Sabtu, 15 September 2012

Peristiwa Tutur


Salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk dan makna wacana adalah peristiwa tutur. Hymes (dalam Ismari, 1995: 2) menggunakan istilah peristiwa tutur untuk aktivitas yang secara langsung diatur oleh norma-norma untuk penggunaan percakapan. Hymes (dalam Arifin dan Rani, 2000: 173) juga menyatakan bahwa peristiwa tutur memiliki hubungan yang erat dengan latar peristiwa. Chaer dan Agustina (1995: 61) mengemukakan mengenai peristiwa tutur (speech event), yaitu terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur (petutur) dengan satu pokok tuturan tertentu, waktu, tempat, dan situasi tertentu pula. Jadi, peristiwa tutur merupakan peristiwa tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur antara penutur dengan mitra tutur dalam interaksi linguistik yang berkaitan erat dengan latar peristiwa. Dengan demikian, sesuai dengan konteks situasinya, suatu peristiwa tutur akan lebih tepat diantarkan pada bahasa yang satu, sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih tepat diantarkan dengan bahasa lain.
Hymes (dalam Ismari, 1995: 76) membedakan istilah peristiwa tutur dengan situasi tutur. Menurut pengamatan Hymes (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 35) situasi tidak murni komunikatif dan tidak mengatur adanya aturan bicara, tetapi mengacu pada konteks yang menghasilkan aturan bicara. Sementara itu, peristiwa tutur terjadi dalam satu situasi tutur dan peristiwa itu mengandung satu atau lebih tindak tutur. Di dalam masyarakat, seseorang dapat menemukan banyak situasi yang terkait dengan pembicaraan, seperti perkelahian, perburuan, makan, pesta, dan lain-lain. Akan tetapi, situasi semacam ini tidak terkontrol seluruhnya oleh kaidah-kaidah yang tetap sehingga tidak menguntungkan apabila mengubah situasi seperti demikian menjadi bagian dalam pemerian Sosiolinguistik.
Leech (1993: 19) mengungkapkan mengenai peristiwa tutur yang memiliki beberapa aspek sebagai berikut.
1)   Yang menyapa (penyapa/penutur) atau yang disapa (pesapa/petutur)
Penyapa atau penutur mengacu pada orang yang berbicara, sedangkan pesapa atau petutur lebih mengacu pada orang yang menginterpretasikan pesan dari penyapa, atau dengan kata lain merupakan sasaran dari tuturan.
2)  Konteks sebuah tuturan
Konteks dapat diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Atau dengan kata lain, konteks dapat pula diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang akan membantu petutur untuk menafsirkan makna dari tuturan. Dalam hal ini, Chaniago, et al. (1997: 5.30) mengutip pendapat Hymes mengenai konteks tuturan yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
(a) Setting atau scene, yaitu tempat dan suasana bicara. Setting lebih mengacu pada tempat dan waktu dalam situasi-situasi konkret saat komunikasi berlangsung; sementara itu, scene mengarah kepada latar yang abstrak atau berkaitan dengan latar psikologis.
(b)  Participants, yaitu pembicara, lawan bicara/pendengar yang terlibat dalam komunikasi.
(c) Ends atau tujuan yang merujuk kepada hasil-hasil atau tujuan-tujuan yang beragam pada komunikasi.
(d) Act, yaitu suatu rangkaian peristiwa ketika seorang pembicara menggunakan kesempatan berbicaranya (tindak) yang berkaitan dengan bentuk dan isi atau topik dalam komunikasi.
(e) Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya. Key atau kunci ini juga dapat ditandai secara nonverbal.
(f) Instrumentalities, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat atau perasaan, baik lisan maupun tulisan.
(g)  Norm of interaction and interpretation, yaitu aturan permainan atau santun berbahasa yang semestinya diikuti oleh partisipan.
(h) Genre, yaitu jenis kegiatan berbahasa.
3)  Tujuan sebuah tuturan
Tujuan sebuah tuturan adalah adanya sesuatu yang ingin dicapai tanpa membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan.
4)  Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tuturan sebagai bentuk tindakan atau wujud dari sebuah aktivitas linguistik merupakan bidang pokok yang dikaji dalam ilmu pragmatik, yaitu tindak verbal yang terdapat pada situasi tertentu (Rahardi, 2003: 21).
5)  Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan dapat dianggap sebagai produk dari tindak verbal. Rahardi (2003:22) mengungkapkan bahwa pada dasarnya tuturan yang muncul di dalam proses pertuturan itu adalah hasil atau produk dari tindakan verbal dari para pelibat tuturnya, dengan segala macam pertimbangan konteks situasi sosio-kultural dan aneka macam kendala konteks yang melingkupi, mewarnai, dan mewadahinya.

Tidak ada komentar: