A. Pendahuluan
Bahasa adalah satu-satunya milik
manusia yang tidak pernah terlepas dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh
manusia itu sendiri. Perubahan yang terjadi pada bahasa sejalan dengan
perubahan pada masyarakat penuturnya. Terlebih lagi perubahan yang terjadi
akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tentu saja
menciptakan sebuah kesan hukum rimba “yang kuat akan berkuasa dan yang lemah
akan binasa.” Sebuah bahasa yang tidak produktif di masyarakat, sedikit demi
sedikit akan tergantikan bahkan hilang.
Bahasa bukan sekedar alat untuk
membentuk masyarakat. Bagi manusia, bahasa juga merupakan alat berpikir.
Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Berbagai unsur kelengkapan hidup
manusia, seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan
kelengkapan kehidupan manusia yang dibudidayakan dengan bahasa.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa
nasional. Bahasa yang menjadi cerminan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, kedudukannya sangat penting. Namun, pada era globalisasi yang dipenuhi
dengan “mesin-mesin pencetak uang,” penutur bahasa Indonesia lebih
memperhitungkan nilai untung-rugi yang dapat memperkuat penghargaan terhadap
dirinya. Misalnya, seorang penutur menggunakan istilah-istilah asing yang
disisipkan secara sengaja saat berinteraksi, baik secara formal maupun
non-formal. Bahkan, yang lebih parahnya lagi apabila mitra tuturnya tidak
memahami istilah asing yang digunakan itu sehingga terjadi “kemacetan” dalam
memaknai tuturan. Akibatnya, komunikasi pun tidak berjalan dengan baik. Hal ini
tentu saja akan menjadi pertanyaan bagi semua orang mengenai konsistensi sikap
berbahasa penuturnya tersebut. Mampukah seorang penutur bahasa menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar?
Berbahasa bukan hanya berarti dapat menggunakan
bahasa, melainkan harus disertai dengan kesadaran untuk menggunakannya dengan
baik dan benar. Baik, berarti dapat
berbahasa sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat komunikasi. Benar, berarti sesuai dengan kaidah atau
pedoman bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi
kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah
penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran.
Berkaitan dengan hal di atas peranan
media massa cetak dipandang memiliki kedudukan yang sangat penting. Media massa
memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat dominan dalam upaya pembinaan
bahasa Indonesia. Siapapun tidak meragukannya. Pemakaian bahasa Indonesia yang
baik dari jurnalis dalam menuangkan berita maupun ulasan dapat memberikan
dampak positif ke arah usaha pembinaan bahasa Indonesia. Akan tetapi, dapatkah
para jurnalis memberikan contoh positif dalam menumbuhkan kesadaran berbahasa
Indonesia yang baik dan benar?
Makalah ini akan membahas mengenai
peranan media massa, khususnya media massa cetak dalam menumbuhkan sikap
berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat pembacanya.
B. Bahasa
Indonesia Ragam Jurnalistik
Suladi, et al. (2000: 18) mengutip
pendapat Wojowasito (1974) mendefinisikan bahasa Indonesia jurnalistik sebagai
bahasa komunikasi massa yang digunakan dalam harian dan majalah. Selain itu,
Wojowasito (1974) menganggap bahwa hal yang penting dalam bahasa jurnalistik
adalah susunan kalimatnya yang logis dan pilihan kata yang bersifat umum.
Chaer dan Agustina (1995: 90-91)
memberikan ciri ragam bahasa jurnalistik yang bersifat sederhana, komunikatif,
dan ringkas. Sederhana dapat diartikan
mudah untuk dipahami; komunikatif
karena bahasanya harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena adanya keterbatasan pada
ruang dan waktu.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat
Anwar (1984) seperti yang dikutip Suladi, et al. (2000: 18) menyatakan bahwa
bahasa jurnalistik itu harus singkat (ekonomis), padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas, dan menarik. Dengan kata lain, bahasa yang bersifat
berlebih-lebihan serta kata-kata yang mubazir dapat dihilangkan dari susunan
kalimat tanpa merusak maupun mempengaruhi kejelasan makna kalimat. Selain itu,
Anwar (1984) berpandangan mengenai bahasa jurnalistik yang harus taat terhadap
kaidah tata bahasa, memperhatikan pemakaian ejaan, dan mengikuti perkembangan
kosakata di masyarakat. Dengan demikian, bahasa jurnalistik dapat memberikan
pengaruh dan wibawa bagi masyarakat luas.
Beberapa pengertian mengenai bahasa
jurnalistik tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa tersebut tidak boleh terlepas
dari peranannya dalam membentuk sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap
positif terhadap bahasa Indonesia meliputi:
1. Kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.
2. Kesetiaan terhadap bahasa Indonesia.
3. Kesadaran untuk memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan
yang berlaku.
Akan tetapi, peranan media
massa dalam membentuk sikap positif terhadap bahasa Indonesia masih belum
maksimal. Di dalam praktiknya masih banyak ditemukan beberapa kata-kata asing
yang disisipkan tanpa memberi penjelasan terhadap kata-kata tersebut. Padahal
kata-kata tersebut memiliki padanan dan penyesuaian dalam bahasa Indonesia. Misalnya:
1. Padahal kalau mau fair, mestinya penurunan bunga kredit sejalan sama besar dengan
bunga simpanan dengan mengacu pada penurunan BI rate. (fair: adil; rate: tingkat tarif)
2. Inilah yang membuat penurunan BI rate yang cukup besar, dari double menjadi single digit.... (double:
dobel: ganda; single: tunggal)
3. ...meski sepanjang paruh pertama 2007 terjadi oversupply kredit perbankan.... (oversupply: kelebihan persediaan).
Apabila hal ini dibiarkan
terus-menerus, sikap positif terhadap bahasa Indonesia menjadi lemah. Pembaca
yang mengetahui arti kata tersebut dapat saja menggunakannya dalam interaksi
bahasa dengan siapapun dan di manapun. Ini dikarenakan, kata-kata tersebut
dinilainya dapat memberi penghargaan terhadap dirinya. Sebaliknya, penggunaan
kata-kata asing ini juga dapat “memacetkan” dalam memaknai kalimat berita bagi
pembaca yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan terhadap bahasa asing. Oleh
karena itu, sebaiknya penggunaan kata-kata asing itu tidak perlu digabung dalam pemakaian bahasa Indonesia,
kecuali bahasa Indonesia tidak memiliki padanannya. Dengan kata lain, bahasa
Indonesia dapat mengadaptasi maupun mengadopsi kata-kata asing untuk mengisi
“kekosongan” dalam bahasa Indonesia. Kedudukan bahasa asing harus diupayakan
untuk tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Selain itu, ciri-ciri yang
telah dipaparkan oleh beberapa pandangan sebelumnya mengenai bahasa ragam
jurnalistik ini yang salah satunya menyoroti mengenai pemakaian ejaan dalam
kenyataanya masih banyak terjadi kesalahan. Misalnya, kesalahan dalam
penggunaan tanda baca dan pemakaian huruf yang meliputi tanda titik (.), tanda
koma (,), dan tanda petik (“....”), serta penulisan huruf kapital pada huruf
kata pertama dalam sebuah kutipan langsung.
1. Sementara itu menurut Drs Bedjo MPd lembaga itu
bukanlah.... (seharusnya: Sementara itu, menurut Drs. Bedjo, M.Pd. lembaga itu
bukanlah....)
2. "tapi kalau pengetahuan ini
tidak...dikerjakan?" (seharusnya: "Tapi kalau pengetahuan ini
tidak...dikerjakan?")
3. "Bukankah, hampir...alumnus FKIP Unlam.
(seharusnya: "Bukankah, hampir...alumnus FKIP Unlam.”)
4. Berbeda dengan kesan itu, Jarkasi berpendapat,
jangan sampai sebuah institusi keguruan.... (seharusnya: Berbeda dengan kesan
itu, Jarkasi berpendapat, “Jangan sampai sebuah institusi keguruan....”)
Kesalahan dalam pemakaian
ejaan terkadang lepas dari pengamatan. Ini disebabkan oleh sebagian besar
masyarakat pembaca hanya “mengonsumsi” berita yang disorot dalam media massa.
Penggunaan ejaan dalam bahasa di media massa dianggap telah sesuai sehingga
tanpa sadar mereka belajar dari sumber yang salah. Padahal, apabila mereka
mempunyai pengetahuan dasar dalam ejaan, ini bisa menjadi bahan perbandingan
dan pelajaran yang terus-menerus saat mereka mulai membaca. Dengan demikian,
kesalahan dalam menggunakan ejaan pada saat diterapkan dalam tulisan dapat
diperkecil.
C.
Pembinaan Terhadap Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
Sasaran pembinaan bahasa adalah
pemakai bahasa. Media massa memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat dominan
dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai media komunikasi yang
menggunakan bahasa tulis, media massa dapat menjadi tolak ukur dalam penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi pemakai bahasa. Penggunaan bahasa
asing yang disisipkan harus dipertimbangkan secara matang sehingga tidak
mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Begitu pula dengan penggunaan
ejaan harus memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku, tanpa
mengenyampingkan ciri khas bahasa ragam jurnalistik.
Menumbuhkan sikap positif terhadap
bahasa Indonesia yang meliputi 1) kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, 2)
kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, dan 3) kesadaran untuk memenuhi
kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku, bukan berarti melarang terhadap
pemakaian bahasa asing. Kita bahkan dianjurkan untuk menguasai dan memanfaatkan
bahasa asing tersebut. Alwi (2000: 56) menyebutkan tujuan untuk menguasai dan
memanfaatkan bahasa asing, yaitu 1) memperlancar komunikasi dengan bangsa lain,
2) menyerap informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern untuk pembangunan nasional, dan 3) memperluas cakrawala dan pandangan
bangsa. Dengan kata lain, kita dianjurkan menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, pada saatnya yang tepat kita pun dituntut untuk menguasai
bahasa asing, serta mampu menggunakannya secara baik dan benar pula.
Pemakaian bahasa Indonesia yang baik
dari jurnalis dalam menuangkan berita maupun ulasan dapat memberikan dampak
positif ke arah usaha pembinaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penyuluhan dan pelatihan bagi jurnalis dalam mengasah pengetahuan dan
kemampuan berbahasanya sehingga mampu memelihara jati diri bangsa melalui
bahasa.
D.
Simpulan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa
nasional. Bahasa yang menjadi cerminan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, kedudukannya sangat penting. Media massa memiliki peran dan tanggung-jawab
yang sangat dominan dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia agar dapat digunakan
dengan baik dan benar. Meskipun penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
tidak diterapkan secara maksimal, jurnalis diharap dapat memperkecil kesalahan
dalam berbahasa sehingga mampu membentuk sikap bahasa yang meliputi 1)
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, 2) kesetiaan terhadap bahasa Indonesia,
dan 3) kesadaran untuk memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku. Usaha
yang dapat dilakukan adalah melalui penyuluhan dan pelatihan bagi jurnalis
dalam mengasah pengetahuan dan kemampuan berbahasanya sehingga mampu memelihara
jati diri bangsa melalui bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar