Jumat, 14 September 2012

“Bangsa Kasihan” Fakta Penjajahan Sebuah Negara Terjajah


 
Sebuah puisi dihadirkan dalam bentuk prosa dan berjudul “Bangsa Kasihan” telah menjadi salah satu koleksi karya sastra yang menyampaikan kritikan terhadap bangsa-bangsa merdeka. Bangsa yang diperkirakan tidak tahu atau memang tidak mau tahu mengenai nasib dirinya sendiri dalam sebuah bangsa yang merdeka.  karena dalam kenyataannya ia menutup ruang bagi alat panca inderanya dalam menjalankan tugas fisik dan emosi. “Bangsa Kasihan” ini sangat menarik untuk diapresiasi karena penuh dengan pesan-pesan kemanusiaan.
Dalam setiap kata-kata, di setiap baris, dan bait pada “Bangsa Kasihan” mampu memberikan gambaran hidup mengenai kenyataan yang tidak jauh berada di sekitar kita, yaitu sebuah negara yang telah lama merdeka, Indonesia. Kebanggaan terhadap Indonesia telah membuat bangsanya semakin terlena dengan kenikmatan yang tiada tahu dari mana asalnya. Yang kaya semakin kaya dan terlupa. Yang miskin semakin miskin dan tertindas. Hanya sedikit yang menyisakan ruang kepedulian terhadap sesama. Itupun, hanya sedikit yang memberikan perubahan berarti karena terlalu lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks. Nilai-nilai luhur semakin luntur dan akhirnya tidak menyisakan sedikit pun ruang yang berarti. Semua sibuk mengurusi masalah perut. Yang kaya sibuk mengumpulkan makan. Yang miskin sibuk mencari makan. Semuanya sibuk dengan pencariannya masing-masing. Akibatnya, sulit menemukan titik temu untuk saling peduli, tolong-menolong, dan mempererat toleransi antar-sesama.
“Bangsa Kasihan” merupakan sebuah kenyataan hidup yang dialami bangsa yang tidak mampu menyadari keberadaan dirinya. Setiap baitnya menghadirkan simbol-simbol yang mengajak pembacanya menuju dunia imajinasi. Melalui imajinasi itu pembaca dibawa ke dalam suatu keadaan. Keadaan suatu bangsa yang terlalu lemah dan bahkan tidak memiliki sedikit pun kekuatan untuk berdiri di kakinya sendiri.
“Bangsa Kasihan” menghadirkan delapan bait yang semuanya berisikan rasa kasihan penyair terhadap sebuah bangsa yang diperbudak.
Bait pertama berisikan
Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, dan meminum anggur yang ia tidak memerasnya.

Bait pertama ini dihadirkan penyair kepada bangsa sebagai rasa kasihanya terhadap bangsa yang telah kehilangan identitas pada dirinya sendiri. Sebuah bangsa yang menggunakan identitas lain yang dilekatkan pada dirinya sebagai tanda ketidakmampuannya untuk mandiri dan berkarya.
Bait kedua berisikan
Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Bait kedua ini menyorot pada bangsa yang tidak mampu membedakan antara kawan dan lawan. Bangsa yang menganggap lawan sebagai orang yang berjasa. Bahkan yang paling parahnya adalah dengan menjadikan orang yang tidak tahu apa-apa sebagai pahlawan.
            Bait ketiga berisikan
Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Bait ketiga ini mendeskripsikan keadaan sebuah bangsa yang menganggap remeh arti kehidupan. Bangsa yang terlalu banyak bermimpi namun tidak mampu untuk menghadirkan mimpi tersebut dalam kenyataan hidup. Bangsa yang terlalu mudah menyerah terhadap keadaan yang sebenarnya.
Bait keempat berisikan
Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Bait keempat ini merupakan curahan penyair terhadap bangsa yang hanya berdiam diri terhadap ketidak-berdayaannya. Mereka yang hanya mampu menyuarakan suaranya ketika berada pada saat yang benar-benar di ujung maut. Padahal, jika saja mereka mampu menyuarakan keberadaan diri mereka sebelum segalanya terlambat, itu adalah yang terbaik karena kemungkinan dapat memberikan harapan yang lebih baik daripada berdiam.
            Bait kelima berisikan
Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Sama halnya dengan bait-bait sebelumnya. Pada bait ini penyair mengasihani keadaan sebuah bangsa. Bait kelima ini berisikan sorotan penyair terhadap bangsa yang memiliki seorang pemimpin yang memiliki jiwa binatang buas. Pemimpin yang bukannya membawa bangsa kepada keamanan, kedamaian, dan ketentraman, melainkan pemimpin yang mengarahkan bangsanya kepada kebinasaan. Bangsa yang dijadikan sebagai mangsa. Akibatnya, bangsa itu sendiri tidak pernah merasakan ketenangan, melainkan perasaan yang terancam.
            Bait keenam berisikan
Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.

Bait keenam ini berisikan mengenai bagaimana sebuah bangsa yang bermuka dua. Bangsa yang mengangung-agungkan pangkat dan jabatan seseorang, namun ketika seseorang itu tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan akhirnya ia pun menjadi cacian bagi mereka yang selalu menjilat. Oleh penyair, keadaan bangsa seperti ini patut untuk dikasihani karena memiliki bangsa yang kehilangan harga diri dan kehormatan. Bangsa yang selalu menjilat dan bermuka tebal baik di hadapan lawan maupun kawan.
Bait ketujuh  berisikan
Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Bait ketujuh ini berisikan mengenai sebuah bangsa yang masih memiliki orang-orang yang suci dan orang-orang yang kuat. Namun, sangat disayangkan bahwa orang suci itu sendiri tidak mampu mengambil kebijakan terhadap keadaan yang telah dialami sebagai pelajaran. Bahkan yang sangat disayangkan juga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan masih terkekang dan tidak berani untuk mengambil tindakan yang tepat. Mereka hanya bisa bersembunyi pada ketidak-berdayaan hidup.
            Bait kedelapan berisikan
Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa.

Bait kedelapan merupakan bait terakhir dari “Bangsa Kasihan”.  Bait ini menyoroti keadaan sebuah bangsa yang terpecah-pecah (memiliki otonomi sendiri-sendiri). Pecahan-pecahan bangsa yang membanggakan kedirian mereka sendiri. padahal mereka tidak sadar bahwa ketahanan sebuah bangsa berasal dari persatuan dan kesatuan seluruh komponen pembentuk bangsa itu sendiri. Akibatnya, bangsa yang seperti itu menjadi mudah untuk dihancurkan bahkan dijajah secara terang-terangan.
Kedelapan bait yang terdapat pada “Bangsa Kasihan” merupakan perwakilan dari ciri-ciri bangsa yang tidak akan bertahan lama. Bangsa yang terjajah meskipun telah merdeka. Bangsa yang terlalu terlena dan mengagung-agungkan apa yang telah diperolehnya. Bangsa yang tidak menyadari sama sekali dengan ancaman yang telah datang secara terang-terangan di hadapan mereka. Karena bangsa itu sendiri tidak sadar bahkan menjadikan lawan sebagai kawan. Dan menjadikan kawan sebagai suatu penghalang yang harus ditiadakan. Akibatnya, ketidakberdayaan untuk menjadikan segalanya menjadi lebih baik hanyalah sebuah mimpi yang tidak pernah menemukan sebuah usaha nyata untuk menjadikannya sebagai kenyataan yang lebih baik.

Tidak ada komentar: