Sebuah puisi dihadirkan dalam bentuk
prosa dan berjudul “Bangsa Kasihan” telah menjadi salah satu koleksi karya sastra
yang menyampaikan kritikan terhadap bangsa-bangsa merdeka. Bangsa yang diperkirakan
tidak tahu atau memang tidak mau tahu mengenai nasib dirinya sendiri dalam
sebuah bangsa yang merdeka. karena dalam
kenyataannya ia menutup ruang bagi alat panca inderanya dalam menjalankan tugas
fisik dan emosi. “Bangsa Kasihan” ini sangat menarik untuk diapresiasi karena
penuh dengan pesan-pesan kemanusiaan.
Dalam setiap kata-kata, di setiap
baris, dan bait pada “Bangsa Kasihan” mampu memberikan gambaran hidup mengenai
kenyataan yang tidak jauh berada di sekitar kita, yaitu sebuah negara yang
telah lama merdeka, Indonesia. Kebanggaan terhadap Indonesia telah membuat
bangsanya semakin terlena dengan kenikmatan yang tiada tahu dari mana asalnya.
Yang kaya semakin kaya dan terlupa. Yang miskin semakin miskin dan tertindas.
Hanya sedikit yang menyisakan ruang kepedulian terhadap sesama. Itupun, hanya
sedikit yang memberikan perubahan berarti karena terlalu lemah dan tidak
berdaya dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks. Nilai-nilai luhur
semakin luntur dan akhirnya tidak menyisakan sedikit pun ruang yang berarti.
Semua sibuk mengurusi masalah perut. Yang kaya sibuk mengumpulkan makan. Yang
miskin sibuk mencari makan. Semuanya sibuk dengan pencariannya masing-masing.
Akibatnya, sulit menemukan titik temu untuk saling peduli, tolong-menolong, dan
mempererat toleransi antar-sesama.
“Bangsa Kasihan” merupakan sebuah
kenyataan hidup yang dialami bangsa yang tidak mampu menyadari keberadaan
dirinya. Setiap baitnya menghadirkan simbol-simbol yang mengajak pembacanya
menuju dunia imajinasi. Melalui imajinasi itu pembaca dibawa ke dalam suatu
keadaan. Keadaan suatu bangsa yang terlalu lemah dan bahkan tidak memiliki
sedikit pun kekuatan untuk berdiri di kakinya sendiri.
“Bangsa Kasihan” menghadirkan delapan
bait yang semuanya berisikan rasa kasihan penyair terhadap sebuah bangsa yang
diperbudak.
Bait pertama berisikan
Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak
ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, dan meminum anggur
yang ia tidak memerasnya.
Bait pertama ini dihadirkan penyair kepada bangsa
sebagai rasa kasihanya terhadap bangsa yang telah kehilangan identitas pada
dirinya sendiri. Sebuah bangsa yang menggunakan identitas lain yang dilekatkan
pada dirinya sebagai tanda ketidakmampuannya untuk mandiri dan berkarya.
Bait kedua berisikan
Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai
pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.
Bait kedua ini menyorot pada bangsa yang tidak mampu
membedakan antara kawan dan lawan. Bangsa yang menganggap lawan sebagai orang
yang berjasa. Bahkan yang paling parahnya adalah dengan menjadikan orang yang
tidak tahu apa-apa sebagai pahlawan.
Bait
ketiga berisikan
Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam
mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.
Bait ketiga ini mendeskripsikan keadaan sebuah
bangsa yang menganggap remeh arti kehidupan. Bangsa yang terlalu banyak
bermimpi namun tidak mampu untuk menghadirkan mimpi tersebut dalam kenyataan
hidup. Bangsa yang terlalu mudah menyerah terhadap keadaan yang sebenarnya.
Bait keempat berisikan
Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di
reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di
antara pedang dan landasan.
Bait keempat ini merupakan curahan penyair
terhadap bangsa yang hanya berdiam diri terhadap ketidak-berdayaannya. Mereka yang
hanya mampu menyuarakan suaranya ketika berada pada saat yang benar-benar di
ujung maut. Padahal, jika saja mereka mampu menyuarakan keberadaan diri mereka
sebelum segalanya terlambat, itu adalah yang terbaik karena kemungkinan dapat
memberikan harapan yang lebih baik daripada berdiam.
Bait
kelima berisikan
Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.
Sama halnya dengan bait-bait sebelumnya. Pada bait
ini penyair mengasihani keadaan sebuah bangsa. Bait kelima ini berisikan
sorotan penyair terhadap bangsa yang memiliki seorang pemimpin yang memiliki
jiwa binatang buas. Pemimpin yang bukannya membawa bangsa kepada keamanan,
kedamaian, dan ketentraman, melainkan pemimpin yang mengarahkan bangsanya
kepada kebinasaan. Bangsa yang dijadikan sebagai mangsa. Akibatnya, bangsa itu
sendiri tidak pernah merasakan ketenangan, melainkan perasaan yang terancam.
Bait
keenam berisikan
Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan terompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut
penguasa baru lain dengan terompet lagi.
Bait keenam ini berisikan mengenai bagaimana
sebuah bangsa yang bermuka dua. Bangsa yang mengangung-agungkan pangkat dan
jabatan seseorang, namun ketika seseorang itu tidak memiliki apa-apa untuk
dibanggakan akhirnya ia pun menjadi cacian bagi mereka yang selalu menjilat.
Oleh penyair, keadaan bangsa seperti ini patut untuk dikasihani karena memiliki
bangsa yang kehilangan harga diri dan kehormatan. Bangsa yang selalu menjilat
dan bermuka tebal baik di hadapan lawan maupun kawan.
Bait ketujuh berisikan
Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung
tahun-tahun berlalu dan orang kuatnya masih dalam gendongan.
Bait ketujuh ini berisikan mengenai sebuah bangsa
yang masih memiliki orang-orang yang suci dan orang-orang yang kuat. Namun,
sangat disayangkan bahwa orang suci itu sendiri tidak mampu mengambil kebijakan
terhadap keadaan yang telah dialami sebagai pelajaran. Bahkan yang sangat
disayangkan juga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan masih
terkekang dan tidak berani untuk mengambil tindakan yang tepat. Mereka hanya
bisa bersembunyi pada ketidak-berdayaan hidup.
Bait
kedelapan berisikan
Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan
masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa.
Bait kedelapan merupakan bait terakhir dari
“Bangsa Kasihan”. Bait ini menyoroti
keadaan sebuah bangsa yang terpecah-pecah (memiliki otonomi sendiri-sendiri).
Pecahan-pecahan bangsa yang membanggakan kedirian mereka sendiri. padahal
mereka tidak sadar bahwa ketahanan sebuah bangsa berasal dari persatuan dan
kesatuan seluruh komponen pembentuk bangsa itu sendiri. Akibatnya, bangsa yang
seperti itu menjadi mudah untuk dihancurkan bahkan dijajah secara
terang-terangan.
Kedelapan bait yang terdapat pada
“Bangsa Kasihan” merupakan perwakilan dari ciri-ciri bangsa yang tidak akan
bertahan lama. Bangsa yang terjajah meskipun telah merdeka. Bangsa yang terlalu
terlena dan mengagung-agungkan apa yang telah diperolehnya. Bangsa yang tidak
menyadari sama sekali dengan ancaman yang telah datang secara terang-terangan
di hadapan mereka. Karena bangsa itu sendiri tidak sadar bahkan menjadikan
lawan sebagai kawan. Dan menjadikan kawan sebagai suatu penghalang yang harus
ditiadakan. Akibatnya, ketidakberdayaan untuk menjadikan segalanya menjadi
lebih baik hanyalah sebuah mimpi yang tidak pernah menemukan sebuah usaha nyata
untuk menjadikannya sebagai kenyataan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar