Sabtu, 15 September 2012

Campur Sari


GILIRAN TUTUR DAN PASANGAN BERDEKATAN

Pada wacana percakapan terdapat giliran tutur dan pasangan berdekatan. Giliran tutur dalam suatu percakapan sangat penting. Ismari (1995: 17) mengemukakan bahwa giliran tutur merupakan syarat percakapan yang dapat menimbulkan pergantian peran peserta. Dalam percakapan yang baik selalu terjadi pergantian peran, yaitu peran pembicara dan pendengar. Seorang penutur dengan pengetahuan yang kurang mengenai aturan pengambilan giliran tutur adalah penutur yang tidak memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara. Orang seperti ini akan membangkitkan penilaian negatif atau akan membuat percakapan berakhir secepat mungkin. Aturan dasar percakapan adalah hanya ada satu orang yang berbicara pada satu waktu.
Pada beberapa keluarga, ada maksim etiket bagi anak-anak yang berbunyi “Jangan berbicara jika tidak diajak berbicara”. Demikian pula pada beberapa sekolah yang melatih seorang anak di kelas untuk mengangkat tangan ketika hendak berbicara atau mengambil giliran tutur. Pengambilan giliran tutur memperlihatkan adanya peran dan status seseorang yang cukup dipertimbangkan dalam percakapan.
Di kelas bahasa, guru dapat mempraktikkan pengambilan giliran tutur kepada siswa melalui pelatihan dalam bentuk permainan. Guru dapat menyediakan daftar frasa yang akan dikembangkan oleh siswa dalam bertutur. Adapun daftar frasa tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
a.   Perhatian-pembukaan-penyelaan
‘Maaf,...’, ‘Maaf, saya interupsi...’, ‘Tapi, ... saya mungkin menambahkan...’, ‘Saya ingin berkomentar mengenai....’, ‘Boleh saya tambahkan sesuatu?’
b.   Kembali ke topik semula
‘Kembali pada masalah....’, ‘Sampai di mana tadi saya bicara?’, ‘Apapun yang terjadi....’

Daftar frasa itu kemudian dapat dipraktikan pada contoh permainan berikut.

A: Kemarin malam saya menonton pertandingan karate di gelanggang.
B: Maaf, saya interupsi..., pertandingan yang mana?
A: Pertandingan kumite bebas senior. Pokoknya saya pergi ke pertandingan tersebut dan mendapatkan kursi.
B: Maaf, tapi di mana kursi Anda?
A: Di bagian depan. Seperti yang saya katakan, saya mendapatkan kursi....



Adanya giliran tutur dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud keteraturan ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan menjadi pasangan berdekatan. Ismari (1995: 11) menyebutkan pasangan berdekatan sebagai tuturan yang dihasilkan oleh dua pembicara secara berturut-turut. Tuturan kedua diidentifikasi dalam hubungannya dengan tuturan pertama. Tuturan pertama merupakan bagian pertama pasangan dan tuturan berikutnya merupakan bagian kedua dari pasangan. Oleh karena itu, seorang penutur pada saat menghasilkan tuturan mengharapkan lawan bicaranya akan memberikan bagian kedua pada pasangan yang serasi. Berikut contoh pasangan berdekatan.

a. Sapaan-sapaan                                 :  A: Hai
                                                                     B: Hai juga
b. Panggilan-jawaban                           :  A: Emi!
                                                                     B: Ya Pak.
c. Keluhan-bantahan                            :  A: Kamu ikut tawuran?
                                                                     B: Tidak.
d. Keluhan-permohonan maaf           : A: Makanan sudah dingin.
                                                                     B: Maaf, tadi Bos traktir makan di luar.
e. Permintaan-pemersilaan                  :  A: Bisa tambah kuenya?
                                                                     B: Silakan, masih banyak kok.
f. Permintaan (informasi)-pemberian   :         A: Jam berapa sekarang?
                                                                     B: Jam 9 tepat.
g. Penawaran-penerimaan                   :  A: Mau menumpang?
                                                                     B: Syukur kamu datang.
h. Penawaran-penolakan                     :  A: Rokok!
                                                                     B: Saya tidak merokok, terima kasih.

Di dalam pasangan berdekatan terdapat stimulus-respons dan feedback. Proses stimulus-respons yang berulang akan menimbulkan kebiasaan dan keteraturan. Proses ini dapat dilihat pada tuturan yang berfungsi sebagai inisiasi, dan diikuti oleh tuturan yang berfungsi sebagai respons. Inisiasi dapat dikatakan sebagai pembuka atau pemicu suatu tuturan. Sementara itu, respons merupakan hasil dari adanya inisiasi. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu respons langsung dan tak langsung (Haliday dan Hasan dalam Jumadi, 2005: 39). Respons langsung adalah tuturan yang digunakan secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Bentuk respons ini adalah jawaban ya dan tidak. Sementara itu, respons tidak langsung adalah tuturan yang digunakan tidak secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Pada umumnya bentuk respons tidak langsung digunakan untuk mengkomentari pertanyaan, mengabaikan relevansi (sangkalan), atau respons yang memberi informasi pendukung. Bagian ketiga dari pasangan berdekatan adalah feedback. Feedback dapat difungsikan sebagai penutup tuturan.
Pasangan berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi (I), respons (R), dan feedback (F) pada umumnya memiliki struktur, seperti a) [IRF], yakni struktur penuh, di dalamnya terdapat respons verbal secara penuh terhadap inisiasi, b) [IR (F)], struktur dari pasangan berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi yang menyebabkan respons dalam bentuk nonverbal, dan c) [I (R)], yakni struktur yang memiliki inisiasi dalam bentuk penyampaian informasi proporsional yang tidak memerlukan respons. Misalnya:
[IRF]
A   : Apa sudah benar jawaban Agus?
B   : Benar.
A   : Baik.

[IR (F)]
A   : Bisa menggeser sedikit, mbak?
B   : (menggeser)              non-verbal

A   : Sudah makan siang?
B   : Sudah.          kalimat langsung

A   : Sudah makan siang?
B   : Saya baru selesai rapat.        kalimat tidak langsung

[I (R)]
A   : Diskusi akan dimulai minggu depan.
B   : ....

Suatu proses komunikasi dapat berlangsung lancar. Inisiasi (I) yang diikuti oleh respons (R) dan feedback (F) mengimplikasikan telah terjadinya percakapan yang berlangsung secara efektif dan efesien. Akan tetapi, tidak semua proses percakapan berlangsung secara efektif dan efesien. Adanya rangkaian sisipan (insertion sequences) dapat ditemukan di antara I dan R. Pada umumnya struktur seperti ini dapat dirumuskan dengan (Q (Q-A) A), (question (question-answer) answer)
Misalnya:
A: Gimana latihannya?
B: Kamu mengapa tidak ikut latihan?
A: Biasa, ortu ngajak piknik.
B: Latihannya sangat membosankan.

Contoh tersebut memperlihatkan adanya sisipan dalam pasangan berdekatan. Pertanyaan A seharusnya dijawab secara relevan oleh B. Namun, B ternyata memberikan pertanyaan baru yang tidak relevan untuk menjawab pertanyaan A sebelumnya. Adanya pasangan berdekatan baru dari pasangan berdekatan yang seharusnya dituntaskan dapat disebut sebagai pasangan sisipan.

IMPLIKASI GILIRAN TUTUR DAN PASANGAN BERDEKATAN

Pada wacana kelas, guru dan siswa perlu mengetahui dan memahami giliran tutur dan pasangan berdekatan sehingga dapat digunakan dalam bertutur, baik saat di kelas maupun di luar kelas. Dengan adanya pemahaman terhadap giliran tutur, siswa dan guru dapat menggunakan perannya masing-masing dalam bertutur, terutama saat pengambil-alihan tuturan. Adanya giliran tutur dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud keteraturan ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan menjadi pasangan berdekatan. Adanya kecenderungan untuk menganggap semua pertanyaan sebagai suatu pasangan berdekatan yang tunggal, yaitu permintaan (informasi)-jawaban menyebabkan siswa tidak mampu menggunakan tuturannya saat berhadapan dengan bermacam-macam situasiyang dihadapinya. Hal ini banyak ditemukan pada pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, meskipun jawaban itu secara tata bahasa benar, tetapi secara fungsional masih belum tepat. Bandingkan contoh berikut!

A: Apa kuenya masih hangat?
B: Ya, benar.

A: Apa kuenya masih hangat?
B: Baru saja selesai digoreng, mari silakan.

TINDAK TUTUR

Tindak tutur memiliki banyak jenis. Levinson (Suyono, 1990: 5) mengungkapkan bahwa fenomena tindak tutur inilah yang sebenarnya merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur. Peristiwa tutur dalam bentuk praktisnya adalah wacana percakapan, pidato, surat, dan lain-lain. Sementara itu, tindak tutur merupakan unsur pembentuk yang berupa tuturan.
Tindak tutur dapat dinyatakan sebagai segala tindak yang kita lakukan melalui berbicara, segala yang kita lakukan ketika kita berbicara (Ismari, 1995: 76). Akan tetapi, definisi ini terlalu luas untuk sebagian tujuan. Bahasa digunakan untuk membangun jembatan pemahaman dan solidaritas, untuk menyatukan kekuatan-kekuatan politik, untuk menyatakan argumentasi, untuk menyampaikan informasi kepada sesama, untuk menghibur, untuk memberikan kritik dan saran, singkatnya untuk berkomunikasi.
Pengertian yang lebih sempit mengenai tindak tutur dapat dinyatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya bergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu kalimat dengan kondisi tertentu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Richards (Suyono, 1990: 5) yang berpendapat mengenai tindak tutur sebagai the things we actually do when we speak “sesuatu yang benar-benar kita lakukan ketika bertutur” atau the minimal unit of speaking which can be said to have function “satuan terkecil dari unit tuturan yang dapat dikatakan memiliki fungsi”. Pendapat yang mirip juga ditemukan pada pernyataan Arifin dan Rani (2000:136) yang menganggap tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari komunikasi bahasa. Chaer dan Agustina (1995:64) lebih mengkhususkan tindak tutur sebagai gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Tindakan untuk menghasilkan suatu tuturan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.   Tindak lokusi merupakan tindak yang menjadi dasar suatu tuturan untuk menyatakan sesuatu. Bentuk tuturan seperti ini disebut sebagai the act of saying something. Misalnya, “Aku baru saja membuat kopi.” Tuturan tersebut dilihat dari segi tindak lokusi hanya berisikan tuturan mengenai si Aku yang telah membuat kopi. Tidak adanya tanggung-jawab tuturan untuk melakukan sesuatu maupun untuk mempengaruhi merupakan ciri khas tindak lokusi. Tuturan terbentuk tanpa maksud apapun. Oleh karena itu, tindak lokusi ini dianggap paling mudah diidentifikasi karena tidak memerlukan konteks tuturan dalam situasi tutur.
b.   Tindak ilokusi oleh Chaniago, et al. (1997: 2.3-2.4) dikatakan sebagai suatu bentuk tuturan yang tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan atau menginformasikan sesuatu, namun juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu atau suatu tindakan (the act of doing something). Tindak ilokusi dilakukan melalui daya komunikatif suatu tuturan. Daya atau kekuatan (force) ini mewajibkan si penutur untuk melaksanakan suatu tindak tertentu. Misalnya, “Aku baru saja membuat kopi.” Tuturan ini bukan hanya berfungsi untuk memberikan informasi bahwa si Aku telah membuat kopi, melainkan dapat pula digunakan untuk menawarkan kopi.
c.   Tindak perlokusi lebih mengacu pada suatu bentuk tuturan yang pengungkapannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan bicara melalui efek yang ditimbulkan oleh tuturan itu. Bentuk tuturan ini disebut the act of effecting someone (Chaniago, et. al., 1997:2.4). Misalnya, “Aku baru saja membuat kopi.” Tuturan ini berisikan asumsi bahwa pendengar akan mengetahui efek tuturan yang dimaksudkan (misalnya, untuk membuat pendengar mau meminum kopi).

Contoh lainnya dapat diperhatikan pada percakapan di bawah ini.
A: Mas, gelasnya bocor.
B: Oo, ya. Haus ya mbak?

Contoh kutipan percakapan itu berisikan tindak tutur melalui makna tersirat. Apabila tuturan itu diperhatikan dari segi tindak lokusi berarti tuturan yang diujarkan oleh A yaitu gelas yang dihadapinya tidak bisa lagi digunakan karena retak sehingga isinya habis. Akan tetapi, tuturan yang dikemukakan oleh A tidak benar. Kenyataannya, gelas tersebut tidak retak. Dalam hal ini, makna yang ditangkap oleh peserta ujaran adalah makna ilokusi, yaitu A minta tambah minuman. Tentu saja B menyadari makna tersebut sehingga diresponnya dengan mengambilkan minuman dan berkomentar. Ini berarti B melaksanakan sesuatu sesuai dengan daya perlokusi yang terdapat pada tuturan A.
Dari ketiga tindak tutur tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tindak ilokusi. Searle mengklasifikasikan tindak tutur yang didasarkan pada maksud penutur ketika berbicara. Adapun tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle sebagai berikut.

a. Tindak Representatif
Tindak representatif (asertif) merupakan tindak bahasa yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sebagaimana adanya, misalnya tindak menyatakan, tindak menunjukkan, dan tindak menjelaskan (Suyitno, 2002:104). Levinson seperti yang dikutip Arifin dan Rani (2000:211) memberikan pengertian terhadap tindak representatif sebagai tindak tutur untuk menyampaikan proposisi yang benar. Yang termasuk dalam tindak ini adalah tindak memberi informasi, memberi izin, keluhan, permintaan ketegasan maksud tuturan, dan lainnya. Pengertian itu ditambahkan lagi oleh Searle (Syamsuddin, et. al., 1998: 97) yang mengemukakan tindak tutur representatif sebagai tindak yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu terjadi dengan apa adanya, contohnya pemberian pernyataan, saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Ketiga pernyataan di atas dipertegas oleh Bach dan Hamish yang dikutip Arifin dan Rani (2000: 211) bahwa tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang biasanya disampaikan dan dimaksudkan untuk memperoleh respons tertentu. Respons ini merupakan suatu tindakan dalam memberikan balasan terhadap apa yang diinginkan penutur.


Contoh dialog yang menyatakan atau menjelaskan.
Emi     :   Pensil itu bukan milik saya.
Budi    :   Lalu milik siapa?
Emi     :   Saya tidak tahu.

Contoh dialog singkat tersebut menunjukkan penjelasan Emi bahwa pensil itu bukan miliknya, dan Emi mengemukakan pula bahwa ia tidak tahu siapa sebenarnya yang memiliki pensil tersebut.

b. Tindak Komisif
Berbeda dengan tindak tutur representatif, tindak tutur komisif dalam pandangan Searle (Arifin dan Rani, 2000:139) dianggap sebagai tindak tutur yang memiliki fungsi untuk mendorong  penutur melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan mengajukan usulan. Jumadi (2006: 71) ikut menambahkan pendapatnya terhadap tindak tutur komisif sebagai salah satu jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk membuat dirinya sendiri berkomitmen dalam melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. 

Contoh tindak tutur yang menyatakan janji.
Siswa      :   Saya berjanji tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah.
Guru        :   Baik, kalau begitu saya akan pegang janji kamu.

Contoh kutipan percakapan tersebut berisikan pernyataan janji oleh seorang siswa kepada guru. Siswa melakukan tindak berjanji untuk tidak terlambat.

c. Tindak Direktif
Tindak tutur berikutnya adalah tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan maksud dalam bentuk perintah atau permintaan untuk menghasilkan efek melalui suatu tindakan pada mitra tuturnya. Searle yang juga dikutip oleh Arifin dan Rani (2000:1206) mengemukakan tindak tutur direktif sebagai tindak tutur yang mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Pendapat tersebut dipertegas kembali oleh Bach dan Harmish (Arifin dan Rani, 2000: 206) yang mengartikan tindak tutur direktif sebagai tindak tutur yang mengekspresikan maksud penutur agar mitra tuturnya melakukan suatu tindakan. Tindak direktif ini dapat berupa perintah, permintaan, permohonan, dan saran, baik berbentuk positif maupun negatif. Misalnya: “Jangan merokok di kamar ini!” atau “Bukankah merokok dapat menyebabkan kanker dan gangguan bagi janin ibu hamil?”

d. Tindak Ekspresif
Selain tindak tutur representatif, komisif, dan direktif, juga terdapat tindak tutur ekspresif. Searle (Arifin dan Rani, 2000:139) mengemukakan bahwa tindak ekspresif adalah tindak tutur yang berkaitan dengan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa tindakan meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan sebagainya. Tindak ekspresif ini memiliki fungsi untuk mengekspresikan sikap psikologis pembicara terhadap pendengar sehubungan dengan keadaan tertentu.
Contoh tindak tutur meminta maaf.
Guru        :   Mengapa kamu belum menyerahkan tugas rumah?
Siswa      :   Maaf Pak, tugas itu belum selesai saya kerjakan.
Guru        :   Kapan akan diserahkan?
Siswa      :   Insya Allah besok Pak.

Contoh penggalan percakapan tersebut berisikan tindak tutur ekspresif yang menyatakan permintaan maaf. Tindak tutur meminta maaf dilakukan oleh siswa yang tidak menyerahkan tugas rumah kepada guru. Siswa mengekspresikan tindak tutur meminta maaf dengan menggunakan kata maaf.

e. Tindak Deklaratif
Tindak tutur yang terakhir yang dikelompokan Searle (Arifin dan Rani, 2000:139) adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Tindak tutur ini dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama. Oleh Suyono (1990: 7) tindak deklaratif dinyatakan sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur sebelumnya. Tindak tutur ini dinyatakan dengan setuju, tidak setuju, benar, dan lain-lain.
Contoh tindak tutur deklaratif dapat dilihat pada dialog di bawah ini.
Siswa      :   Menurut saya, salah satu faktor yang mempengaruhi kecurangan siswa dalam menjawab ujian adalah ketidaksiapan belajar untuk menghadapi ujian itu sendiri. Bagaimana Pak?
Guru        :   Ya, saya setuju dengan pendapat kamu.

Contoh dialog yang telah dikemukakan merupakan tindak tutur deklaratif. Guru menggunakan tindak tutur deklaratif dalam bentuk persetujuan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh siswa. Pernyataan persetujuan yang diberikan guru ditandai dengan penggunaan kata setuju. Contoh lainnya adalah tuturan yang diujarkan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya “Kamu dipecat.”

IMPLIKASI TINDAK TUTUR

Perilaku berkomunikasi, baik transaksional maupun interaksional, merupakan tindakan sosial. Dengan kata lain, tindakan yang diwujudkan dalam tindak tutur itu terkait dengan fungsi-fungsi sosialnya.
Wacana percakapan berisikan komunikasi bersemuka antara dua orang atau lebih, baik guru dengan siswa, atau siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan komunikasi.
Pencapaian tujuan ini direalisasikan melalui tindak tutur. Guru dan siswa melakukan tindak tutur bersama untuk merepresentasikan fungsi-fungsi tertentu. Pemahaman terhadap tindak tutur akan memberikan kemudahan dalam menafsirkan sebuah wacana melalui prediksi terhadap pasangan berdekatan yang terdapat selama interaksi kebahasaan berlangsung di kelas. Hal lainnya yang dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap tindak tutur, yaitu guru dan siswa dapat menggunakan berbagai tuturan dan mengembangkannya sesuai dengan tindak tutur dalam membentuk peristiwa tutur. Dengan demikian, komunikasi akan berlangsung dengan lancar dan mudah dipahami oleh pesertanya.
                                 
PRINSIP KERJA SAMA

Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua partisipan atau lebih. Percakapan dalam hal ini lebih dari sekedar pertukaran informasi. Ismari mengemukakan (1995: 3) mereka yang mengambil bagian dalam proses percakapan tersebut akan memberikan asumsi-asumsi dan harapan-harapan mengenai percakapan sehingga percakapan tersebut berkembang sesuai dengan jenis kontribusi yang diharapkan dan telah dibuat oleh mereka. Mereka dalam hal ini akan saling berbagi prinsip-prinsip umum yang akan memudahkan dalam menginterpretasikan tuturan-tuturan yang dihasilkan.
Di dalam berkomunikasi seorang penutur mengkomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan harapan agar petutur itu dapat memahami apa yang dikomunikasikannya. Tidaklah mungkin akan terjadi komunikasi antara penutur dan petutur apabila antara keduanya tidak terjadi komunikasi. Oleh karena itu, seorang penutur harus selalu berusaha agar pembicaraannya itu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas, serta terfokus pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu. Dengan kata lain, antara penutur dan petutur terdapat prinsip kerja sama yang harus mereka terapkan agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Kerja sama dapat diartikan sebagai keterlibatan partisipan dalam membentuk suatu percakapan lengkap dengan unsur-unsur yang diperlukan. Fungsi kerja sama adalah membentuk peristiwa tutur (Syamsuddin, et al., 1998: 94). Grice (Arifin dan Rani, 2000:1149) mengemukakan mengenai prinsip kerja sama: Make your contribution such as is required at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in wich you are engaged. Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.
Pada umumnya prinsip kerja sama dalam percakapan ditopang oleh unsur-unsurnya. Unsur-unsur penopang kerja sama dalam percakapan disebut sebagai maksim. Maksim merupakan petuah yang memberikan tuntunan dalam bertutur. Grice (Syamsuddin, et al., 1998:195) membagi prinsip kerja sama dalam suatu percakapan menjadi empat. Maksim tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Maksim Kuantitas
Maksim Kuantitas berbunyi “Berikanlah jumlah informasi yang tepat”. Pemberian jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya dapat memberi keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula memberikan keterangan lebih daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi yang diberikan kepada orang lain dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya saja. Jangan lebih dan jangan kurang. Maksim kuantitas ini terdiri dari dua submaksim, yaitu a) berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan dan b) sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang diperlukan.
Teks 1
A: Tadi malam saya lihat Pak John sama perempuan.
B: Waduh, apa tidak takut sama istrinya?
A: Ya nggaklah, perempuan itu kan istrinya.

Bandingkan dengan teks 2 berikut.

A: Tadi malam saya lihat Pak John – itu, guru kita, yang mengajar Bimbingan Karir, yang rambutnya gondrong itu – sama perempuan lho.

Teks 1 berisikan percakapan yang di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Pelanggaran ini disebabkan oleh informasi yang diberikan masih kurang sehingga menyebabkan adanya kesalah-pahaman. Sedangkan pada teks 2 juga terdapat pelanggaran terhadap maksim kuantitas karena informasi yang diberikan berlebihan. Oleh karena itu, sebaiknya tuturan itu janganlah kurang maupun melebihi dari yang diperlukan.


Perhatikan teks 3 berikut.
(a) Guru  :  Apakah kamu sudah menyelesaikan PR Matematika?
       Siswa :  Sudah Pak

(b) Guru   :  Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni?
       Siswa : Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah yang Saya gunakan berbeda dengan Toni karena Saya menggunakan buku terbitan Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat lengkap dalam membahas soal seperti yang Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah punya buku itu?

Jika dibandingkan antara dialog (a) dan dialog (b) terlihat perbedaan. Dialog (a) antara guru dan siswa terdapat kerja sama yang baik. Siswa telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai dan mencukupi. Berbeda halnya dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat adanya kerja sama yang baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang berlebihan yang tidak diperlukan guru.
Contoh lain dapat ditemukan pula pada teks 4 seperti yang diungkapkan Keenan (Ismari, 1995: 4) sebagai berikut.
A:    ‘Where is your mother?’
        (Di mana ibumu?)
B:    ‘She is either in the house or the market.’
        (Ia mungkin di rumah atau di pasar.)

Kutipan percakapan dilihat dari segi tuturan B menunjukkan bahwa B tidak secara pasti mengetahui keberadaan ibunya, tetapi hanya menyatakan dalam bentuk pilihan tempat. Apabila B ternyata mengetahui secara pasti lokasi tempat ibunya berada dari dua pilihan itu, berdasarkan maksim, penyediaan informasi itu gagal.

b. Maksim Kualitas
Maksim Kualitas berbunyi “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”. Maksim ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan kepada orang lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini salah jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis (kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Maksim kualitas ini terdiri atas dua submaksim, yaitu a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak benar dan b) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Contoh:
(a)   Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
        Denny : Dia tidak di kelas XII IPS A, tapi di kelas XII C IPA.
(b)   Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
        Denny : Ia di kelas XII C IPE. Cape dech!
(c)   Adit     : Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
      Denny : Di kelas XII IPA C.

Dialog (a), Denny memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Hal ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama untuk mengetahui mengapa Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya dan dianggapnya salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit mengetahui bahwa jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah membandingkan dirinya dengan Lili.  Pada dialog (b), jawaban Denny dianggap melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan itu terdapat pada kelas XII C IPE, cape dech. Pada dialog (c), jawaban Denny telah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.

c. Maksim Hubungan
Maksim Hubungan berbunyi “Usahakan perkataan Anda ada relevansinya”. Melalui maksim hubungan ini kita dalam peristiwa tutur dituntut untuk selalu menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, dalam percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang dibicarakan dan perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap fokus persoalan akan membantu dalam menginterpretasi serta mereaksi tuturan-tuturan yang dilakukan lawan bicara. Contoh:
(a)    Udin   : Di mana buku Biologiku?
         Dani   : Di rak meja.
(b)    Udin   : Di mana buku Biologiku?
                 Dani   : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat istirahat tadi.
(c)    Udin   : Di mana buku Biologiku?
         Dani   : Saya dipanggil Ibu Ranti!

Pada dialog (a), informasi yang disampaikan Dani ada relevansinya dengan pertanyaan Udin. Sama halnya pada dialog (b), informasi yang disampaikan Dani menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui jawaban yang tepat atas pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu Udin mendapatkan jawaban yang benar. Karena, jawaban Dani mengandung implikasi kemungkinan Yuni lah yang meminjam buku Biologi Udin yang terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di mana buku Biologinya sekarang. Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu jawaban yang menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak membantu Udin untuk mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat dikatakan relevan bila jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa Dani tidak dapat menjawab pertanyaan Udin.
Contoh pelanggaran dalam maksim hubungan dapat dilihat pada contoh percakapan seseorang yang menggambarkan mobil baru yang telah dibelinya kepada teman sekantornya.

... mobil itu warnanya merah. Merk catnya kalau nggak salah Danapaint, nomor 3021, dan tiner yang dipakai bukan tiner merk Butterfly yang kalengnya hijau, tetapi merah....

Informasi yang diberikan pada teks tersebut mengenai merk cat, nomor cat, warna kaleng tiner tidak relevan, bahkan berlebihan dalam konteks penggambaran mobil baru. Gambaran yang diberikan pada teks tersebut telah keluar dari tujuan percakapan.

d. Maksim Cara
Maksim Cara berbunyi “Usahakan perkataan Anda mudah dimengerti”. Pada maksim ini yang dipentingkan adalah cara mengungkapkan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara, dalam mengungkapkan sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar berbicara dengan teratur. Perhatikan contoh berikut.
(a) Ucok                         :  Siapa teman Anda, orang Korea itu?
      Ujang                        :  K-I-M E-O-K S-O-O
      Ucok                         :  (bengong)

(b) Ucok                         :  Itu dia, guru baru datang.
      Ujang                        :  Dia guru baru?
      Ucok                         :  Bukan!
     
(c)  Orang tua murid     :  Atas perhatian, kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih.
      Guru                          : Sama-sama.


(d) Tini                            : Bagaimana keadaan rumah yang baru Anda beli?
      Tono                         : Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga saya. Pagarnya dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira-kira 6 x 5 m², berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian depan terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tempat mencuci pakaian, dan alat-alat dapur. 

Pada dialog (a), jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena dilakukan dengan mengeja nama seseorang melalui kata demi kata. Nama orang itu KIM EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi pengucapannya dieja sehingga tidak jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b) kalimat yang diucapkan Ucok menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih dari satu. Sementara itu, pada dialog (c) pernyataan yang disampaikan oleh orang tua murid terlalu berlebihan. Berbeda dengan dialog (d) Tono memberikan informasi yang jelas bagi Tini.
Keempat maksim itu, diyakini Grice mampu menuntun orang untuk berkomunikasi secara maksimal, efesien, efektif, rasional, dan kooperatif jika ucapan itu benar-benar memiliki nilai kebenaran (Marcellino, 1993:63). Hal ini dimungkinkan apabila ucapan itu selaras dengan kejadian yang bergandengan dengan waktu dan tempat dalam suatu konteks dan situasi tertentu, dan sesuai dengan aturan konstitutif yang tepat. Ucapan tersebut harus mengandung suatu nilai yang jujur (Searle dalam Marcellino, 1993: 63)
Kondisi ideal dalam pelaksanaan prinsip tuturan tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan (tidak terpenuhinya prinsip kerja sama). Ini disebabkan adanya keadaan tertentu yang secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi tuntutan prinsip secara ideal.
Grice (Roekhan, 2002: 190) menyebutkan keadaan itu sebagai berikut.
(1)   keadaan yang menuntut penutur melanggar (to violate) ketentuan penggunaan maksim tutur yang normal,
(2) keadaan yang menuntut penutur mengalihkan (to break) maksim tutur,
(3) keadaan yang menuntut penutur mengabaikan (to opt out) maksim tutur, dan
(4) keadaan yang menuntut penutur mendayagunakan (to floute) maksim tutur.



Oleh karena itu, Roekhan (2002:190) mengelompokkan penggunaan maksim tutur ke dalam dua kategori, yaitu (1) penggunaan maksim tutur yang sesuai dengan teori Grice, dan (2) penggunaan maksim tutur yang tidak sesuai dengan teori Grice.

a. Kegagalan Penggunaan Prinsip Kerja Sama
Kegagalan penggunaan prinsip kerja sama ditandai oleh terganggunya komunikasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan tidak dapat diterima secara baik akibat adanya gangguan yang berat, bahkan dapat berakibat pula pada terancamnya hubungan antara penutur dan mitra tutur.  Roekhan (2002:190) membedakan kegagalan penggunaan prinsip kerja sama menjadi pelanggaran (to violate), pengabaian (to opt out), dan pengalihan (to break).
Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dapat terjadi apabila penggunaannya tidak memenuhi ketentuan (Roekhan, 2002:191). Ini dapat berdampak pada tergangunya proses komunikasi yang sedang berlangsung. Adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Roekhan (2002:191) menyebutkan keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang atau tidak menguasai permasalahan yang dibahas atau disampaikan, dan 2) ketika penutur kurang atau tidak memahami konteks komunikasi tutur yang sedang terjadi. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat dicontohkan pada keadaan seorang guru yang kurang menguasai materi pelajaran. Akibatnya, guru tersebut dihadapkan pada dua pilihan yang berat, yaitu mengakui ketidakmampuannya dengan terus terang atau berusaha untuk menutupinya. Apabila guru mengakui ketidakmampuannya, berarti ia harus siap dipermalukan bahkan dicemooh di depan kelas oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru berusaha menutupi ketidakmampuannya, berarti ia akan menggunakan tuturan yang berputar-putar sehingga sulit dipahami oleh siswa.
Pengabaian prinsip tutur dapat dikatakan sebagai penyimpangan yang dilakukan secara sengaja. Ini dilakukan karena penutur tidak menghendaki terjadinya komunikasi saat itu sehingga ia tidak melakukan kerja sama yang baik dengan mitra tuturnya (Roekhan, 2002: 195). Akibatnya komunikasi terganggu, bahkan dapat mengalami kegagalan. Roekhan (2002: 196) menyebutkan hal yang menyebabkan penutur mengabaikan prinsip umum dalam tuturannya, yaitu 1) ketika penutur ingin berbohong kepada mitra tutur, dan 2) ketika penutur ingin merahasiakan informasi yang dimilikinya. Dengan demikian, penutur akan berusaha menggunakan tuturan yang taksa atau menyampaikan informasi yang bohong. Pengabaian maksim dalam prinsip umum tuturan ini contohnya dapat terjadi pada seorang anak perempuan yang bermaksud menemui teman laki-lakinya, namun tidak ingin diketahui oleh ibunya sehingga saat ditanya, si anak akan menjawab sebagai berikut: “Saya mau ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok” atau “Ani berulang tahun hari ini jadi saya akan ke rumahnya” atau “Sore ini ada les tambahan dari sekolah.”
Pengalihan prinsip kerja sama terjadi apabila penutur dihadapkan pada dua maksim tutur yang bertentangan (Roekhan, 2002: 200). Apabila satu maksim digunakan secara baik, maksim lainnya akan diabaikan. Demikian pula sebaliknya. Dalam kondisi seperti ini, penutur terpaksa untuk memenuhi salah satu maksim tutur saja dan mengabaikan maksim tutur yang lain. Contohnya, percakapan antara polisi penyelidik dengan seorang tersangka. Dalam komunikasi seperti itu, polisi dihadapkan pada tuntutan penggunaan maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Apabila polisi bermaksud memenuhi maksim kuantitas dan maksim hubungan, berarti polisi harus melanggar maksim cara. Sebaliknya, apabila polisi memenuhi maksim cara, berarti polisi telah melanggar maksim kuantitas dan maksim hubungan.
Jika polisi memilih untuk memenuhi tuntutan maksim hubungan, maka ia harus menanyakan hal-hal yang informasi awalnya telah dimiliki oleh tersangka. Akan tetapi, jika hal itu dilakukannya, ia tidak pernah memperoleh informasi-informasi penting yang diharapkannya. Sama halnya kalau polisi memenuhi tuntutan maksim kuantitas, ia hanya akan menanyakan hal-hal yang telah pasti dan jelas saja. Informasi yang masih bersifat dugaan tidak ditanyakan kepada tersangka karena hal itu melanggar ketentuan maksim kuantitas.
Berdasarkan uraian itu, wajar apabila polisi penyelidik memilih merusak maksim hubungan dan kuantitas, dan hanya memenuhi tuntunan maksim cara saja. Hal ini dilakukan agar upayanya untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya dapat tercapai.

b. Pendayagunaan Prinsip Kerja Sama
Pendayagunaan, pengintensifan, atau pengoptimalan  prinsip kerja sama merupakan penerapan prinsip tutur yang khas, yang dilakukan secara sadar oleh penutur dengan maksud-maksud tertentu (Roekhan, 2002: 202). Hal ini diharapkan dapat menghasilkan makna implikatur tertentu yang dapat ditangkap oleh mitra tutur melalui inferensi. Dengan kata lain, penutur dapat menyimpulkan makna tambahan yang diperolehnya. Hal ini dapat ditemui pada lawakan, sindiran, permintaan tak langsung, jawaban tak langsung, dan sastra.

IMPLIKASI PRINSIP KERJA SAMA
Pada saat interaksi belajar-mengajar berlangsung di kelas, seorang guru diharapkan dapat menyampaikan idenya secara singkat, jelas, lengkap, benar, dan tertata. Demikian juga sebaliknya, guru mengharapkan siswanya dapat berkomunikasi sebagai respons terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Ini dikarenakan, tidak jarang ditemukannya gejala yang menyebabkan kualitas, kuantitas, relevansi, dan kejelasan pesan menjadi berkurang sehingga komunikasi yang diharapkan tidak dapat maksimal. Akibatnya, kegagalan proses belajar-mengajar di kelas tidak dapat dihindari. Oleh karena itu penutur dan mitra tutur perlu memperhatikan perilaku bertuturnya, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek kerja sama.
Prinsip kerja sama cenderung mengarah pada pencapaian efektivitas penyampaian pesan. Guru dan siswa dituntun untuk dapat berkomunikasi dengan tepat sehingga komunikasi berjalan lancar.

KOHERENSI
Suatu interpretasi terhadap teks biasanya berdasarkan struktur sintaksis dan kosa kata yang digunakan di dalam teks tersebut. Akan tetapi, hal ini bukanlah satu-satunya cara, karena ternyata banyak teks yang tidak gramatikal dan tidak berisi kosa kata yang diperlukan. Misalnya, pemasang iklan yang tidak menggunakan kalimat lengkap, namun pembaca dapat memahaminya dengan baik. Perhatikan teks iklan berikut.

Dikont. Ruko 3 Lt. AC. Telp. 4 line.
Perkant. Cempaka Putih.
Jl. Letjen Suprapto sebelah BDNI,
sederetan dengan LIPPO dan Exim Bank, min 2 th.
Hub. Wasty 371121, 4209900.

Kecuali struktur kalimat, pembaca juga mengetahui cara membaca dan memahami iklan mini. Demikian juga kata-kata dan singkatan yang mengarahkan pembaca untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut sebagai kalimat atau bagian kalimat. Pembaca pada umumnya menyadari adanya konvensi dan aturan di dalam masyarakat. Dengan bekal tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa iklan tersebut berisikan penawaran terhadap rumah-toko bertingkat tiga yang akan dikontrakan minimal 2 tahun. Rumah toko tersebut terdapat di jalan Letjen Suprapto.
Pada wacana percakapan, seseorang dapat membedakan antara percakapan yang koheren dan tidak koheren secara intuisi. Salah satu cara yang digunakan untuk mengetahuinya adalah dengan mendefinisikan istilah dari koheren itu sendiri.
Di bawah ini terdapat potongan teks yang tidak koheren meskipun memiliki urutan yang teratur.
Teks 1
I:   Is it something you have experienced?
P:   No, yes, it is been said to us.
I:   Aha
P:   Yes, it is been said
I:   Who said it to you?
P:   Well, I can hardly remember who. There are many young gentlemen here, many young people who have been separated, and they have said it-they have told something about it. Yes.
I:   Where are these young people?
P:   Well, they are three hundred things after all, so we are, we had people all over space, yes. There were...the whole of space was filled with people and then they were put into three skins at our place.
I:   Three skins?
P:   Yes, they were put into the body, but I think that two of skins are ready, they should be ready, they should be separated. And there were three hundred thousand who had no reason, or soul, or reason. But now they are so...now it seems that there are some who have neither soul nor reason and they had to be helped, and people have to be helped, I can’t do it here in this where we are, we have to be in...if I am to take care of these things. These...that’s what the ladies say, they are aware...
...
P:   I’ve helped them in Øster Søgade [a major thoroughfare in central Copenhagen] we helped them in that way.
I:   in Øster Søgade?
P:   Yes, we helped them in that way there and there were many who slid away and many who were helped. Yes.
I:   There were many who slid away and many who were helped?
P:   Yes, I don’t know how many, I don’t know. But there are many trisks and svilts, I think there are most trisks and svilts [meaningless English words calqued on equally meaningless Danish ones; cf. ‘trilms’, below]. That is those who are made out of svilt clay.
I:   Out of svilt clay?
P:   Yes, it is out on space. They make them in trilms.
I:   Trilms?
P:   By trilms. And then they go through three levels. Some only go through two. Some go through three. Yes. When they make them.

Teks 1 merupakan contoh teks yang tidak koheren meskipun pada wacana tersebut tampak memperlihatkan keteraturan. Percakapan pada teks tersebut tidak memberikan arahan yang tepat sehingga terjadi ketidakpaduan dalam membentuk kesatuan makna pada percakapan. Pewawancara hanya mengulangi sebagian kata-kata yang diucapkan oleh pasien.



Bandingkan dengan teks 2!
Teks 2
A:  What’s the time?
B:  (a) Eleven.
      (b) Time for coffee.
      (c) I haven’t got a watch, sorry.
      (d) How should I know.
      (e) Ask Jack.
      (f) You know bloody well what time it is.
      (g) Why do you ask?
      (h) What did you say?
      (i) What do you mean?

Pada teks 2 memperlihatkan bagaimana pertanyaan A mendapat jawaban yang dihadirkan dalam bentuk alternatif oleh B. Pertanyaan A diterima secara relevan oleh B dengan alternatif jawaban (a) atau (b). Ini menandakan bahwa tuturan A dan B dengan alternatif (a) dan (b) memiliki kekoherensian. Akan tetapi, ini bukan berarti alternatif (c) – (i) merupakan jawaban yang tidak sesuai sehingga dikatakan tidak koheren. Alternatif jawaban (c) –(i) dapat dikatakan relevan dengan pertanyaan A jika percakapan tersebut dilihat pada konteks terjadinya percakapan. Jadi, percakapan antara A dan B pada teks 2 merupakan contoh tuturan yang koheren.

TANYA-JAWAB
1.   Bagaimanakah kaitan analisis wacana dan analisis percakapan!
Jawab:     
Analisis wacana merupakan suatu kajian yang menelaah bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Wacana dalam bentuk tulisan salah satunya dapat dilihat pada wacana iklan. Sedangkan wacana lisan pada umumnya dalam bentuk percakapan antara dua orang atau lebih. Jadi, analisis percakapan merupakan bagian dari analisis wacana. Yang membedakan antara analisis wacana dan analisis percakapan dapat dilihat dari pengambilan penalaran. Analisis wacana didasarkan pada penalaran deduktif karena tema yang terdapat pada wacana itu telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan analisis percakapan didasarkan pada penalaran induktif karena temanya hanya dapat ditemukan setelah percakapan berlangsung.




2.   Bagaimanakah keteraturan dalam percakapan!
Jawab:  
Suatu pembicaraan mempunyai urutan makna dan aturan. Seseorang yang bertutur akan dipengaruhi oleh aturan, kultur, dan kaidah-kaidah sehingga tuturan menjadi teratur, meskipun tuturan tersebut terdengar acak-acakan. Sebagian keteraturan ini berasal dari kenyataan bahwa orang merupakan anggota dari kelompok sosial yang mengikuti pola-pola perilaku yang diharapkan dalam kelompok tersebut. Sumber keteraturan lainnya berasal dari kenyataan bahwa sebagian besar orang dalam suatu komunitas bahasa memiliki pengalaman-pengalaman dasar yang serupa tentang dunia dan sama-sama memiliki banyak pengetahuan nonlinguistik. Pada umumnya percakapan memiliki struktur berupa pembukaan, isi, dan penutup yang akan membantu dalam mengatur percakapan. Dalam percakapan tersebut terjadi interaksi antara penutur dan petutur dalam bentuk initiation, response, dan feedback. Meskipun tidak dapat dihindari, bahwa tumpang-tindih (overlapping) dalam percakapan dapat pula terjadi.

3. Apa yang dimaksud dengan TPR?
Jawab:  
Transition Relevance Place (TRP) merupakan tempat terjadinya perubahan giliran yang mungkin terjadi. TRP juga dapat disebut sebagai hak berbicara bagi penutur secara langsung dan dapat diberikan untuk penutur lainnya atau menurut pilihannya, atau secara tidak langsung juru bicara dapat melemparkannya pada siapa saja saat pembicaraannya sedang hangat. Peserta tutur dapat ikut serta dalam pertuturan secara langsung dan mengambil alih tuturan, tetapi tidak semua peserta tutur dapat mengambil alih tuturan atau memotong tuturan. Oleh karena itu, terdapat giliran tutur yang akan memandu pada tuturan yang baik.

4.   Jelaskan mengenai pasangan berdekatan!
Jawab:  
Pasangan berdekatan dapat didefinisikan sebagai dua unsur tuturan berikutnya pada sebuah pertukaran percakapan. Pasangan ini dapat dicirikan dalam tipe-tipenya yang memiliki kekuatan ilokusi, seperti sapaan, permintaan-pemenuhan (penerimaan), permintaan informasi-pemberian informasi, dan lain sebagainya. Analisis percakapan klasik membedakan antara pasangan pertama dan kedua pada pasangan berdekatan. Perbedaan ini didasarkan pada permintaan dan pemenuhan permintaan, baik dengan respon positif maupun negatif. Dengan demikian, adanya pasangan berdekatan ini akan bermanfaat dalam memprediksikan jawaban yang akan diterima dan mengaturnya. Teori tentang pasangan berdekatan ini memperlihatkan adanya kesesuaian dalam bentuk respons seketika yang sesuai dengan harapan, kesesuaian antara bagian pertama dan kedua.
5. Bagaimanakah kondisi yang disyaratkan untuk tindak tutur komisif?
Jawab:  
Komisif adalah jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk membuat dirinya sendiri berkomitmen untuk melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Komisif mengekspresikan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Komisif dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Untuk mengkondisikan tuturan sebagai tindak komisif, Searle mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tindak tutur komisif tersebut, diantaranya: a) bahasa yang digunakan harus mudah dipahami, b) tuturan (janji) memiliki makna, c) tuturan (janji) harus dapat dilakukan/dipenuhi oleh penutur pada waktu yang ditetapkan.

6. Bagaimanakah verba-verba tindak tutur itu!
Jawab:  
Verba-verba tindak tutur merupakan kata kerja-kata kerja yang mengungkapkan suatu tindak tutur. Austin menyatakan ada lebih dari 1000 kata kerja yang memiliki daya ilokusi dalam bahasa Inggris, seperti ask, request), direct, require, order, command, suggest, beg, plead, dan lainnya yang kesemuanya menandai tindak tutur. Oleh Searle dikhususkan ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Verba-verba tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle ini memiliki kekuatan (force). Kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur representatif akan membuat kata-kata tersebut sesuai dengan dunia (keyakinan). Verba-verba tindak tutur representatif misalnya affirm, allege, assert, forecast, predict, announce, dan insist. Kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur direktif akan membuat dunia sesuai dengan kata-kata (melalui pendengar). Verba-verba tindak tutur direktif diantaranya ask, beg, bid, command, demand, forbid, recommend, dan request. Kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur komisif akan membuat dunia sesuai dengan kata-kata. Verba-verba tindak tutur komisif seperti offer, promise, swear, volunteer, dan vow. Kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur ekspresif akan membuat kata-kata sesuai dengan dunia (perasaan). Verba-verba tindak tutur ekspresif diantaranya apologize, commiserate, congratulate, pardon, dan thank. Dan, kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur deklaratif akan membuat kata-kata tersebut mengubah dunia. Verba-verba tindak tutur deklaratif, misalnya adjourn, veto, sentence, dan baptize.

7.   Jelaskan mengenai tindak tutur tidak langsung dan tindak tutur langsung!
Jawab: 
Tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang yang disampaikan secara tidak langsung melalui siratan-siratan. Misalnya, “Aku lupa membawa air mineral.” Sekilas tuturan ini tampak hanya sebagai pernyataan penutur mengenai dirinya yang lupa membawa air mineral. Akan tetapi, tuturan ini ternyata lebih dari sekedar informasi saja, melainkan terdapat siratan berupa permintaan kepada petutur untuk melakukan sesuatu untuknya (tindak direktif) seperti meminta petutur untuk memberinya air mineral atau mengambilkan air mineral. Sedangkan tindak tutur langsung adalah tuturan yang menyatakan sesuatu secara langsung, tidak tersirat. Misalnya, “Bolehkah saya minta air mineralnya?” Tuturan tersebut berupa permintaan penutur kepada petutur. Dalam hal ini, petutur tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan maksud penutur karena tuturan yang digunakan merupakan permintaan secara langsung.

8. Bagaimana awal perkembangan bahasa dan konteks!
Jawab: 
Pada mulanya para ahli menganggap bahwa bahasa yang baik adalah bahasa yang bernalar. Tuturan bernalar pada saat itu dilihat dari segi nilai kebenarannya (truth value) saja. Akan tetapi, hal tersebut mulai dikritisi oleh Lakoof, Ross, dan lainnya tentang bahasa yang tidak hanya untuk mengungkapkan pikiran yang selalu mengacu pada tuturan yang bernalar. Suatu tuturan tidak hanya diukur dari nilai kebenarannya, melainkan dapat diukur berdasarkan kondisi kesesuaian (falicity condition). Contohnya, “Mulai sekarang Anda saya pecat karena telah melanggar aturan di perusahaan ini.” Apabila kalimat itu dilihat dari truth value saja, berarti memiliki makna hanya sebagai kalimat berita. Sedangkan dilihat dari falicity condition, kalimat itu akan bermakna jika terdapat kecocokan antara tuturan dan penuturnya, yaitu diucapkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan untuk menerima dan memberhentikan seseorang, misalnya seorang direktur terhadap bawahannya. Jika tuturan itu dituturkan oleh bawahan terhadap direktur perusahaan, tuturan itu tidak akan memiliki kekuatan apa-apa karena tidak terdapat kecocokan. Hal inilah yang menyebabkan konsep bahasa logis menjadi melemah. Seorang pemakai bahasa tidak hanya menguasai ketepatan gramatikal, tetapi juga kecocokan pemakaian bahasa dengan situasi dan faktor-faktor lainnya karena situasi dan faktor-faktor lainnya dapat membedakan makna bahasa sebagai ujaran. Dengan demikian, adanya bentuk yang sama dalam tuturan dapat berbeda maknanya jika digunakan dalam konteks yang berbeda.

Tidak ada komentar: