pengetahuan, sehingga sain berkembang dalam satu wadah yang dibatasi oleh nila-nilai yang telah ada di masyarakat, tempat sain berkembang dan diterapkan. Adat Timur banyak yang memegang sain terikat nilai. Akan tetapi, hal ini bukan menjadi penghambat dalam perkembangan sain sepanjang masa. Ilmu di Timur tidak mengikat perkembangan sain, melainkan mengikat penerapannya. Dengan begitu, perkembangan sain tetap disesuaikan dengan nilai-nilai yang tetap ada di masyarakat. Paling tidak, dengan adanya nilai-nilai tersebut, keberadaan sain tidak menjadi sesuatu yang menyebabkan keresahan dan kerusakan di masyarakat.

C. Penutup
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam menjalankan tugasnya itu, manusia diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Rasa adalah tangkapan dari stimulus yang direspon oleh otak melalui panca indera sehingga menimbulkan penafsiran-penafsiran sesuai dengan terjemahan dari respon yang melahirkan makna. Keduanya harus seimbang baik dalam penerapan maupun perkembangannya. Kaitannya dengan sain, rasio dan rasa ikut berperan. Dalam hal ini dikenal istilah sain bebas nilai dan sain terikat nilai. Perkembangan ilmu di Barat lebih dominan pada rasio dan menolak rasa. Mereka mengenal sain bebas nilai. Berbeda halnya dengan masyarakat yang masih mengenal nilai-nilai di dalam kehidupannya. Mereka cenderung pada sain terikat nilai. Akan tetapi, hal ini hal ini bukan berarti menghambat perkembangan dari sain itu sendiri, melainkan mengikatnya dalam penerapan di masyarakat.

Tidak ada komentar: