Salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk dan makna wacana adalah
peristiwa tutur. Hymes (dalam Ismari, 1995: 2) menggunakan istilah peristiwa
tutur untuk aktivitas yang secara langsung diatur oleh norma-norma untuk
penggunaan percakapan. Hymes (dalam Arifin dan Rani, 2000: 173) juga menyatakan
bahwa peristiwa tutur memiliki hubungan yang erat dengan
latar peristiwa. Chaer dan Agustina (1995: 61) mengemukakan mengenai
peristiwa tutur (speech event), yaitu
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran
atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur (petutur)
dengan satu pokok tuturan tertentu, waktu, tempat, dan situasi tertentu pula.
Jadi, peristiwa tutur merupakan peristiwa tertentu yang mewadahi kegiatan
bertutur antara penutur dengan mitra tutur dalam interaksi linguistik yang
berkaitan erat dengan latar peristiwa. Dengan demikian, sesuai dengan konteks situasinya,
suatu peristiwa tutur akan lebih tepat diantarkan pada bahasa yang satu, sedangkan peristiwa tutur
yang lain lebih tepat diantarkan dengan bahasa lain.
Hymes (dalam Ismari, 1995: 76) membedakan istilah peristiwa tutur dengan
situasi tutur. Menurut
pengamatan Hymes (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 35) situasi tidak murni
komunikatif dan tidak mengatur adanya aturan bicara, tetapi mengacu pada
konteks yang menghasilkan aturan bicara. Sementara itu, peristiwa tutur terjadi
dalam satu situasi tutur dan peristiwa itu mengandung satu atau lebih
tindak tutur. Di dalam masyarakat,
seseorang dapat menemukan banyak situasi yang terkait dengan pembicaraan,
seperti perkelahian, perburuan, makan, pesta, dan lain-lain. Akan tetapi,
situasi semacam ini tidak terkontrol seluruhnya oleh kaidah-kaidah yang tetap
sehingga tidak menguntungkan apabila mengubah situasi seperti demikian menjadi
bagian dalam pemerian Sosiolinguistik.
Leech (1993: 19) mengungkapkan mengenai peristiwa tutur yang memiliki beberapa
aspek sebagai berikut.
1) Yang menyapa
(penyapa/penutur) atau yang disapa (pesapa/petutur)
Penyapa atau penutur mengacu pada orang yang
berbicara, sedangkan pesapa atau petutur lebih mengacu pada orang yang
menginterpretasikan pesan dari penyapa, atau dengan kata lain merupakan sasaran
dari tuturan.
2) Konteks sebuah tuturan
Konteks dapat diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan
fisik dan sosial sebuah tuturan. Atau dengan kata lain, konteks dapat pula
diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan petutur yang akan membantu petutur untuk menafsirkan makna dari
tuturan. Dalam hal ini, Chaniago, et al. (1997: 5.30) mengutip pendapat Hymes
mengenai konteks tuturan yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
(a) Setting atau scene, yaitu tempat dan suasana bicara. Setting lebih mengacu pada tempat dan waktu dalam situasi-situasi konkret
saat komunikasi berlangsung; sementara itu, scene
mengarah kepada latar yang abstrak atau berkaitan dengan latar psikologis.
(b) Participants, yaitu
pembicara, lawan bicara/pendengar yang terlibat dalam komunikasi.
(c) Ends atau
tujuan yang merujuk kepada
hasil-hasil atau tujuan-tujuan yang beragam pada komunikasi.
(d) Act, yaitu suatu rangkaian peristiwa ketika seorang
pembicara menggunakan kesempatan berbicaranya (tindak) yang berkaitan dengan bentuk dan isi atau topik dalam
komunikasi.
(e) Key,
yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya
dan cara mengemukakan pendapatnya. Key atau kunci ini juga dapat ditandai secara nonverbal.
(f) Instrumentalities,
yaitu alat untuk menyampaikan pendapat atau perasaan, baik lisan maupun
tulisan.
(g) Norm of interaction and interpretation,
yaitu aturan permainan atau santun berbahasa yang semestinya diikuti oleh
partisipan.
(h) Genre, yaitu jenis kegiatan berbahasa.
3) Tujuan sebuah tuturan
Tujuan sebuah tuturan adalah adanya sesuatu yang ingin
dicapai tanpa membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang
sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang
berorientasi pada tujuan.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan:
tindak ujar
Tuturan sebagai bentuk tindakan atau wujud dari sebuah
aktivitas linguistik merupakan bidang pokok yang dikaji dalam ilmu pragmatik,
yaitu tindak verbal yang terdapat pada situasi tertentu (Rahardi, 2003: 21).
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan dapat dianggap sebagai produk dari tindak
verbal. Rahardi (2003:22) mengungkapkan bahwa pada dasarnya tuturan yang muncul
di dalam proses pertuturan itu adalah hasil atau produk dari tindakan verbal
dari para pelibat tuturnya, dengan segala macam pertimbangan konteks situasi
sosio-kultural dan aneka macam kendala konteks yang melingkupi, mewarnai, dan
mewadahinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar