Sabtu, 15 September 2012

PERANAN MEDIA MASSA CETAK DALAM MENUMBUHKAN SIKAP POSITIF BERBAHASA INDONESIA


A. Pendahuluan
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah terlepas dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Perubahan yang terjadi pada bahasa sejalan dengan perubahan pada masyarakat penuturnya. Terlebih lagi perubahan yang terjadi akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tentu saja menciptakan sebuah kesan hukum rimba “yang kuat akan berkuasa dan yang lemah akan binasa.” Sebuah bahasa yang tidak produktif di masyarakat, sedikit demi sedikit akan tergantikan bahkan hilang.
Bahasa bukan sekedar alat untuk membentuk masyarakat. Bagi manusia, bahasa juga merupakan alat berpikir. Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Berbagai unsur kelengkapan hidup manusia, seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan kelengkapan kehidupan manusia yang dibudidayakan dengan bahasa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Bahasa yang menjadi cerminan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting. Namun, pada era globalisasi yang dipenuhi dengan “mesin-mesin pencetak uang,” penutur bahasa Indonesia lebih memperhitungkan nilai untung-rugi yang dapat memperkuat penghargaan terhadap dirinya. Misalnya, seorang penutur menggunakan istilah-istilah asing yang disisipkan secara sengaja saat berinteraksi, baik secara formal maupun non-formal. Bahkan, yang lebih parahnya lagi apabila mitra tuturnya tidak memahami istilah asing yang digunakan itu sehingga terjadi “kemacetan” dalam memaknai tuturan. Akibatnya, komunikasi pun tidak berjalan dengan baik. Hal ini tentu saja akan menjadi pertanyaan bagi semua orang mengenai konsistensi sikap berbahasa penuturnya tersebut. Mampukah seorang penutur bahasa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar?
Berbahasa bukan hanya berarti dapat menggunakan bahasa, melainkan harus disertai dengan kesadaran untuk menggunakannya dengan baik dan benar. Baik, berarti dapat berbahasa sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat komunikasi. Benar, berarti sesuai dengan kaidah atau pedoman bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran.
Berkaitan dengan hal di atas peranan media massa cetak dipandang memiliki kedudukan yang sangat penting. Media massa memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat dominan dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia. Siapapun tidak meragukannya. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dari jurnalis dalam menuangkan berita maupun ulasan dapat memberikan dampak positif ke arah usaha pembinaan bahasa Indonesia. Akan tetapi, dapatkah para jurnalis memberikan contoh positif dalam menumbuhkan kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Makalah ini akan membahas mengenai peranan media massa, khususnya media massa cetak dalam menumbuhkan sikap berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat pembacanya.

B. Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
Suladi, et al. (2000: 18) mengutip pendapat Wojowasito (1974) mendefinisikan bahasa Indonesia jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa yang digunakan dalam harian dan majalah. Selain itu, Wojowasito (1974) menganggap bahwa hal yang penting dalam bahasa jurnalistik adalah susunan kalimatnya yang logis dan pilihan kata yang bersifat umum.
Chaer dan Agustina (1995: 90-91) memberikan ciri ragam bahasa jurnalistik yang bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana dapat diartikan mudah untuk dipahami; komunikatif karena bahasanya harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena adanya keterbatasan pada ruang dan waktu.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat Anwar (1984) seperti yang dikutip Suladi, et al. (2000: 18) menyatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus singkat (ekonomis), padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Dengan kata lain, bahasa yang bersifat berlebih-lebihan serta kata-kata yang mubazir dapat dihilangkan dari susunan kalimat tanpa merusak maupun mempengaruhi kejelasan makna kalimat. Selain itu, Anwar (1984) berpandangan mengenai bahasa jurnalistik yang harus taat terhadap kaidah tata bahasa, memperhatikan pemakaian ejaan, dan mengikuti perkembangan kosakata di masyarakat. Dengan demikian, bahasa jurnalistik dapat memberikan pengaruh dan wibawa bagi masyarakat luas.
Beberapa pengertian mengenai bahasa jurnalistik tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa tersebut tidak boleh terlepas dari peranannya dalam membentuk sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia meliputi:
1.      Kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.
2.      Kesetiaan terhadap bahasa Indonesia.
3.      Kesadaran untuk memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku.
Akan tetapi, peranan media massa dalam membentuk sikap positif terhadap bahasa Indonesia masih belum maksimal. Di dalam praktiknya masih banyak ditemukan beberapa kata-kata asing yang disisipkan tanpa memberi penjelasan terhadap kata-kata tersebut. Padahal kata-kata tersebut memiliki padanan dan penyesuaian dalam bahasa Indonesia.  Misalnya:
1.      Padahal kalau mau fair, mestinya penurunan bunga kredit sejalan sama besar dengan bunga simpanan dengan mengacu pada penurunan BI rate. (fair: adil; rate: tingkat tarif)
2.      Inilah yang membuat penurunan BI rate yang cukup besar, dari double menjadi single digit.... (double: dobel: ganda; single: tunggal)
3.      ...meski sepanjang paruh pertama 2007 terjadi oversupply kredit perbankan.... (oversupply: kelebihan persediaan).
Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus, sikap positif terhadap bahasa Indonesia menjadi lemah. Pembaca yang mengetahui arti kata tersebut dapat saja menggunakannya dalam interaksi bahasa dengan siapapun dan di manapun. Ini dikarenakan, kata-kata tersebut dinilainya dapat memberi penghargaan terhadap dirinya. Sebaliknya, penggunaan kata-kata asing ini juga dapat “memacetkan” dalam memaknai kalimat berita bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan terhadap bahasa asing. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan kata-kata asing itu tidak perlu  digabung dalam pemakaian bahasa Indonesia, kecuali bahasa Indonesia tidak memiliki padanannya. Dengan kata lain, bahasa Indonesia dapat mengadaptasi maupun mengadopsi kata-kata asing untuk mengisi “kekosongan” dalam bahasa Indonesia. Kedudukan bahasa asing harus diupayakan untuk tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Selain itu, ciri-ciri yang telah dipaparkan oleh beberapa pandangan sebelumnya mengenai bahasa ragam jurnalistik ini yang salah satunya menyoroti mengenai pemakaian ejaan dalam kenyataanya masih banyak terjadi kesalahan. Misalnya, kesalahan dalam penggunaan tanda baca dan pemakaian huruf yang meliputi tanda titik (.), tanda koma (,), dan tanda petik (“....”), serta penulisan huruf kapital pada huruf kata pertama dalam sebuah kutipan langsung.
1.      Sementara itu menurut Drs Bedjo MPd lembaga itu bukanlah.... (seharusnya: Sementara itu, menurut Drs. Bedjo, M.Pd. lembaga itu bukanlah....)
2.      "tapi kalau pengetahuan ini tidak...dikerjakan?" (seharusnya: "Tapi kalau pengetahuan ini tidak...dikerjakan?")
3.      "Bukankah, hampir...alumnus FKIP Unlam. (seharusnya: "Bukankah, hampir...alumnus FKIP Unlam.”)
4.      Berbeda dengan kesan itu, Jarkasi berpendapat, jangan sampai sebuah institusi keguruan.... (seharusnya: Berbeda dengan kesan itu, Jarkasi berpendapat, “Jangan sampai sebuah institusi keguruan....”)
Kesalahan dalam pemakaian ejaan terkadang lepas dari pengamatan. Ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat pembaca hanya “mengonsumsi” berita yang disorot dalam media massa. Penggunaan ejaan dalam bahasa di media massa dianggap telah sesuai sehingga tanpa sadar mereka belajar dari sumber yang salah. Padahal, apabila mereka mempunyai pengetahuan dasar dalam ejaan, ini bisa menjadi bahan perbandingan dan pelajaran yang terus-menerus saat mereka mulai membaca. Dengan demikian, kesalahan dalam menggunakan ejaan pada saat diterapkan dalam tulisan dapat diperkecil.

C. Pembinaan Terhadap Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
Sasaran pembinaan bahasa adalah pemakai bahasa. Media massa memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat dominan dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai media komunikasi yang menggunakan bahasa tulis, media massa dapat menjadi tolak ukur dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi pemakai bahasa. Penggunaan bahasa asing yang disisipkan harus dipertimbangkan secara matang sehingga tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Begitu pula dengan penggunaan ejaan harus memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku, tanpa mengenyampingkan ciri khas bahasa ragam jurnalistik.
Menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia yang meliputi 1) kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, 2) kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, dan 3) kesadaran untuk memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku, bukan berarti melarang terhadap pemakaian bahasa asing. Kita bahkan dianjurkan untuk menguasai dan memanfaatkan bahasa asing tersebut. Alwi (2000: 56) menyebutkan tujuan untuk menguasai dan memanfaatkan bahasa asing, yaitu 1) memperlancar komunikasi dengan bangsa lain, 2) menyerap informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional, dan 3) memperluas cakrawala dan pandangan bangsa. Dengan kata lain, kita dianjurkan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, pada saatnya yang tepat kita pun dituntut untuk menguasai bahasa asing, serta mampu menggunakannya secara baik dan benar pula.
Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dari jurnalis dalam menuangkan berita maupun ulasan dapat memberikan dampak positif ke arah usaha pembinaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan bagi jurnalis dalam mengasah pengetahuan dan kemampuan berbahasanya sehingga mampu memelihara jati diri bangsa melalui bahasa.

D. Simpulan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Bahasa yang menjadi cerminan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting. Media massa memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat dominan dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia agar dapat digunakan dengan baik dan benar. Meskipun penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak diterapkan secara maksimal, jurnalis diharap dapat memperkecil kesalahan dalam berbahasa sehingga mampu membentuk sikap bahasa yang meliputi 1) kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, 2) kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, dan 3) kesadaran untuk memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku. Usaha yang dapat dilakukan adalah melalui penyuluhan dan pelatihan bagi jurnalis dalam mengasah pengetahuan dan kemampuan berbahasanya sehingga mampu memelihara jati diri bangsa melalui bahasa.

Tidak ada komentar: