GILIRAN TUTUR DAN PASANGAN BERDEKATAN
Pada wacana
percakapan terdapat giliran tutur dan pasangan berdekatan. Giliran tutur dalam
suatu percakapan sangat penting. Ismari (1995: 17) mengemukakan bahwa giliran
tutur merupakan syarat percakapan yang dapat menimbulkan pergantian peran
peserta. Dalam percakapan yang baik selalu terjadi pergantian peran, yaitu
peran pembicara dan pendengar. Seorang penutur dengan pengetahuan yang kurang
mengenai aturan pengambilan giliran tutur adalah penutur yang tidak memberikan
kesempatan berbicara kepada lawan bicara. Orang seperti ini akan membangkitkan
penilaian negatif atau akan membuat percakapan berakhir secepat mungkin. Aturan
dasar percakapan adalah hanya ada satu orang yang berbicara pada satu waktu.
Pada beberapa keluarga,
ada maksim etiket bagi anak-anak yang berbunyi “Jangan berbicara jika tidak
diajak berbicara”. Demikian pula pada beberapa sekolah yang melatih seorang
anak di kelas untuk mengangkat tangan ketika hendak berbicara atau mengambil
giliran tutur. Pengambilan giliran tutur memperlihatkan adanya peran dan status
seseorang yang cukup dipertimbangkan dalam percakapan.
Di kelas bahasa,
guru dapat mempraktikkan pengambilan giliran tutur kepada siswa melalui
pelatihan dalam bentuk permainan. Guru dapat menyediakan daftar frasa yang akan
dikembangkan oleh siswa dalam bertutur. Adapun daftar frasa tersebut dapat
dilihat sebagai berikut.
a. Perhatian-pembukaan-penyelaan
‘Maaf,...’, ‘Maaf,
saya interupsi...’, ‘Tapi, ... saya mungkin menambahkan...’, ‘Saya ingin berkomentar
mengenai....’, ‘Boleh saya tambahkan sesuatu?’
b. Kembali ke topik semula
‘Kembali pada
masalah....’, ‘Sampai di mana tadi saya bicara?’, ‘Apapun yang terjadi....’
Daftar frasa itu kemudian
dapat dipraktikan pada contoh permainan berikut.
A: Kemarin malam saya menonton pertandingan karate
di gelanggang.
B: Maaf, saya interupsi..., pertandingan yang
mana?
A: Pertandingan kumite bebas senior. Pokoknya saya
pergi ke pertandingan tersebut dan mendapatkan kursi.
B: Maaf, tapi di mana kursi Anda?
A: Di bagian depan. Seperti yang saya katakan,
saya mendapatkan kursi....
Adanya
giliran tutur dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud
keteraturan ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan
menjadi pasangan berdekatan. Ismari (1995: 11) menyebutkan pasangan berdekatan
sebagai tuturan yang dihasilkan oleh dua pembicara secara berturut-turut. Tuturan
kedua diidentifikasi dalam hubungannya dengan tuturan pertama. Tuturan pertama
merupakan bagian pertama pasangan dan tuturan berikutnya merupakan bagian kedua
dari pasangan. Oleh karena itu, seorang penutur pada saat menghasilkan tuturan
mengharapkan lawan bicaranya akan memberikan bagian kedua pada pasangan yang
serasi. Berikut contoh pasangan berdekatan.
a. Sapaan-sapaan : A: Hai
B:
Hai juga
b. Panggilan-jawaban : A: Emi!
B:
Ya Pak.
c. Keluhan-bantahan : A: Kamu ikut tawuran?
B:
Tidak.
d. Keluhan-permohonan maaf :
A: Makanan sudah dingin.
B:
Maaf, tadi Bos traktir makan di luar.
e. Permintaan-pemersilaan : A: Bisa tambah kuenya?
B:
Silakan, masih banyak kok.
f. Permintaan (informasi)-pemberian : A: Jam berapa sekarang?
B:
Jam 9 tepat.
g. Penawaran-penerimaan : A: Mau menumpang?
B:
Syukur kamu datang.
h. Penawaran-penolakan : A: Rokok!
B:
Saya tidak merokok, terima kasih.
Di
dalam pasangan berdekatan terdapat stimulus-respons dan feedback. Proses stimulus-respons yang berulang akan menimbulkan
kebiasaan dan keteraturan. Proses ini dapat dilihat pada tuturan yang berfungsi
sebagai inisiasi, dan diikuti oleh tuturan yang berfungsi sebagai respons.
Inisiasi dapat dikatakan sebagai pembuka atau pemicu suatu tuturan. Sementara
itu, respons merupakan hasil dari adanya inisiasi. Respons dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu respons langsung dan tak langsung (Haliday dan Hasan dalam
Jumadi, 2005: 39). Respons langsung adalah tuturan yang digunakan secara
langsung dalam menjawab pertanyaan. Bentuk respons ini adalah jawaban ya dan tidak. Sementara itu, respons tidak langsung adalah tuturan yang
digunakan tidak secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Pada umumnya bentuk
respons tidak langsung digunakan untuk mengkomentari pertanyaan, mengabaikan
relevansi (sangkalan), atau respons yang memberi informasi pendukung. Bagian
ketiga dari pasangan berdekatan adalah feedback.
Feedback dapat difungsikan sebagai
penutup tuturan.
Pasangan
berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi (I), respons (R), dan feedback (F) pada umumnya memiliki
struktur, seperti a) [IRF], yakni struktur penuh, di dalamnya terdapat respons
verbal secara penuh terhadap inisiasi, b) [IR (F)], struktur dari pasangan
berdekatan yang di dalamnya terdapat inisiasi yang menyebabkan respons dalam
bentuk nonverbal, dan c) [I (R)], yakni struktur yang memiliki inisiasi dalam
bentuk penyampaian informasi proporsional yang tidak memerlukan respons.
Misalnya:
[IRF]
A : Apa sudah benar jawaban Agus?
B : Benar.
A : Baik.
[IR (F)]
A : Bisa menggeser sedikit, mbak?
B :
(menggeser) non-verbal
A : Sudah makan
siang?
B :
Sudah. kalimat langsung
A : Sudah makan
siang?
B : Saya
baru selesai rapat. kalimat tidak
langsung
[I (R)]
A : Diskusi akan dimulai minggu
depan.
B : ....
Suatu proses komunikasi dapat berlangsung lancar.
Inisiasi (I) yang diikuti oleh respons (R) dan feedback (F) mengimplikasikan telah terjadinya percakapan yang
berlangsung secara efektif dan efesien. Akan tetapi, tidak semua proses
percakapan berlangsung secara efektif dan efesien. Adanya rangkaian sisipan (insertion sequences) dapat ditemukan di
antara I dan R. Pada umumnya struktur seperti ini dapat dirumuskan dengan (Q
(Q-A) A), (question (question-answer) answer)
Misalnya:
A: Gimana latihannya?
B: Kamu mengapa tidak ikut latihan?
A: Biasa, ortu ngajak piknik.
B: Latihannya sangat membosankan.
Contoh tersebut memperlihatkan adanya sisipan dalam
pasangan berdekatan. Pertanyaan A seharusnya dijawab secara relevan oleh B.
Namun, B ternyata memberikan pertanyaan baru yang tidak relevan untuk menjawab
pertanyaan A sebelumnya. Adanya pasangan berdekatan baru dari pasangan
berdekatan yang seharusnya dituntaskan dapat disebut sebagai pasangan sisipan.
IMPLIKASI GILIRAN TUTUR DAN
PASANGAN BERDEKATAN
Pada wacana kelas, guru dan siswa perlu mengetahui dan
memahami giliran tutur dan pasangan berdekatan sehingga dapat digunakan dalam
bertutur, baik saat di kelas maupun di luar kelas. Dengan adanya pemahaman
terhadap giliran tutur, siswa dan guru dapat menggunakan perannya masing-masing
dalam bertutur, terutama saat pengambil-alihan tuturan. Adanya giliran tutur
dapat membantu menggambarkan keteraturan proses percakapan. Wujud keteraturan
ini dapat dilihat pada rangkaian tuturan yang direpresentasikan menjadi
pasangan berdekatan. Adanya kecenderungan untuk menganggap semua pertanyaan
sebagai suatu pasangan berdekatan yang tunggal, yaitu permintaan (informasi)-jawaban
menyebabkan siswa tidak mampu menggunakan tuturannya saat berhadapan dengan
bermacam-macam situasiyang dihadapinya. Hal ini banyak ditemukan pada
pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, meskipun jawaban itu secara tata
bahasa benar, tetapi secara fungsional masih belum tepat. Bandingkan contoh
berikut!
A: Apa kuenya masih hangat?
B: Ya, benar.
A: Apa kuenya masih hangat?
B: Baru saja selesai digoreng, mari silakan.
TINDAK TUTUR
Tindak tutur memiliki banyak jenis. Levinson (Suyono,
1990: 5) mengungkapkan bahwa fenomena tindak tutur inilah yang sebenarnya
merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur. Peristiwa tutur dalam bentuk
praktisnya adalah wacana percakapan, pidato, surat, dan lain-lain. Sementara itu, tindak tutur merupakan unsur pembentuk yang berupa
tuturan.
Tindak tutur dapat dinyatakan sebagai segala tindak
yang kita lakukan melalui berbicara, segala yang kita lakukan ketika kita
berbicara (Ismari, 1995: 76). Akan tetapi, definisi ini terlalu luas untuk
sebagian tujuan. Bahasa digunakan untuk membangun jembatan pemahaman dan
solidaritas, untuk menyatukan kekuatan-kekuatan politik, untuk menyatakan
argumentasi, untuk menyampaikan informasi kepada sesama, untuk menghibur, untuk
memberikan kritik dan saran, singkatnya untuk berkomunikasi.
Pengertian yang lebih sempit mengenai tindak tutur
dapat dinyatakan sebagai satuan terkecil dari komunikasi bahasa yang memiliki
fungsi dengan memperlihatkan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya bergantung pada kemampuan penutur dalam menghasilkan suatu
kalimat dengan kondisi tertentu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Richards
(Suyono, 1990: 5) yang berpendapat mengenai tindak tutur sebagai the things we actually do when we speak “sesuatu yang
benar-benar kita lakukan ketika bertutur” atau
the minimal unit of speaking which can be
said to have function “satuan terkecil dari unit
tuturan yang dapat dikatakan memiliki fungsi”.
Pendapat yang mirip juga ditemukan pada pernyataan Arifin dan Rani (2000:136)
yang menganggap tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam
kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari komunikasi bahasa. Chaer
dan Agustina (1995:64) lebih mengkhususkan tindak tutur sebagai gejala
individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Tindakan untuk
menghasilkan suatu tuturan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Tindak lokusi merupakan tindak yang menjadi
dasar suatu tuturan untuk menyatakan sesuatu.
Bentuk tuturan seperti ini disebut sebagai the
act of saying something. Misalnya, “Aku
baru saja membuat kopi.” Tuturan tersebut dilihat dari segi tindak lokusi
hanya berisikan tuturan mengenai si Aku yang telah membuat kopi. Tidak adanya
tanggung-jawab tuturan untuk melakukan sesuatu maupun untuk mempengaruhi
merupakan ciri khas tindak lokusi. Tuturan terbentuk tanpa maksud apapun. Oleh
karena itu, tindak lokusi ini dianggap paling mudah diidentifikasi karena tidak
memerlukan konteks tuturan dalam situasi tutur.
b. Tindak ilokusi oleh Chaniago, et al. (1997: 2.3-2.4) dikatakan
sebagai suatu bentuk tuturan yang tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan
atau menginformasikan sesuatu, namun juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu
atau suatu tindakan (the act of doing
something). Tindak ilokusi dilakukan melalui daya komunikatif suatu tuturan. Daya atau kekuatan (force)
ini mewajibkan si penutur untuk melaksanakan suatu tindak
tertentu. Misalnya, “Aku baru saja
membuat kopi.” Tuturan ini bukan hanya berfungsi untuk memberikan informasi
bahwa si Aku telah membuat kopi, melainkan dapat pula digunakan untuk
menawarkan kopi.
c. Tindak perlokusi lebih mengacu pada suatu bentuk tuturan yang
pengungkapannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan bicara melalui efek yang
ditimbulkan oleh tuturan itu. Bentuk tuturan
ini disebut the act of effecting someone
(Chaniago, et. al., 1997:2.4). Misalnya, “Aku
baru saja membuat kopi.” Tuturan ini berisikan asumsi bahwa pendengar akan
mengetahui efek tuturan yang dimaksudkan (misalnya, untuk membuat pendengar mau
meminum kopi).
Contoh lainnya
dapat diperhatikan pada percakapan di bawah ini.
A: Mas, gelasnya bocor.
B: Oo, ya. Haus ya mbak?
Contoh kutipan percakapan itu
berisikan tindak tutur melalui makna tersirat. Apabila tuturan itu diperhatikan
dari segi tindak lokusi berarti tuturan yang diujarkan oleh A yaitu gelas yang
dihadapinya tidak bisa lagi digunakan karena retak sehingga isinya habis. Akan
tetapi, tuturan yang dikemukakan oleh A tidak benar. Kenyataannya, gelas tersebut
tidak retak. Dalam hal ini, makna yang ditangkap oleh peserta ujaran adalah
makna ilokusi, yaitu A minta tambah minuman. Tentu saja B menyadari makna
tersebut sehingga diresponnya dengan mengambilkan minuman dan berkomentar. Ini
berarti B melaksanakan sesuatu sesuai dengan daya perlokusi yang terdapat pada
tuturan A.
Dari ketiga tindak
tutur tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tindak ilokusi. Searle mengklasifikasikan tindak tutur yang didasarkan
pada maksud penutur ketika berbicara. Adapun tindak tutur yang dikemukakan oleh
Searle sebagai berikut.
a. Tindak
Representatif
Tindak representatif
(asertif)
merupakan tindak bahasa yang menjelaskan
apa dan bagaimana sesuatu itu sebagaimana adanya, misalnya tindak menyatakan,
tindak menunjukkan, dan tindak menjelaskan (Suyitno, 2002:104). Levinson
seperti yang dikutip Arifin dan Rani (2000:211) memberikan pengertian terhadap
tindak representatif sebagai tindak tutur untuk menyampaikan proposisi yang
benar. Yang termasuk dalam tindak ini adalah tindak memberi informasi, memberi
izin, keluhan, permintaan ketegasan maksud tuturan, dan lainnya. Pengertian itu
ditambahkan lagi oleh Searle (Syamsuddin, et. al., 1998: 97) yang mengemukakan tindak
tutur representatif sebagai tindak yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan
apa dan bagaimana sesuatu itu terjadi dengan apa adanya, contohnya pemberian
pernyataan, saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Ketiga pernyataan di
atas dipertegas oleh Bach dan Hamish yang dikutip Arifin dan Rani (2000: 211)
bahwa tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang biasanya disampaikan
dan dimaksudkan untuk memperoleh respons tertentu. Respons ini merupakan suatu
tindakan dalam memberikan balasan terhadap apa yang diinginkan penutur.
Contoh
dialog yang menyatakan atau menjelaskan.
Emi : Pensil
itu bukan milik saya.
Budi : Lalu
milik siapa?
Emi : Saya
tidak tahu.
Contoh
dialog singkat tersebut menunjukkan penjelasan Emi bahwa pensil itu bukan miliknya, dan Emi mengemukakan pula bahwa ia tidak tahu siapa
sebenarnya yang memiliki pensil tersebut.
b. Tindak
Komisif
Berbeda dengan tindak tutur representatif, tindak
tutur komisif dalam pandangan Searle
(Arifin dan Rani, 2000:139) dianggap sebagai tindak tutur yang memiliki fungsi
untuk mendorong penutur melakukan sesuatu.
Yang termasuk dalam tindak komisif itu sendiri adalah bersumpah, berjanji, dan
mengajukan usulan. Jumadi (2006: 71) ikut menambahkan
pendapatnya terhadap tindak tutur komisif sebagai salah satu jenis tindak tutur
yang digunakan oleh penutur untuk membuat dirinya sendiri berkomitmen dalam
melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang.
Contoh
tindak tutur yang menyatakan janji.
Siswa : Saya
berjanji tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah.
Guru : Baik, kalau
begitu saya akan pegang janji kamu.
Contoh kutipan
percakapan tersebut berisikan pernyataan janji oleh seorang siswa kepada guru.
Siswa melakukan tindak berjanji untuk tidak terlambat.
c. Tindak
Direktif
Tindak tutur berikutnya adalah tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif merupakan
tindak tutur yang mengekspresikan maksud dalam bentuk perintah atau permintaan
untuk menghasilkan efek melalui suatu tindakan pada mitra tuturnya. Searle yang
juga dikutip oleh Arifin dan Rani (2000:1206) mengemukakan tindak tutur
direktif sebagai tindak tutur yang mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu.
Pendapat tersebut dipertegas kembali oleh Bach dan Harmish (Arifin dan Rani,
2000: 206) yang mengartikan tindak tutur direktif sebagai tindak tutur yang
mengekspresikan maksud penutur agar mitra tuturnya melakukan suatu tindakan. Tindak direktif
ini dapat berupa perintah, permintaan, permohonan, dan saran, baik berbentuk
positif maupun negatif. Misalnya: “Jangan
merokok di kamar ini!” atau “Bukankah
merokok dapat menyebabkan kanker dan gangguan bagi janin ibu hamil?”
d. Tindak
Ekspresif
Selain tindak tutur representatif, komisif, dan
direktif, juga terdapat tindak tutur ekspresif.
Searle (Arifin dan Rani, 2000:139) mengemukakan bahwa tindak ekspresif adalah
tindak tutur yang berkaitan dengan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa
tindakan meminta maaf, humor, memuji, basa-basi, berterima kasih, dan
sebagainya. Tindak ekspresif ini memiliki fungsi untuk mengekspresikan sikap
psikologis pembicara terhadap pendengar sehubungan dengan keadaan tertentu.
Contoh
tindak tutur meminta maaf.
Guru : Mengapa
kamu belum menyerahkan tugas rumah?
Siswa : Maaf Pak, tugas itu belum selesai saya
kerjakan.
Guru : Kapan
akan diserahkan?
Siswa : Insya
Allah besok Pak.
Contoh penggalan
percakapan tersebut berisikan tindak tutur ekspresif yang menyatakan permintaan
maaf. Tindak tutur meminta maaf dilakukan oleh siswa yang tidak menyerahkan
tugas rumah kepada guru. Siswa mengekspresikan tindak tutur meminta maaf dengan
menggunakan kata maaf.
e. Tindak
Deklaratif
Tindak tutur yang terakhir yang dikelompokan Searle
(Arifin dan Rani, 2000:139) adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang
menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Tindak tutur ini
dapat dilihat pada tindak menghukum, menetapkan, memecat, dan memberi nama.
Oleh Suyono (1990: 7) tindak deklaratif dinyatakan sebagai tindak tutur yang
berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur sebelumnya.
Tindak tutur ini dinyatakan dengan setuju, tidak setuju, benar, dan lain-lain.
Contoh
tindak tutur deklaratif dapat dilihat pada dialog di bawah ini.
Siswa : Menurut
saya, salah satu faktor yang mempengaruhi kecurangan siswa dalam menjawab ujian
adalah ketidaksiapan belajar untuk menghadapi ujian itu sendiri. Bagaimana Pak?
Guru : Ya,
saya setuju dengan pendapat kamu.
Contoh dialog yang
telah dikemukakan merupakan tindak tutur deklaratif. Guru menggunakan tindak
tutur deklaratif dalam bentuk persetujuan terhadap pendapat yang dikemukakan
oleh siswa. Pernyataan persetujuan yang diberikan guru ditandai dengan
penggunaan kata setuju. Contoh
lainnya adalah tuturan yang diujarkan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya “Kamu dipecat.”
IMPLIKASI
TINDAK TUTUR
Perilaku berkomunikasi, baik transaksional maupun
interaksional, merupakan tindakan sosial.
Dengan kata lain, tindakan yang diwujudkan dalam tindak tutur itu terkait
dengan fungsi-fungsi sosialnya.
Wacana percakapan
berisikan komunikasi bersemuka antara dua orang atau lebih, baik guru dengan siswa,
atau siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan komunikasi.
Pencapaian tujuan
ini direalisasikan melalui tindak tutur. Guru dan siswa melakukan tindak tutur
bersama untuk merepresentasikan fungsi-fungsi tertentu. Pemahaman terhadap
tindak tutur akan memberikan kemudahan dalam menafsirkan sebuah wacana melalui
prediksi terhadap pasangan berdekatan yang terdapat selama interaksi kebahasaan
berlangsung di kelas. Hal lainnya yang dapat diperoleh melalui pemahaman
terhadap tindak tutur, yaitu guru dan siswa dapat menggunakan berbagai tuturan
dan mengembangkannya sesuai dengan tindak tutur dalam membentuk peristiwa
tutur. Dengan demikian, komunikasi akan berlangsung dengan lancar dan mudah
dipahami oleh pesertanya.
PRINSIP KERJA SAMA
Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua
partisipan atau lebih. Percakapan dalam hal ini lebih dari sekedar pertukaran
informasi. Ismari mengemukakan (1995: 3) mereka yang mengambil bagian
dalam proses percakapan tersebut akan memberikan asumsi-asumsi dan
harapan-harapan mengenai percakapan sehingga percakapan tersebut berkembang
sesuai dengan jenis kontribusi yang diharapkan dan telah dibuat oleh mereka.
Mereka dalam hal ini akan saling berbagi prinsip-prinsip umum yang akan
memudahkan dalam menginterpretasikan tuturan-tuturan yang dihasilkan.
Di dalam
berkomunikasi seorang penutur mengkomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan
harapan agar petutur itu dapat memahami apa yang dikomunikasikannya. Tidaklah
mungkin akan terjadi komunikasi antara penutur dan petutur apabila antara
keduanya tidak terjadi komunikasi. Oleh karena itu, seorang penutur harus
selalu berusaha agar pembicaraannya itu relevan dengan konteks, jelas, mudah
dipahami, padat dan ringkas, serta terfokus pada persoalan, sehingga tidak
menghabiskan waktu. Dengan kata lain, antara penutur dan petutur terdapat
prinsip kerja sama yang harus mereka terapkan agar proses komunikasi dapat
berjalan dengan lancar.
Kerja sama dapat diartikan sebagai keterlibatan partisipan dalam membentuk suatu percakapan lengkap dengan
unsur-unsur yang diperlukan. Fungsi kerja
sama adalah membentuk peristiwa tutur (Syamsuddin, et al., 1998: 94). Grice (Arifin dan Rani, 2000:1149)
mengemukakan mengenai prinsip kerja
sama: Make your contribution such as is
required at the stage at which it occurs, by the
accepted purpose or direction of the talk exchange in wich you are engaged. “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana
diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah pertukaran pembicaraan
yang Anda terlibat di dalamnya.”
Pada umumnya prinsip
kerja sama dalam percakapan ditopang oleh
unsur-unsurnya. Unsur-unsur penopang kerja
sama dalam percakapan disebut sebagai maksim. Maksim merupakan petuah yang
memberikan tuntunan dalam bertutur. Grice (Syamsuddin, et al., 1998:195) membagi prinsip kerja sama dalam suatu percakapan menjadi empat.
Maksim tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Maksim
Kuantitas
Maksim Kuantitas berbunyi “Berikanlah jumlah informasi yang tepat”. Pemberian
jumlah informasi dalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya dapat memberi
keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula memberikan keterangan lebih
daripada yang diinginkan. Ini berarti, informasi yang diberikan kepada orang
lain dalam peristiwa tutur hendaknya secukupnya saja. Jangan lebih dan jangan
kurang. Maksim kuantitas ini terdiri dari dua submaksim, yaitu a) berikan
sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan dan b) sumbangan informasi Anda
jangan melebihi yang diperlukan.
Teks 1
A: Tadi malam saya lihat Pak John sama perempuan.
B: Waduh, apa tidak takut sama istrinya?
A: Ya nggaklah, perempuan itu kan istrinya.
Bandingkan dengan
teks 2 berikut.
A: Tadi malam saya lihat Pak John – itu, guru
kita, yang mengajar Bimbingan Karir, yang rambutnya gondrong itu – sama perempuan
lho.
Teks
1 berisikan percakapan yang di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap maksim
kuantitas. Pelanggaran ini disebabkan oleh informasi yang diberikan masih
kurang sehingga menyebabkan adanya kesalah-pahaman. Sedangkan pada teks 2 juga
terdapat pelanggaran terhadap maksim kuantitas karena informasi yang diberikan
berlebihan. Oleh karena itu, sebaiknya tuturan itu janganlah kurang maupun
melebihi dari yang diperlukan.
Perhatikan teks 3
berikut.
(a) Guru : Apakah
kamu sudah menyelesaikan PR Matematika?
Siswa
:
Sudah Pak
(b) Guru : Apakah jawaban kamu sama dengan jawaban Toni?
Siswa
: Sebenarnya sama, tetapi langkah-langkah
yang Saya gunakan berbeda dengan Toni karena Saya menggunakan buku terbitan
Ganesha. Ternyata buku tersebut sangat lengkap dalam membahas soal seperti yang
Bapak terangkan tadi. Apa Bapak sudah punya buku itu?
Jika dibandingkan antara dialog (a) dan dialog (b)
terlihat perbedaan. Dialog (a) antara
guru dan siswa terdapat kerja sama yang baik. Siswa telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas
memadai dan mencukupi. Berbeda halnya dengan dialog (b), antara guru dan siswa tidak terlihat adanya kerja sama yang
baik. Ini dikarenakan siswa memberikan kontribusi yang berlebihan yang tidak
diperlukan guru.
Contoh lain dapat ditemukan pula pada teks 4 seperti yang diungkapkan Keenan (Ismari, 1995: 4)
sebagai berikut.
A: ‘Where is your mother?’
(Di
mana ibumu?)
B: ‘She is either in the house or the market.’
(Ia
mungkin di rumah atau di pasar.)
Kutipan percakapan
dilihat dari segi tuturan B menunjukkan
bahwa B tidak secara pasti mengetahui keberadaan ibunya, tetapi hanya
menyatakan dalam bentuk pilihan tempat. Apabila B ternyata mengetahui secara
pasti lokasi tempat ibunya berada dari dua pilihan itu, berdasarkan maksim,
penyediaan informasi itu gagal.
b. Maksim
Kualitas
Maksim Kualitas berbunyi “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”.
Maksim ini menyarankan agar dalam peristiwa tutur, kita tidak mengatakan kepada
orang lain sesuatu yang kita yakini salah. Artinya, sesuatu yang diyakini salah
jangan dikatakan atau disarankan untuk dilakukan oleh orang lain. Jangan
menyebarkan kesalahan. Selanjutnya, apabila tidak diketahui secara persis
(kebenaran atau kesalahannya) juga jangan dikatakan atau disarankan untuk
dilakukan atau dicontoh orang lain. Daripada memberikan informasi atau
keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Maksim kualitas ini terdiri
atas dua submaksim, yaitu a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak
benar dan b) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang
meyakinkan.
Contoh:
(a) Adit
: Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny : Dia tidak di kelas XII IPS A,
tapi di kelas XII C IPA.
(b) Adit
: Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny : Ia di kelas XII C IPE. Cape
dech!
(c) Adit
: Den, Lili sekarang di kelas XII apa?
Denny : Di kelas XII IPA C.
Dialog
(a), Denny memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Hal ini akan menyebabkan Adit berpikir agak lama
untuk mengetahui mengapa Denny memberikan kontribusi yang tidak diharapkannya
dan dianggapnya salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, akhirnya Adit
mengetahui bahwa jawaban yang diberikan Denny adalah salah karena telah
membandingkan dirinya dengan Lili. Pada
dialog (b), jawaban Denny dianggap
melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan
itu terdapat pada kelas XII C IPE, cape
dech. Pada dialog (c), jawaban
Denny telah dianggap menyatakan atau memberikan kontribusi yang sebenarnya.
c. Maksim
Hubungan
Maksim
Hubungan berbunyi “Usahakan perkataan Anda
ada relevansinya”. Melalui maksim hubungan ini kita dalam peristiwa tutur
dituntut untuk selalu menyatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, dalam
percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang dibicarakan dan
perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pemahaman terhadap fokus persoalan
akan membantu dalam menginterpretasi serta mereaksi tuturan-tuturan yang
dilakukan lawan bicara. Contoh:
(a) Udin :
Di mana buku Biologiku?
Dani :
Di rak meja.
(b) Udin :
Di mana buku Biologiku?
Dani : Tadi ada Yuni yang duduk di kursi kamu saat
istirahat tadi.
(c) Udin :
Di mana buku Biologiku?
Dani :
Saya dipanggil Ibu Ranti!
Pada
dialog (a), informasi yang
disampaikan Dani ada relevansinya dengan pertanyaan Udin. Sama halnya pada
dialog (b), informasi yang
disampaikan Dani menggunakan penalaran sebagai berikut: Walaupun Dani tidak mengetahui jawaban yang tepat
atas pertanyaan Udin, namun jawaban itu dapat membantu Udin mendapatkan jawaban
yang benar. Karena, jawaban Dani mengandung implikasi kemungkinan Yuni lah yang
meminjam buku Biologi Udin yang terdapat di rak meja, paling tidak Udin tahu di
mana buku Biologinya sekarang. Akan tetapi, dialog (c), jawaban Dani tidak dapat dianggap sebagai suatu jawaban yang
menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tidak membantu Udin untuk
mendapatkan buku Biologinya. Pernyataan Dani dapat dikatakan relevan bila
jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa Dani tidak
dapat menjawab pertanyaan Udin.
Contoh pelanggaran dalam
maksim hubungan dapat dilihat pada contoh percakapan seseorang yang
menggambarkan mobil baru yang telah dibelinya kepada teman sekantornya.
... mobil itu
warnanya merah. Merk catnya kalau nggak salah Danapaint, nomor 3021, dan tiner
yang dipakai bukan tiner merk Butterfly yang kalengnya hijau, tetapi merah....
Informasi yang
diberikan pada teks tersebut mengenai merk cat, nomor cat, warna kaleng tiner
tidak relevan, bahkan berlebihan dalam konteks penggambaran mobil baru.
Gambaran yang diberikan pada teks tersebut telah keluar dari tujuan percakapan.
d. Maksim
Cara
Maksim Cara berbunyi “Usahakan perkataan Anda mudah dimengerti”. Pada maksim ini yang dipentingkan adalah cara
mengungkapkan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Maksim cara,
dalam mengungkapkan sesuatu itu harus jelas. Untuk mencapai kejelasan ini
maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan
yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan
agar berbicara dengan teratur. Perhatikan contoh berikut.
(a) Ucok : Siapa teman Anda, orang Korea itu?
Ujang : K-I-M E-O-K S-O-O
Ucok
: (bengong)
(b) Ucok : Itu dia, guru baru datang.
Ujang : Dia guru baru?
Ucok
: Bukan!
(c) Orang tua murid : Atas perhatian,
kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu terima kasih.
Guru :
Sama-sama.
(d) Tini : Bagaimana keadaan
rumah yang baru Anda beli?
Tono :
Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi
keluarga saya. Pagarnya dari besi bercat hitam. Halamannya berukuran kira-kira
6 x 5 m², berisi taman yang terdiri dari bunga-bunga dan rerumputan. Bagian
depan terdapat garasi mobil. Dalam bagunan itu terdapat ruang keluarga, ruang
makan, kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tempat mencuci pakaian, dan
alat-alat dapur.
Pada
dialog (a), jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur karena dilakukan dengan
mengeja nama seseorang melalui kata demi kata. Nama orang itu KIM EOK SOO ditulis dalam huruf Korea, tetapi
pengucapannya dieja sehingga tidak jelas dimengerti oleh Ucok. Pada dialog (b)
kalimat yang diucapkan Ucok menimbulkan ketakasaan atau mengandung makna lebih
dari satu. Sementara itu, pada dialog (c)
pernyataan yang disampaikan oleh orang tua murid terlalu berlebihan. Berbeda
dengan dialog (d) Tono memberikan informasi yang jelas bagi Tini.
Keempat maksim itu, diyakini Grice mampu menuntun orang untuk
berkomunikasi secara maksimal, efesien, efektif, rasional, dan kooperatif jika
ucapan itu benar-benar memiliki nilai kebenaran (Marcellino, 1993:63). Hal ini
dimungkinkan apabila ucapan itu selaras dengan kejadian yang bergandengan
dengan waktu dan tempat dalam suatu konteks dan situasi tertentu, dan sesuai
dengan aturan konstitutif yang tepat. Ucapan tersebut harus mengandung suatu
nilai yang jujur (Searle dalam Marcellino, 1993: 63)
Kondisi ideal dalam pelaksanaan prinsip tuturan tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan (tidak
terpenuhinya prinsip kerja sama). Ini
disebabkan adanya keadaan tertentu yang secara sengaja dilakukan oleh penutur
untuk tidak memenuhi tuntutan prinsip secara
ideal.
Grice (Roekhan, 2002: 190) menyebutkan keadaan itu
sebagai berikut.
(1) keadaan
yang menuntut penutur melanggar (to
violate) ketentuan penggunaan maksim tutur yang normal,
(2) keadaan yang menuntut penutur
mengalihkan (to break) maksim tutur,
(3) keadaan yang menuntut penutur
mengabaikan (to opt out) maksim
tutur, dan
(4) keadaan yang menuntut penutur
mendayagunakan (to floute) maksim
tutur.
Oleh karena itu, Roekhan (2002:190) mengelompokkan
penggunaan maksim tutur ke dalam dua kategori, yaitu (1) penggunaan maksim
tutur yang sesuai dengan teori Grice, dan (2) penggunaan maksim tutur yang
tidak sesuai dengan teori Grice.
a. Kegagalan Penggunaan Prinsip Kerja Sama
Kegagalan penggunaan prinsip kerja sama ditandai oleh terganggunya komunikasi yang
sedang terjadi. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan tidak dapat
diterima secara baik akibat adanya gangguan yang berat, bahkan dapat berakibat
pula pada terancamnya hubungan antara penutur dan mitra tutur. Roekhan (2002:190) membedakan kegagalan
penggunaan prinsip kerja sama menjadi
pelanggaran (to violate), pengabaian
(to opt out), dan pengalihan (to break).
Pelanggaran terhadap prinsip
kerja sama dapat terjadi apabila penggunaannya tidak memenuhi ketentuan (Roekhan, 2002:191). Ini dapat berdampak
pada tergangunya proses komunikasi yang sedang berlangsung. Adanya pelanggaran
terhadap prinsip kerja sama disebabkan oleh
suatu keadaan yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang
ditetapkan. Roekhan (2002:191) menyebutkan keadaan yang dimaksud, yaitu 1)
ketika penutur kurang atau tidak menguasai permasalahan yang dibahas atau
disampaikan, dan 2) ketika penutur kurang atau tidak memahami konteks
komunikasi tutur yang sedang terjadi. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat dicontohkan pada keadaan seorang guru yang
kurang menguasai materi pelajaran. Akibatnya, guru tersebut dihadapkan pada dua
pilihan yang berat, yaitu mengakui ketidakmampuannya dengan terus terang atau
berusaha untuk menutupinya. Apabila guru mengakui ketidakmampuannya, berarti ia
harus siap dipermalukan bahkan dicemooh di depan kelas oleh siswanya.
Sebaliknya, jika guru berusaha menutupi ketidakmampuannya, berarti ia akan
menggunakan tuturan yang berputar-putar sehingga sulit dipahami oleh siswa.
Pengabaian prinsip tutur dapat dikatakan sebagai penyimpangan yang
dilakukan secara sengaja. Ini dilakukan karena penutur tidak menghendaki
terjadinya komunikasi saat itu sehingga ia tidak melakukan kerja sama yang baik
dengan mitra tuturnya (Roekhan, 2002: 195). Akibatnya komunikasi terganggu,
bahkan dapat mengalami kegagalan. Roekhan (2002: 196) menyebutkan hal yang
menyebabkan penutur mengabaikan prinsip umum dalam
tuturannya, yaitu 1) ketika penutur ingin berbohong kepada
mitra tutur, dan 2) ketika penutur ingin merahasiakan informasi yang
dimilikinya. Dengan demikian, penutur akan berusaha menggunakan tuturan yang
taksa atau menyampaikan informasi yang bohong. Pengabaian maksim dalam prinsip umum tuturan ini contohnya dapat terjadi pada seorang anak perempuan yang
bermaksud menemui teman laki-lakinya, namun tidak ingin diketahui oleh ibunya
sehingga saat ditanya, si anak akan menjawab sebagai berikut: “Saya mau ke
rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok” atau “Ani berulang tahun hari ini
jadi saya akan ke rumahnya” atau “Sore ini ada les tambahan dari sekolah.”
Pengalihan prinsip kerja sama terjadi apabila penutur dihadapkan pada
dua maksim tutur yang bertentangan (Roekhan, 2002: 200). Apabila satu maksim
digunakan secara baik, maksim lainnya akan diabaikan. Demikian pula sebaliknya.
Dalam kondisi seperti ini, penutur terpaksa untuk memenuhi salah satu maksim
tutur saja dan mengabaikan maksim tutur yang lain. Contohnya, percakapan antara
polisi penyelidik dengan seorang tersangka. Dalam komunikasi seperti itu,
polisi dihadapkan pada tuntutan penggunaan maksim kuantitas, maksim hubungan,
dan maksim cara. Apabila polisi bermaksud memenuhi maksim kuantitas dan maksim
hubungan, berarti polisi harus melanggar maksim cara. Sebaliknya, apabila
polisi memenuhi maksim cara, berarti polisi telah melanggar maksim kuantitas
dan maksim hubungan.
Jika polisi memilih
untuk memenuhi tuntutan maksim hubungan, maka ia harus menanyakan hal-hal yang
informasi awalnya telah dimiliki oleh tersangka. Akan tetapi, jika hal itu
dilakukannya, ia tidak pernah memperoleh informasi-informasi penting yang
diharapkannya. Sama halnya kalau polisi memenuhi tuntutan maksim kuantitas, ia
hanya akan menanyakan hal-hal yang telah pasti dan jelas saja. Informasi yang
masih bersifat dugaan tidak ditanyakan kepada tersangka karena hal itu
melanggar ketentuan maksim kuantitas.
Berdasarkan uraian
itu, wajar apabila polisi penyelidik memilih merusak maksim hubungan dan
kuantitas, dan hanya memenuhi tuntunan maksim cara saja. Hal ini dilakukan agar
upayanya untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya
dapat tercapai.
b. Pendayagunaan Prinsip Kerja Sama
Pendayagunaan, pengintensifan, atau pengoptimalan prinsip
kerja sama merupakan penerapan prinsip tutur
yang khas, yang dilakukan secara sadar oleh penutur dengan maksud-maksud
tertentu (Roekhan, 2002: 202). Hal ini diharapkan dapat menghasilkan makna
implikatur tertentu yang dapat ditangkap oleh mitra tutur melalui inferensi.
Dengan kata lain, penutur dapat menyimpulkan makna tambahan yang diperolehnya.
Hal ini dapat ditemui pada lawakan, sindiran, permintaan tak langsung, jawaban
tak langsung, dan sastra.
IMPLIKASI PRINSIP
KERJA SAMA
Pada saat interaksi belajar-mengajar berlangsung di
kelas, seorang guru diharapkan dapat menyampaikan idenya
secara singkat, jelas, lengkap, benar, dan tertata. Demikian juga sebaliknya,
guru mengharapkan siswanya dapat berkomunikasi sebagai respons terhadap
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Ini dikarenakan, tidak jarang
ditemukannya gejala yang menyebabkan kualitas, kuantitas, relevansi, dan
kejelasan pesan menjadi berkurang sehingga komunikasi yang diharapkan tidak
dapat maksimal. Akibatnya, kegagalan proses belajar-mengajar di kelas tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu penutur dan mitra
tutur perlu memperhatikan perilaku bertuturnya, terutama yang berhubungan
dengan aspek-aspek kerja sama.
Prinsip kerja sama cenderung mengarah pada pencapaian
efektivitas penyampaian pesan. Guru dan siswa dituntun untuk dapat berkomunikasi
dengan tepat sehingga komunikasi berjalan lancar.
KOHERENSI
Suatu interpretasi terhadap teks biasanya berdasarkan struktur sintaksis
dan kosa kata yang digunakan di dalam teks tersebut. Akan tetapi, hal ini
bukanlah satu-satunya cara, karena ternyata banyak teks yang tidak gramatikal
dan tidak berisi kosa kata yang diperlukan. Misalnya, pemasang iklan yang tidak
menggunakan kalimat lengkap, namun pembaca dapat memahaminya dengan baik.
Perhatikan teks iklan berikut.
Dikont. Ruko 3 Lt. AC. Telp. 4 line.
Perkant. Cempaka Putih.
Jl. Letjen Suprapto sebelah BDNI,
sederetan dengan LIPPO dan Exim Bank, min 2 th.
Hub. Wasty 371121, 4209900.
Kecuali struktur kalimat, pembaca juga mengetahui cara membaca dan
memahami iklan mini. Demikian juga kata-kata dan singkatan yang mengarahkan
pembaca untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut sebagai kalimat atau
bagian kalimat. Pembaca pada umumnya menyadari adanya konvensi dan aturan di
dalam masyarakat. Dengan bekal tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa iklan
tersebut berisikan penawaran terhadap rumah-toko bertingkat tiga yang akan
dikontrakan minimal 2 tahun. Rumah toko tersebut terdapat di jalan Letjen
Suprapto.
Pada wacana percakapan, seseorang dapat membedakan antara percakapan
yang koheren dan tidak koheren secara intuisi. Salah satu cara yang digunakan
untuk mengetahuinya adalah dengan mendefinisikan istilah dari koheren itu
sendiri.
Di bawah ini terdapat potongan teks yang tidak koheren meskipun memiliki
urutan yang teratur.
Teks 1
I: Is it something you have experienced?
P: No, yes, it is been said to us.
I: Aha
P: Yes, it is been said
I: Who said it to you?
P: Well, I can hardly remember who. There are
many young gentlemen here, many young people who have been separated, and they
have said it-they have told something about it. Yes.
I: Where are these young people?
P: Well, they are three hundred things after
all, so we are, we had people all over space, yes. There were...the whole of
space was filled with people and then they were put into three skins at our
place.
I: Three skins?
P: Yes, they were put into the body, but I think
that two of skins are ready, they should be ready, they should be separated.
And there were three hundred thousand who had no reason, or soul, or reason.
But now they are so...now it seems that there are some who have neither soul
nor reason and they had to be helped, and people have to be helped, I can’t do
it here in this where we are, we have to be in...if I am to take care of these
things. These...that’s what the ladies say, they are aware...
...
P: I’ve helped them in Øster Søgade [a major
thoroughfare in central Copenhagen] we helped them in that way.
I: in Øster Søgade?
P: Yes, we helped them in that way there and
there were many who slid away and many who were helped. Yes.
I: There were many who slid away and many who
were helped?
P: Yes, I don’t know how many, I don’t know. But
there are many trisks and svilts, I think there are most trisks and svilts
[meaningless English words calqued on equally meaningless Danish ones; cf.
‘trilms’, below]. That is those who are made out of svilt clay.
I: Out of svilt clay?
P: Yes, it is out on space. They make them in
trilms.
I: Trilms?
P: By trilms. And then they go through three
levels. Some only go through two. Some go through three. Yes. When they make
them.
Teks 1 merupakan
contoh teks yang tidak koheren meskipun pada wacana tersebut tampak
memperlihatkan keteraturan. Percakapan pada teks tersebut tidak memberikan
arahan yang tepat sehingga terjadi ketidakpaduan dalam membentuk kesatuan makna
pada percakapan. Pewawancara hanya mengulangi sebagian kata-kata yang diucapkan
oleh pasien.
Bandingkan dengan teks 2!
Teks 2
A: What’s the time?
B: (a) Eleven.
(b) Time for coffee.
(c) I haven’t got a watch, sorry.
(d) How should I know.
(e) Ask Jack.
(f) You know bloody well what time it is.
(g) Why do you ask?
(h) What did you say?
(i) What do you mean?
Pada teks 2
memperlihatkan bagaimana pertanyaan A mendapat jawaban yang dihadirkan dalam
bentuk alternatif oleh B. Pertanyaan A diterima secara relevan oleh B dengan
alternatif jawaban (a) atau (b). Ini menandakan bahwa tuturan A dan B dengan
alternatif (a) dan (b) memiliki kekoherensian. Akan tetapi, ini bukan berarti
alternatif (c) – (i) merupakan jawaban yang tidak sesuai sehingga dikatakan
tidak koheren. Alternatif jawaban (c) –(i) dapat dikatakan relevan dengan
pertanyaan A jika percakapan tersebut dilihat pada konteks terjadinya
percakapan. Jadi, percakapan antara A dan B pada teks 2 merupakan contoh tuturan
yang koheren.
TANYA-JAWAB
1. Bagaimanakah kaitan analisis wacana dan
analisis percakapan!
Jawab:
Analisis wacana merupakan
suatu kajian yang menelaah bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam
bentuk tulisan maupun lisan. Wacana dalam bentuk tulisan salah satunya dapat
dilihat pada wacana iklan. Sedangkan wacana lisan pada umumnya dalam bentuk
percakapan antara dua orang atau lebih. Jadi, analisis percakapan merupakan
bagian dari analisis wacana. Yang membedakan antara analisis wacana dan analisis
percakapan dapat dilihat dari pengambilan penalaran. Analisis wacana didasarkan
pada penalaran deduktif karena tema yang terdapat pada wacana itu telah
ditentukan sebelumnya. Sedangkan analisis percakapan didasarkan pada penalaran
induktif karena temanya hanya dapat ditemukan setelah percakapan berlangsung.
2. Bagaimanakah keteraturan dalam percakapan!
Jawab:
Suatu pembicaraan
mempunyai urutan makna dan aturan. Seseorang yang bertutur akan dipengaruhi
oleh aturan, kultur, dan kaidah-kaidah sehingga tuturan menjadi teratur,
meskipun tuturan tersebut terdengar acak-acakan. Sebagian keteraturan ini
berasal dari kenyataan bahwa orang merupakan anggota dari kelompok sosial yang
mengikuti pola-pola perilaku yang diharapkan dalam kelompok tersebut. Sumber
keteraturan lainnya berasal dari kenyataan bahwa sebagian besar orang dalam
suatu komunitas bahasa memiliki pengalaman-pengalaman dasar yang serupa tentang
dunia dan sama-sama memiliki banyak pengetahuan nonlinguistik. Pada umumnya
percakapan memiliki struktur berupa pembukaan, isi, dan penutup yang akan
membantu dalam mengatur percakapan. Dalam percakapan tersebut terjadi interaksi
antara penutur dan petutur dalam bentuk initiation,
response, dan feedback. Meskipun
tidak dapat dihindari, bahwa tumpang-tindih (overlapping) dalam percakapan dapat pula terjadi.
3. Apa yang dimaksud dengan TPR?
Jawab:
Transition Relevance Place (TRP) merupakan tempat
terjadinya perubahan giliran yang mungkin terjadi. TRP juga dapat disebut
sebagai hak berbicara bagi penutur secara langsung dan dapat diberikan untuk
penutur lainnya atau menurut pilihannya, atau secara tidak langsung juru bicara
dapat melemparkannya pada siapa saja saat pembicaraannya sedang hangat. Peserta
tutur dapat ikut serta dalam pertuturan secara langsung dan mengambil alih
tuturan, tetapi tidak semua peserta tutur dapat mengambil alih tuturan atau
memotong tuturan. Oleh karena itu, terdapat giliran tutur yang akan memandu
pada tuturan yang baik.
4. Jelaskan mengenai pasangan berdekatan!
Jawab:
Pasangan berdekatan
dapat didefinisikan sebagai dua unsur tuturan berikutnya pada sebuah pertukaran
percakapan. Pasangan ini dapat dicirikan dalam tipe-tipenya yang memiliki
kekuatan ilokusi, seperti sapaan, permintaan-pemenuhan (penerimaan), permintaan
informasi-pemberian informasi, dan lain sebagainya. Analisis percakapan klasik
membedakan antara pasangan pertama dan kedua pada pasangan berdekatan.
Perbedaan ini didasarkan pada permintaan dan pemenuhan permintaan, baik dengan
respon positif maupun negatif. Dengan demikian, adanya pasangan berdekatan ini
akan bermanfaat dalam memprediksikan jawaban yang akan diterima dan
mengaturnya. Teori tentang pasangan berdekatan ini memperlihatkan adanya
kesesuaian dalam bentuk respons seketika yang sesuai dengan harapan, kesesuaian
antara bagian pertama dan kedua.
5. Bagaimanakah kondisi yang
disyaratkan untuk tindak tutur komisif?
Jawab:
Komisif adalah jenis tindak
tutur yang digunakan oleh penutur untuk membuat dirinya sendiri berkomitmen
untuk melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Komisif
mengekspresikan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Komisif dapat berupa janji,
ancaman, penolakan, dan ikrar. Untuk mengkondisikan tuturan sebagai tindak
komisif, Searle mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tindak
tutur komisif tersebut, diantaranya: a) bahasa yang digunakan harus mudah
dipahami, b) tuturan (janji) memiliki makna, c) tuturan (janji) harus dapat
dilakukan/dipenuhi oleh penutur pada waktu yang ditetapkan.
6. Bagaimanakah verba-verba
tindak tutur itu!
Jawab:
Verba-verba tindak tutur
merupakan kata kerja-kata kerja yang mengungkapkan suatu tindak tutur. Austin menyatakan ada lebih dari 1000 kata kerja yang memiliki daya
ilokusi dalam bahasa Inggris, seperti ask, request), direct, require, order, command, suggest, beg, plead, dan lainnya yang kesemuanya menandai tindak tutur. Oleh Searle
dikhususkan ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif,
dan deklaratif. Verba-verba
tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle ini memiliki kekuatan (force). Kata-kata yang digunakan dalam
tindak tutur representatif akan membuat kata-kata tersebut sesuai dengan dunia
(keyakinan). Verba-verba tindak tutur representatif misalnya affirm, allege, assert, forecast, predict,
announce, dan insist. Kata-kata
yang digunakan dalam tindak tutur direktif akan membuat dunia sesuai dengan
kata-kata (melalui pendengar). Verba-verba tindak tutur direktif diantaranya ask, beg, bid, command, demand, forbid,
recommend, dan request. Kata-kata
yang digunakan dalam tindak tutur komisif akan membuat dunia sesuai dengan
kata-kata. Verba-verba tindak tutur komisif seperti offer, promise, swear, volunteer, dan vow. Kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur ekspresif akan
membuat kata-kata sesuai dengan dunia (perasaan). Verba-verba tindak tutur
ekspresif diantaranya apologize,
commiserate, congratulate, pardon, dan
thank. Dan, kata-kata yang digunakan dalam tindak tutur deklaratif akan
membuat kata-kata tersebut mengubah dunia. Verba-verba tindak tutur deklaratif,
misalnya adjourn, veto, sentence, dan baptize.
7. Jelaskan
mengenai tindak tutur tidak langsung dan tindak tutur langsung!
Jawab:
Tindak tutur tidak langsung
adalah tuturan yang yang disampaikan secara tidak langsung melalui
siratan-siratan. Misalnya, “Aku lupa membawa air mineral.” Sekilas tuturan ini
tampak hanya sebagai pernyataan penutur mengenai dirinya yang lupa membawa air
mineral. Akan tetapi, tuturan ini ternyata lebih dari sekedar informasi saja,
melainkan terdapat siratan berupa permintaan kepada petutur untuk melakukan
sesuatu untuknya (tindak direktif) seperti meminta petutur untuk memberinya air
mineral atau mengambilkan air mineral. Sedangkan tindak tutur langsung adalah tuturan
yang menyatakan sesuatu secara langsung, tidak tersirat. Misalnya, “Bolehkah
saya minta air mineralnya?” Tuturan tersebut berupa permintaan penutur kepada
petutur. Dalam hal ini, petutur tidak terlalu mengalami kesulitan dalam
menginterpretasikan maksud penutur karena tuturan yang digunakan merupakan
permintaan secara langsung.
8. Bagaimana awal
perkembangan bahasa dan konteks!
Jawab:
Pada mulanya para ahli
menganggap bahwa bahasa yang baik adalah bahasa yang bernalar. Tuturan bernalar
pada saat itu dilihat dari segi nilai kebenarannya (truth value) saja. Akan tetapi, hal tersebut mulai dikritisi oleh
Lakoof, Ross, dan lainnya tentang bahasa yang tidak hanya untuk mengungkapkan
pikiran yang selalu mengacu pada tuturan yang bernalar. Suatu tuturan tidak
hanya diukur dari nilai kebenarannya, melainkan dapat diukur berdasarkan
kondisi kesesuaian (falicity condition). Contohnya, “Mulai sekarang Anda saya pecat karena telah
melanggar aturan di perusahaan ini.” Apabila kalimat itu dilihat dari truth value saja, berarti memiliki makna
hanya sebagai kalimat berita. Sedangkan dilihat dari falicity condition,
kalimat itu akan bermakna jika terdapat kecocokan antara tuturan dan
penuturnya, yaitu diucapkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan untuk
menerima dan memberhentikan seseorang, misalnya seorang direktur terhadap
bawahannya. Jika tuturan itu dituturkan oleh bawahan terhadap direktur
perusahaan, tuturan itu tidak akan memiliki kekuatan apa-apa karena tidak
terdapat kecocokan. Hal inilah yang menyebabkan konsep bahasa logis menjadi
melemah. Seorang pemakai bahasa tidak hanya menguasai ketepatan gramatikal,
tetapi juga kecocokan pemakaian bahasa dengan situasi dan faktor-faktor lainnya
karena situasi dan faktor-faktor lainnya dapat membedakan makna bahasa sebagai
ujaran. Dengan demikian, adanya bentuk yang sama dalam tuturan dapat berbeda
maknanya jika digunakan dalam konteks yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar